| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, July 04, 2006,10:47 PM

Alam dan Kearifan Kita

Toto Subandriyo

ALAM kembali menunjukkan superioritasnya. Suasana perkabungan di negeri ini seolah menjadi serial cerita duka tak berujung. Air mata ini masih basah meratapi kepergian 6.000 jiwa lebih korban gempa bumi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kini, kembali lagi terjadi bencana banjir bandang dan tanah longsor di Provinsi Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Dilaporkan, akibat bencana di dua provinsi itu mengakibatkan 200 orang lebih meninggal dunia (Kompas, 27/6).

Duka negeri ini abadi. Bencana demi bencana silih berganti nyaris tanpa jeda. Akibatnya, pemerintah dan masyarakat boro-boro dapat melaksanakan kegiatan pemulihan ekonomi untuk bangkit dari krisis. Anggaran tanggap darurat bencana yang dimiliki pemerintah pun nyaris ludes. Sempurna sudah keterpurukan republik ini.

Penegakan hukum

Setiap kali bencana banjir bandang dan tanah longsor melanda negeri ini, semua pihak lantas ribut. Mereka menuding kerusakan fungsi hutan (deforestasi) berada di balik bencana itu. Namun, bangsa ini diciptakan sebagai bangsa yang tak pernah belajar dari pengalaman masa lalu. Hanya dalam beberapa hari mereka telah melupakan tragedi itu, tanpa memetik hikmahnya.

Bank Dunia pada tahun 1986 sebenarnya telah mengingatkan Pemerintah Indonesia tentang permasalahan ini. Jika laju deforestasi di seluruh wilayah Indonesia tidak bisa dihentikan, maka 40 tahun ke depan negeri yang dicitrakan sebagai Zamrud Khatulistiwa ini akan menjadi negeri yang tandus. Dalam kurun waktu tahun 2005-2010, seluruh hutan alam Sumatera akan punah. Disusul punahnya hutan alam Kalimantan antara tahun 2010-2015.

Kini peringatan Bank Dunia itu terbukti. Manajemen pengelolaan hutan yang tidak memerhatikan aspek kelestarian (sustainability), eksploitasi hutan berlebihan, dan pembalakan liar (illegal logging) mewarnai dunia kehutanan kita sehari-hari. Hampir tiada waktu luang media cetak dan elektronik memberitakan terjadinya tindak penjarahan hutan dan illegal logging. Menurut perhitungan, kebutuhan kayu untuk pabrik pulp dan perusahaan sejenis di Indonesia mencapai 22,5 juta meter kubik per tahun. Hasil hutan lestari yang diperoleh dari kegiatan penebangan legal hanya 2,5 juta meter kubik per tahun (Alikodra dan Syaukani, 2004 : 27-30).

Persoalannya, penegakan hukum di negeri ini jika dikaitkan dengan masalah kayu ilegal sangat lemah. Para pelaku illegal logging dan cukong-cukongnya banyak dibiarkan leluasa menghirup udara bebas. Julian Newman dan Sam Lawson dari Environment Investigation Agency pernah melaporkan, sindikat illegal logging menyuap Rp 1,8 miliar untuk mengamankan satu kapal kayu ilegal keluar dari perairan Indonesia. Dengan cara itu, setiap bulan 300.000 meter kubik kayu bulat merbau bernilai triliunan rupiah diselundupkan dari Provinsi Papua menuju China (Kompas, 18/2/2005 : 15).

Euforia reformasi juga telah membawa dampak pudarnya kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Bulan Februari lalu sebuah harian yang terbit di Semarang melaporkan di halaman muka, ribuan warga sebuah desa di Kabupaten Tegal menabuh kentongan kemudian berhamburan keluar rumah melakukan perlawanan terhadap satu peleton polisi Dalmas dari polres setempat. Peristiwa itu terjadi saat para penegak hukum tersebut sedang menggelar Operasi Hutan Lestari dan menyita kayu jati yang diduga hasil curian.

Moratorium

Deforestasi terus berlangsung, bahkan semakin masif. Data terkini Departemen Kehutanan menyebutkan, luas hutan kritis di Indonesia mencapai 59,2 juta hektar. Laju deforestasi itu mencapai puncak di era reformasi antara tahun 1998-2001 mencapai 2,83 juta hektar per tahun.

Saat ini Indonesia telah kehilangan 72 persen wilayah hutan alam utuhnya, serta 40 persen tutupan hutannya rusak berat. Diperkirakan hanya tinggal 20 persen hutan alam asli yang masih utuh. Ancaman terbesar kerusakan hutan alam tersebut berada di paradise forest (hutan surgawi) di Papua dan Kalimantan.

Guna mencegah terjadinya bencana lingkungan yang semakin dahsyat, tiada pilihan lain bagi Pemerintah Indonesia kecuali melaksanakan jeda (moratorium) pembalakan. Selama moratorium berlangsung, Pemerintah Indonesia dan semua stakeholder diharapkan melakukan peninjauan ulang kebijakan sektor kehutanan dan melakukan perencanaan tata ruang wilayah yang benar.

Mengingat parahnya kondisi kerusakan hutan yang telah terjadi di negeri ini, maka boleh jadi bencana banjir dan tanah longsor itu hanyalah merupakan fenomena puncak gunung es yang mulai menyembul ke permukaan. Tanpa upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa, maka hanya soal waktu saja suasana perkabungan seperti yang terjadi di Bohorok, Jember, Banjarnegara, Trenggalek, dan Sinjai, akan menimpa beberapa daerah lain dengan intensitas yang mungkin lebih parah.

Bencana alam yang merebak beberapa waktu terakhir ini boleh jadi merupakan bahasa alam untuk menegur umat manusia atas semua keserakahan yang dilakukannya selama ini. Saatnya kita sikapi semua itu secara arif dan bijaksana. Bukankah alam yang kita tempati ini merupakan pinjaman dari anak cucu yang harus kita jaga kelestariannya?

Sekali lagi, upaya penegakan hukum menjadi kata kunci dari semua permasalahan ini. Sikap masa bodoh dan permisif masyarakat terhadap tindak penjarahan hutan mempunyai andil sangat besar terhadap laju perusakan lingkungan. Apalagi kalau tindakan perusakan lingkungan itu dilakukan oleh para kapitalis yang secara sistematis melakukan "penjarahan" hutan surgawi yang dimiliki bangsa ini. Tindakan permisif seperti itu sama artinya dengan tindakan bunuh diri secara ekologis. Saat inilah kearifan kita terhadap alam sedang diuji.

Toto Subandriyo Kabid PKP Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Tegal, Jateng

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home