| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, July 07, 2006,9:57 PM

Terbukanya Jendela Pesantren

Moeslim Abdurrahman

Akhir-akhir ini, pesantren mendapatkan sorotan sekaligus banyak menerima bantuan dari luar. Pasalnya sederhana. Di era global, tiba-tiba muncul kekhawatiran jangan-jangan seperti madrasah di Afganistan, pesantren menjadi lahan rekrutmen garis keras yang potensial, yang menawarkan tiket cepat masuk surga hanya dengan keberanian berjihad melalui bom bunuh diri melawan kaum kuffar dan sekutunya.

Sesungguhnya, madrasah di Afgan dan pesantren di Indonesia tidak sama persis. Orang luar banyak tidak tahu kalau pesantren merupakan salah satu model lembaga pendidikan Islam tradisional yang akarnya sangat lama dan pengaruhnya sangat besar dalam pembentukan budaya keislaman Nusantara yang dikenal ramah dan damai.

Dalam kajian tentang pesantren selama ini, ada dua hal yang menonjol. Pertama, pesantren sebagai subkultur Islam di pedesaan merupakan pialang budaya (cultural broker) bagi mengalirnya gagasan modernisasi dari kota. Peran para kiai sangat penting, selain menyalurkan ide-ide baru juga sekaligus menyeleksinya, mana yang boleh dan mana yang tidak. Teori pialang budaya kian redup seiring pengaruh media yang menjadikan setiap orang secara bebas menjadi pemirsa (media-citizen). Kebebasan memperoleh informasi dan ide-ide baru dari pasar tidak mungkin lagi dikontrol.

Kedua, pesantren sebagai subkultur dianggap sebagai bentuk "pribumisasi" Islam (localizing Islam). Pesantren tidak hanya menjadi simpul perjumpaan Islam dengan budaya setempat, tapi juga menjaganya secara harmonis. Dalam proses local-cultural-reproduction, cara-cara kiai mengajarkan kitab kuning kepada santrinya dilakukan persis menggunakan pedagogis Jawa, dalam hierarki yang sopan dan tinggi. Jadi, pesantren selain mengajarkan kitab sekaligus juga mempunyai tanggung jawab untuk melestarikan tradisi setempat, termasuk memelihara nilai dan tatanan sosial yang harmonis.

Perebutan makna

Masalahnya sekarang, dalam era globalisasi dunia semakin datar, para antropolog telah kehilangan lokus etnografinya yang homogen. Pengaruh media memfasilitasi gejala ideo-escape, sehingga bagaimana kitab kuning harus diberi makna dan tafsiran tentu mengalami keterbukaan yang tidak mungkin lagi dikontrol oleh lembaga kekiaian bahwa yang benar hanyalah dengan tafsiran yang ini, misalnya.

Jihad sesungguhnya diajarkan sebagai motivasi membangun etos santri sekaligus memberikan basis moralitas bahwa "jihad akbar" adalah mengontrol hawa nafsu diri sendiri. Tapi, pemahaman itu sekarang harus bersaing dengan jihad bermakna politik seperti yang ditayangkan media global, seolah-olah umat Islam telah dibantai oleh Barat di mana-mana. Dan jihad tidak lain adalah tindakan melawan kekejaman Barat, termasuk diperbolehkannya melakukan aksi teror yang korbannya adalah masyarakat sipil yang tidak berdosa.

Saya ingin menegaskan bahwa tafsiran mengenai Islam sekarang ini lebih merupakan "perebutan" makna yang sangat dipengaruhi oleh pergulatan di tingkat struktur politik ketimbang pada dataran moralitas, etika, dan spiritual. Lihatlah mereka yang berfatwa, bahwa menurut etika perang sesungguhnya ada keterbatasan yang luar biasa agar tidak melakukan tindak perusakan, termasuk harus melindungi perempuan dan anak-anak. Namun, bagi mereka yang menganjurkan aksi teror sebagai wujud jihad, fatwa yang diusung adalah diperbolehkannya membunuh perempuan dan anak-anak orang kafir sebagai balasan yang setimpal karena mereka telah melakukan hal yang sama. Anehnya, mereka yang "membolehkan" dan yang "melarang" membunuh perempuan dan anak-anak, dua-duanya mendasarkan khujjah itu dari kitab yang sama, yakni kitab al-Katsir.

Dalam perebutan makna dan tafsir itulah kejelasan sikap politik pesantren sangat penting daripada mempersoalkan dasar-dasar teks sebagai landasan argumentasinya. Tindakan kekerasan dan munculnya terorisme bukanlah bermula dari kitab, namun berasal dari persoalan struktur politik global. Tatkala konflik ini merebak ke pesantren, kegelisahan politik itulah yang menyelimuti jiwa anak-anak muda yang sedang mencari "keislaman yang dianggap lebih benar daripada yang telah mereka pahami selama ini melalui pengajaran di dalam bilik pesantren". Mereka kemudian ikut bergabung dengan kelompok-kelompok yang mengajari bagaimana menyambung ayat jihad dengan detonator melalui kabel-kabel dengan campuran bahan peledak.

Mereka bergabung dengan aksi teror tidak sekadar ingin memenuhi panggilan jihad, tapi juga memenuhi panggilan jiwa yang merasa tidak berharkat lagi (the sense of self-sacrifice and self important), ingin memiliki rasa persaudaraan Islam yang disegani dan solid, serta ingin menemukan kembali kebanggaan sebagai orang Islam yang "paling benar" dan akan dimuliakan. Dorongan psikologis dan sosiologis semacam ini harus dimasukkan sebagai faktor yang kompleks, ketimbang memahami kekeliruan mereka dalam mempelajari teks belaka.

Perspektif global

Jadi, kalau sebelumnya pesantren lebih melakukan localizing Islam, saya kira, dalam menelaah kitab-kitab kuning sekarang ini sangat diperlukan perspektif global untuk memahami dunia baru, dunia yang memang sudah sangat berubah. Tidak sekadar perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang mendasarkan rasionalitas, tapi dunia yang dibentuk oleh moda konsumsi, informasi, dan politik pascakemerdekaan bangsa-bangsa. Tanpa perspektif ini, saya khawatir kita sulit membedakan apakah suatu kejadian atau peristiwa bisa dijelaskan sebagai soal agama atau sesungguhnya soal politik.

Siapa pun yang membaca teks referensi Islam dan juga sejarah umat Islam akan sulit menerima tragedi seperti peristiwa 11 September sebagai contoh the clash of civilization between the West and Islam, sebab terlalu banyak bukti bahwa Islam adalah agama yang sangat menghormati perbedaan dan penuh toleransi. Peristiwa seperti itu sudah barang tentu sulit dijelaskan sebagai pertarungan teologis sebab masalahnya terkait dengan struktur konflik dunia yang lebih luas. Pertanyaan paling muskil, sejak kapan rezim Wahabi berubah politik dan teologinya, toh belum lama sebelum tragedi itu mereka menyokong kelompok Bin Laden untuk dilatih Amerika berperang mengusir rezim komunis di Kabul.

Saya kira, kalau kita tidak membingkai kembali setiap lembar kitab kuning dengan perspektif global—seperti munculnya gejala Neo-Pan-Islamisme, Islam-trans-nasionalisme, dan lain seterusnya—maka bacaan makna kitab-kitab tersebut akan terpisah dari realitas yang obyektif. Tanpa itu, kita tidak punya ruang dalam perebutan makna dan tafsir baru tentang apa yang kita yakini sebagai nilai Islam dan bagaimana menjadi seorang Muslim dalam era globalisasi, tanpa menjadikan Islam sebagai agama yang menakutkan orang lain dan menelan korban umatnya sendiri.

Harus diakui, tidak mungkin menghentikan aksi kekerasan dan teror atas nama Islam hanya dengan upaya meluruskan paham jihad atau mengedepankan khotbah tentang pentingnya Islam menjunjung toleransi atau pluralisme. Namun jika lembaga kajian referensi Islam seperti pesantren mampu meneguhkan komitmen moral Islam tentang kewajiban memelihara dan menjaga keselamatan nyawa maupun harta siapa saja yang tidak bersalah dan berdosa, saya yakin ini akan menjadi sumbangan penting Islam kepada peradaban.

Karakter dan makna jihad yang sesungguhnya harus didasarkan pada ketidakadilan dunia yang korbannya telah melintasi batas-batas bendera perbedaan agama dan etnisitas. Jadi, diperlukan kesadaran kolektif untuk melawan ketidakadilan struktur global yang melahirkan disparitas sosial-ekonomi, dan dehumanisasi, di mana-mana.

Moeslim Abdurrahman Antropolog, Ketua al Maun Institute, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home