| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, July 04, 2006,10:41 PM

IDB, IMF, dan Kita

A Riawan Amin
Dewan Pakar ICM

Ketika pemerintah mulai mengubah orientasi kerja sama ekonomi dengan melakukan kunjungan kenegaraan dan temu bisnis dengan pengusaha Timur Tengah, akhir April lalu, ada saja pihak yang merasa 'gerah'. Mereka mencibir upaya ini dengan menyebut tabiat orang Arab yang lebih suka buat janji dari pada aksi alias NATO (no action, talk only). Orang Arab juga distereotipkan hanya mau berdagang, tapi banyak maunya. Misalnya, menghendaki jaminan pemerintah untuk menghindari risiko bisnis.

Lebih spesifik, mereka membenturkan Islamic Development Bank (IDB) sebagai representasi dunia Arab dengan International Monetary Fund (IMF) sebagai wakil Barat. IDB digambarkan sebagai badan yang penuh birokrasi. Kalau mau mendapatkan kucuran dana, pemerintah harus mengikuti prosedur yang rumit. Tidak heran bila pada tahun 2003, pledge IDB mencapai 500 juta dolar AS untuk disalurkan di Indonesia, realisasinya hanya kurang dari seperlimanya saja. Sementara IMF digambarkan 'lebih bersahabat' karena lebih mudah mengucurkan bantuan (baca: utang). Mudah dimengerti bila kebijakan menteri-menteri ekonomi selama ini lebih condong ke IMF, ketimbang IDB.

Stereotip palsu
Bahwa orang Arab dan IDB khususnya menghendaki jaminan investasinya aman, tentu hal yang wajar. Namanya juga investasi, mereka menghendaki dana yang ditanamkan kembali, tentu dengan margin keuntungan yang diharapkan. Itulah kenapa mereka saat berhubungan bisnis dengan Indonesia cenderung memilih mana yang bisa dipercayai, mana yang tidak.

Untuk bisa sampai pada taraf menaruh trust diperlukan hubungan yang akrab yang terbina melalui perkenalan yang terjadi berkali-kali. Pendeknya, masa pendekatan ini tidak terjadi semalam. Sangat bertolak belakang dengan kebanyakan pandangan pebisnis di sini yang menghendaki kerja sama cepat dan instan.

Dengan ketekunan seperti ini, Bank Muamalat Indonesia (BMI) meraih kepercayaan investor Timur Tengah. Yang menarik, mereka masuk dengan membeli saham premium (lebih mahal dari yang dibeli investor lokal). Di luar tambahan suntikan dari IDB, bank pertama murni syariah ini menerima sambutan luar biasa dari investor Timur Tengah. Di antara mereka Boubyan Bank (14,79 juta dolar AS), Atwil (11,17 juta dolar AS), BMF Holding (2,172 juta dolar AS), dan IDF (2,172 juta dolar AS). Bahkan, bila saat ini manajemen BMI menghendaki, mereka bersedia menambah dana segar itu dengan segera. Selain pendekatan yang intensif, kunci menggaet mereka itu terletak bukan hanya pada diplomasi, tapi membuka diri dan transparan. Pendekatan kultural, bukan pendekatan prosedural. Manajemen Muamalat menganggap mereka sebagai saudara dan menerimanya di rumah, bukan investor yang harus dijamu di hotel mewah. Singkat cerita, bukan formalitas bisnis yang dikedepankan, tapi prudensial bisnis.

Dengan analogi yang sama, IDB juga terbuka untuk menambah modalnya di BMI. Hingga kini IDB menguasai lebih dari 229 juta saham atau kurang lebih 28 persen dari total saham BMI. Dana ini tidak diperoleh dengan gampang, karena mereka mensyaratkan adanya penambahan dana dari investor lokal. Dengan kata lain, IDB memang baru akan mengucurkan dana bila persyaratan yang mereka kehendaki dipenuhi. Apakah ini yang dianggap rumit dan birokratis itu?

Alih-alih mengkambinghitamkan pada pemenuhan syarat-syarat ini, sudah menjadi rahasia umum pejabat kita memang ogah menggunakan dana itu lebih karena alasan pribadi. Misalnya, karena IDB tidak memberikan pinjaman berbentuk uang, tapi langsung dalam pembelian barang. Atau kalau dalam bentuk fasilitas ekspor, maka IDB langsung menyerahkan dana itu kepada pihak eksportirnya. Praktis, tak ada ruang bagi pejabat untuk bisa me-mark up harga. Mereka juga tidak beroleh komisi. Dengan kata lain, di mata oknum pejabat, meminjam dana IDB baik bagi penerima, tapi hanya 'kerja bakti' bagi pejabat itu sendiri.

Dengan demikian, kalau ada yang mendiskreditkan investor Timteng --IDB khususnya-- terlalu birokratis dan rumit, tuduhan ini boleh jadi hanya isapan jempol dan palsu belaka. Mestinya kita perlu introspeksi apakah sudah benar-benar menyiapkan 'karpet merah' untuk mereka? Atau sebaliknya, kita bersiap mengeruk dana mereka untuk tujuan sempit atau bahkan keuntungan pribadi yang pada akhirnya mengikis kepercayaan mereka?

Pemerintah ini mesti belajar kepada Malaysia, Pakistan, dan bahkan Bangladesh yang telah menerima kucuran miliaran dolar AS dari IDB untuk proyek-proyek mereka. Kemampuan Malaysia menggaet investor Timteng tidak terlepas dari kepiawaian mereka dalam menawarkan bisnis potensial. Sehingga lawatan kenegaraan bukan hanya kunjungan seremonial, tapi disertai dengan puluhan proposal bisnis yang menarik.

Mana yang Tengkulak?
Dengan melihat fenomena di atas, rasanya tidak pada tempatnya mencurigai peran IDB. Meskipun Indonesia memiliki saham 125 juta dolar sebagai anggota OKI di IDB, namun harus dipahami sepak terjang bisnis IDB dalam cakupan profesional. Rigiditas dalam mengucurkan dana proyek karenanya harus dipahami agar bisnis berjalan lancar dan menguntungkan kedua pihak. Hal lain yang perlu dipahami, IDB tidak punya hidden agenda dalam membantu anggota-anggotanya.

Sangat berbeda dengan lembaga keuangan global lainnya. Seperti diungkap oleh John Perkins dalam Confessions of an Economic Hit Man (2004), lembaga keuangan dunia lainnya, dalam kondisi tertentu malah memberikan pinjaman tanpa syarat berbelit. Bahkan ketika mereka tahu bahwa pengutang mereka bakal tak punya kemampuan untuk membayar. Ketika 'umpan' telah dimakan dan penerima pinjaman akhirnya mengalami gagal bayar (default), bak mafia mereka menuntut pembayaran penuh plus konsesi-konsesi ekonomi. Tak jarang karena tuntutan ini, pemerintah mesti harus memotong kesejahteraan rakyatnya, seperti memangkas subsidi BBM yang dialami Indonesia.

Kita tidak tahu persis apakah lembaga keuangan global yang dimaksud Perkins, termasuk di dalamnya IMF. Kalau benar demikian, tak sulit mengatakan cara kerja IMF tak beda dengan tengkulak. Bahkan lebih kejam. Kalau tengkulak hanya merusak satu dua keluarga, IMF bisa merusak satu negara. Uang yang kita pinjam dari IMF terakhir kali tidak boleh digunakan untuk pembiayaan produktif, selain hanya untuk memperkuat struktur devisa. Tapi kita harus membayar bunganya penuh.

Dengan kata lain, dukungan finansial mereka tidak membentuk daya kompetitif bangsa ini, untuk tidak mengatakan malah merugikan. Keberadan IMF juga membuat nasionalisme dan militansi kita 'lembek'. Sewajarnya bila kita perlu mendukung sikap pemerintah untuk berani mengatakan ''No'' kepada IMF dan mempercepat pelunasan utang kita kepada mereka.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home