| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, July 07, 2006,9:51 PM

Palestina dan Trinitarianisme Global

Mohammad Subhi-Ibrahim
Dosen FE UHAMKA/Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina.

Masyarakat internasional kembali mengelus dada karena Israel bertingkah. Membunuh masyarakat sipil, merusak fasilitas umum, penculikan anggota parlemen dari Hamas, menyerang kantor PM Palestina, serta menyerbu Rumah Sakit di Nablus menjadi rentetan tragedi yang diciptakan Israel pecah ini (Republika, 3/7).

Dengan dalih mencari kelompok yang menculik seorang tentaranya, Israel mengabsahkan kekerasan dan teror. Mengapa Israel sangat berani menggunakan hard-violence (kekerasan kasar) di Palestina? Minimal ada dua penjelasan.

Pertama, kekerasan dan teror merupakan bagian integral dari praktik politik Israel. Kedua, Israel memiliki dua tameng besar: Amerika Serikat (AS) dan kebijakan lunak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ketiganya--Israel, AS, dan PBB--menjadi sebuah trinitarianisme yang membuat berlarut-larutnya penderitaan bangsa Palestina.

Teror Resmi
Israel didirikan oleh orang-orang Yahudi yang merupakan puncak gerakan zionisme yang bertujuan mengakhiri kehidupan diaspora Yahudi--hidup secara berserak dan tak menentu--dan menghindari holocaust yang dilakukan oleh Nazi Jerman. Tetapi kekejaman Israel ternyata tak kalah dengan tentara-tentara Nazi. Negara Israel yang didirikan untuk mengakhiri penderitaan bangsa Yahudi itu kini telah menciptakan penderitaan bangsa Palestina. Negara Israel adalah sebuah negara rasialis yang mengandalkan kekuasaan telanjang (naked power) dan kekuataan militer. Dengan kekuatan militernya, Israel melancarkan teror dalam berbagai bentuk terutama terhadap bangsa Palestina. Dalam benak pikir kaum zionis, selama masih ada bangsa Palestina yang ingin kembali ke tanah airnya, selama itu pula Israel tidak pernah akan punya legitimasi di Timur Tengah. Ibarat seorang perampok yang menggasak harta korbannya, perampok itu tidak akan hidup tenang, selama pemilik harta yang sah masih tetap hidup dan menuntut kembali hak miliknya yang direnggutnya dengan kekerasan.

Israel adalah negeri yang 'secara resmi' menggunakan praktek teror sebagai instrumen politiknya. Teror dijadikan pekerjaan biasa, bahkan dimasukan ke dalam cara kerja birokratis. Menurut Amin Rais, para mantan perdana menteri Israel, seperti David Ben Gurion, Golda Meir, Menachem Begin, Ariel Sharon, dan Simmon Peres adalah teroris-teroris kelas wahid.

Sebenarnya, Israel telah jatuh dalam kesesatan logika. Kesesatan logika Israel adalah bahwa teror dianggap dapat menciutkan 'nyali' bangsa Palestina. Israel lupa bahwa tidak ada teror tanpa melahirkan teror balasan. Inilah hukum besi teror. Strategi Israel dalam terornya: menciptakan teror lebih dulu, kemudian membalas teror lawan dengan skala yang lebih dahsyat. Atau terus menerus membuat frustasi di pihak lawan agar melakukan teror, lalu Israel akan memakainya sebagai dalih untuk menciptakan teror yang jutaan kali lebih destruktif. Inilah politik teror zionisme.

Tatanan Imprealis
Israel adalah negara yang tak terjamah oleh hukum internasional. Israel seolah-olah bukan warga bumi yang harus mematuhi kesepakatan masyarakat dunia untuk mengahapuskan imprealisme dan pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Mengapa Israel besar kepala dalam kasus Palestina? Karena Israel termasuk dalam jaringan--mengutip istilah Ali Shariati--trinitarianisme global. Dalam perspektif Shariatian, trinitarianisme merupakan wujud nyata dari tatanan qabilian, sebuah tatanan imprealis.

Coba kita cermati kasus Palestina. Serdadu-serdadu Israel dengan leluasa meluluhlantakkan infrastruktur negara Palestina, mulai dari rumah penduduk sipil sampai gedung perdana menteri. Alih-alih mengutuk keberingasan Israel, AS malah mendukung aksi kekerasan militer Israel tersebut.

AS menegaskan kembali dukungannya atas Israel. Presiden AS, George W Bush, menyatakan dirinya mendukung posisi Israel sekarang. Dengan nada diplomatis, Bush menekankan keharusan Palestina untuk melepaskan serdadu Israel yang ditahan pejuang Hamas.

Menariknya, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan pun hanya menyampaikan rasa prihatinnya tanpa berani mengutuk. ''Oleh karenanya, kelihatannya tak bijaksana untuk melancarkan serangan yang akan memiliki dampak yang bertolak-belakang,'' komentar Annan. (Republika, 3/7).

Inilah tiga kekuatan yang membuat Palestina terluta-lunta dalam penindasan: Israel dengan terornya, AS dengan dukungan politik internasionalnya, dan impotensi PBB. Tanpa mengurangi rasa hormat pada PBB, nasib Palestina tidak bisa diserahkan pada PBB.

Masih lekat dalam memori kita bagaimana PBB membiarkan tragedi pemusnahan masal Muslim Bosnia oleh para kanibal Serbia. Artinya, PBB tidak terlalu banyak diharapkan perannya sebab telah terkooptasi jaring trinitarianisme global.

Akhirnya, negeri-negeri Muslimlah yang seharusnya mensinergikan solidaritas guna mengentaskan bangsa Palestina dari kubangan penindasan Israel. Palestina merupakan simbol perlawanan terhadap imprealisme sekaligus bukti kebohongan Propaganda AS.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home