| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, July 04, 2006,10:47 PM

Negara Salah Kaprah

Riswandha Imawan

Politik Indonesia sangat anomalie. Kita seolah kehabisan teori dan energi untuk memahami situasi yang berkembang. Sepak terjang Wapres menambah kompleksitas persoalan hingga makin tidak jelas tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.

Awal persoalan adalah terjadinya deviasi format politik hasil reformasi dari pakem teoretis yang berlaku. Kita berkehendak menguatkan sistem Presidensiil dengan cara pemilihan Presiden dan Wapres secara langsung. Dengan cara ini legitimasi Presiden sangat kuat. Namun tidak diikuti hak veto Presiden (dan Parlemen) untuk menjamin mekanisme check and balance dan memberi ruang bagi Presiden memenuhi janji-janjinya saat berkampanye.

Repotnya pilihan langsung yang mengutamakan popularitas individu dikombinasi dengan popularitas partai (biasa dikenal dalam sistem proporsional). Kombinasi ini memungkinkan Presiden tidak memiliki dukungan memadai di DPR.

Lebih repot lagi style of leadership Presiden mendorong kelemahan yang ada menjadi prahara politik. Secara formal kita anut sistem Presidensiil, namun realitanya sistem Parlementer. Akibatnya secara formal Presiden pemilik legitimasi, realitanya Wapres (dengan dukungan Golkar) yang merasa lebih legitimate.

Hasilnya, negara salah kaprah. Hadir dua nakhoda dengan pola tindak berbeda. Pelayaran pemerintahan pun sering tertumbuk batu karang. Intensitasnya meninggi, hingga kita khawatir kapal tenggelam sebelum sampai ke tujuan.

Semangat kompeni

Sebenarnya kombinasi latar belakang militer dan pedagang dalam diri SBY-JK merupakan eksperimen kepemimpinan nasional untuk menjawab tuntutan zaman. Kita pernah memiliki pasangan politikus-ekonom, militer-ekonom, militer-politikus, militer-teknokrat, budayawan-politikus, politikus-administratur, semua dinilai gagal.

Bila asumsi pemilih bertindak rasional dalam Pemilu 2004, maka mereka menilai bahwa kombinasi militer-pedagang kita butuhkan untuk memasuki era globalisasi. Namun rasionalitas pemilih tidak sebanding dengan harapan publik tentang kualitas individu maupun kerja sama di antara SBY-JK. Wapres JK tampaknya paling banyak menarik keuntungan dengan format kerja sama ini. Legitimasi yang dimiliki Presiden seolah menjadi payung sakti bagi tindakan Wapres.

Tidak imbang dan tidak sinkronnya tindakan SBY-JK membuat kombinasi kepemimpinan nasional berbasis militer-pedagang ini merekonstruksi semangat kompeni. Kisah masuknya VOC abad ke 15-16 dengan membawa kepentingan para kapitalis tampaknya terulang lagi. Semua urusan publik dilihat sebagai komoditas ekonomi dengan semangat dominasi oleh negara.

Simak saja SK Menneg PPN/Ketua Bappenas No 3458/M.PPN/06/2006 tanggal 7 Juni 2006 yang menetapkan sebuah media menjadi satu-satunya surat kabar nasional untuk mengumumkan pengadaan barang/jasa pemerintah. Mulai dari pemerintah nasional sampai ke pemerintah daerah. Ini praktik monopoli yang bertentangan dengan semangat liberalisme yang dianut pemerintahan SBY-JK dan RUU Anti-Monopoli yang sedang dibahas DPR.

Membangun infrastruktur sebagai jalan penetrasi kepentingan ekonomi penguasa adalah ciri paling mencolok dari jiwa kompeni (Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 1992: ch 2). Dengan kata lain, kebijakan pemerintah menjadi pembuka jalan bagi jaringan ekonomi yang dibangun sebelum menjadi Wapres. Akibatnya kolusi antara penguasa politik dan penguasa ekonomi yang dulu menyebabkan korupsi merajalela di era pemerintahan Soeharto, kini terekonstruksi kembali.

Format kolusi seperti ini yang membuat aparat keamanan dan hukum ragu bertindak tegas. Kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo yang nyata merusak lingkungan hidup dan membuat ribuan orang menganggur, tetap diambangkan sekalipun sudah berlangsung lama. Andaikan pemilik pabrik itu bukan pejabat negara saat ini, ceritanya bisa sangat berbeda.

Krisis martabat

Penghambaan pemerintahan SBY-JK terhadap kepentingan global tanpa didasari pemahaman yang utuh tentang globalisasi membuat bangsa kita didera krisis martabat. Special Economic Zone (SEZ) yang dibangun di Batam bersama Singapura hanya didasari ketakjuban pemerintah atas keberhasilan Singapura melakukannya di Vietnam, India, dan China. Kelak akan ada sembilan SEZ di Indonesia, dan itu pada level kabupaten. Tidak pelak lagi secara ekonomi negara kita terintegrasi dengan Singapura.

Gaya berpikir jalan pintas mendominasi pola tindak pemerintah. Padahal, sesuai semangat demokrasi partisipatoris, pola tindak itu harus sesuai dengan kondisi dan energi masyarakat tanpa mengabaikan nilai-nilai dasar berbangsa dan bernegara.

Kasus ujian akhir nasional misalnya. Wapres selalu menegaskan target sesuai keadaan negeri seberang. Lupa bahwa kondisi pendidikan di negeri seberang itu sangat berbeda dengan kita. Mulai dari fasilitas sekolah sampai ke kesejahteraan gurunya. Negara hadir sebagai penghukum. Lupa bahwa filosofi dasar pendidikan di Indonesia adalah: asah-asih-asuh. Lupa bahwa Tuhan menciptakan makhluk dengan kecakapan berbeda. Dan kecakapan itu tidak akan sia-sia bagi kehidupan manusia.

Salah kaprah dengan pragmatisme pedagang dan pengagungan turis asal Timur Tengah juga konyol. Dengan ringan Wapres berujar tidak keberatan bila banyak turis Timur Tengah datang ke Puncak, Jabar, mencari janda dan melakukan pernikahan singkat. Tidak apa-apa bila mereka kemudian meninggalkan istri dan anak-anaknya. Toh meninggalkan rumah bagus. Anak-anak yang ditinggalkan juga akan memiliki gen yang lebih baik dan dapat menjadi pemain sinetron.

Sungguh sangat tidak pantas diucapkan oleh pemimpin nasional. Secara terbuka Wapres menghina bangsa sendiri. Kita jelek. Kita miskin. Karena itu martabat kita lebih rendah dibandingkan bangsa lain. Mengherankan bila Wapres tidak mengetahui bahwa pernikahan di bawah tangan melanggar UU No 1/1974 tentang Perkawinan. Takjub menyimak Wapres seolah menghalalkan pelacuran. Nelangsa bila memikirkan bahwa perempuan Indonesia dijadikan tumbal bagi ketidakmampuan pemerintah mengurus negeri ini.

Memang Wapres telah meminta maaf dan menyatakan itu hanya senda gurau. Waduh. Jangan-jangan janji memberi santunan pada korban bencana alam juga senda gurau? (Kenyataannya janji kompensasi rumah hancur dan rusak hanya tinggal janji!) Demikian pula kebijakan tentang Ujian Nasional juga senda gurau? Atau "senda gurau yang mengena" (guyon parikeno) untuk menyukseskan program Kejar Paket C yang telanjur dianggarkan ratusan miliar rupiah? Bukankah itu kesempatan dagang yang bagus? Entahlah.

Riswandha Imawan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home