| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, July 25, 2006,10:59 PM

Tanda-tanda Kekalahan Israel

Surwandono
Dosen Hubungan Internasional UMY dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik UGM

Israel menunjukan kekuatan secara massif di jalur Gaza dan Lebanon melalui serangan-serangan secara membabi buta. Dalam kaca mata realis, bentuk invasi Israel terhadap dua wilayah ini sering dilihat sebagai bentuk bahwa Israel sedemikian rupa memiliki kekuatan yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan negara-negara Arab dan dunia Islam. Suara dan tekanan politik dari masyarakat dunia sudah tidak didengar dan dianggap sebagai angin tanpa makna.

Pandangan ini tampaknya mulai menjangkiti para pengambil keputusan masyarakat internasional, bahwa sebuah upaya yang percuma melakukan aktivitas untuk mengakhiri konflik Timur Tengah, jika Israel dan Paman Sam-nya sendiri tidak mau mengakhiri. Meminjam ungkapan dari Adian Husaini, dunia Islam selama ini senantiasa dicibir oleh Israel sebagai dunia yang hanya bisa berteriak, demonstrasi dan menuntut resolusi, namun kemudian lupa dengan apa yang ia suarakan sendiri. Sedemikian satire, ungkapan Israel ini jika diberikan kepada kaum Muslimin. Walillahil `izzati wa rasulihi wal mukminin (Dan kewibawaan, harga diri, hanyalah milik Allah, Rasul dan Kaum Mukmin).

Potret keangkuhan
Keangkuhan Israel terhadap Muslimin di Palestina, Lebanon, dunia Arab dan Dunia Islam sudah semakin menjadi-jadi. Seakan-akan jika seluruh kaum Muslimin bersatu-padu melakukan konfrontasi terhadap Israel, maka Israel dengan sekutunya masih bisa memenangkan konfrontasi tersebut. Keyakinan ini semakin tampak pada era Ehud Olmert yang melakukan agresi dengan mengubah alasan yang sebenarnya kecil dan sederhana, menjadi masalah yang besar serta rumit.

Israel sepertinya tidak takut bermain api ataupun air --sebagai kiasan-- dengan dunia Islam. Pepatah mengatakan bahwa barang siapa bermain api, maka akan terbakar dan barang siapa bermain air pasti basah. Israel seakan mengubah pepatah ini bahwa jika Israel bermain api maka ia tidak akan pernah terbakar, demikian pula jika bermain air ia tidak akan basah. Israel sepertinya telah menentang hukum alam dan kausalitas.

Ulama kontemporer, Yusuf Qaradhawy pernah menyatakan dengan sangat lugas bahwa Israel pada prinsipnya adalah lemah dan tak berarti. Ungkapan Qaradhawy menyatakan bahwa jika masyarakat Arab bersepakat untuk melakukan 'istinja (bersuci setelah buang hajat) kecil' di Israel maka sudah cukup untuk membuat Israel kebanjiran dan lumpuh karenanya. Artinya Israel sebenarnya sedemikian ringkih dan tidaklah terlalu bermakna.

Akhir Israel Menarik dicermati opini Abdillah Toha di Republika, 19 Juli 2006 yang menganalisis awal kejatuhan Israel dan AS, karena persoalan mis-kalkukasi terhadap lawan yang dihadapinya. Penulis sangat sepakat dengan analisis ini dengan menggunakan dua pisau analisis pakar strategi perang dan masyarakat.

Pertama, tesis dari Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa jika suatu masyarakat dihinggapi tabiat untuk menang sendiri dan memandang rendah pihak lain maka sebenarnya masyarakat tersebut sedang meniup lonceng kematiannya sendiri. Masyarakat yang sudah mengklaim diri mencapai masyarakat yang paripurna maka akan segera digerogoti oleh naluri untuk tidak kreatif karena menyombongkan diri bahwa masyarakat lain tak akan bisa mencapai tingkat kemajuan yang dicapainya.

Israel sedemikian yakin bahwa skenario satu abad ini telah memberikan fakta bahwa Israel tak pernah terkalahkan oleh komunitas Arab dan Islam. Maka selamanya dan apapun yang dilakukan oleh kaum Muslimin, tidak akan pernah bisa menggeser dominasi Israel, bahkan jika Israel mandeg sekalipun.

Teramat jelas bahwa tindakan agresi Israel akhir-akhir ini menunjukan kondisi psikologis dan politik seperti ini. Bahwa Israelah yang paling digdaya dan perkasa. Inilah lonceng kematian yang ditabuh oleh Israel sendiri. Bukankah tradisi eksplorasi akan mengalami titik jenuh sebagaimana prinsip hukum guna batas dari Gossen ataupun the law of diminishing return dari David Ricardo.

Kedua, pernyataan pakar strategi militer Cina, Tsun Tzu dalam karyanya The Art of War. Perasaan jumawa terhadap musuh, menganggap remeh, serta melakukan perlakuan penindasan di luar batas dan mengalahkan musuh sekalah-kalahnya justru juga sebagai investasi yang besar bagi musuhnya untuk mengkonsolidasi dan mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk melakukan perlawanan sekeras-kerasnya.

Nasihat Tzu yang sangat populer adalah, "Jika Anda menghadapi musuh yang sudah jelas dalam posisi kalah, maka berilah ruang kepada mereka untuk tetap bisa hidup, ataupun bisa keluar dari medan pertempuran dengan memberikan kesempatan kepadanya untuk bisa meninggalkan medan pertempuran secara aman."

Teramat jelas bahwa Israel sedemikian rupa terlihat perkasa tatkala berhadapan dengan para pejuang Palestina dan Lebanon dengan segala bentuk persenjataan yang mutakhir dan berdaya hancur tinggi. Israel untuk mencari para serdadu yang ditahan oleh pejuang Palestina dan Lebanon tidaklah harus mengerahkan kekuatan penuhnya dan memberlakukan aktivitas tertib sosial tersebut menjadi medan perang secara absolut. Secara pongah Israel melakukan show of force secara berlebihan untuk menggentarkan moral berperang pejuang Palestina, Lebanon, dan kaum Muslimin.

Dalam perspektif Tsun Tzu, Israel sedang membangunkan raksasa yang sedang tidur. Menanam dan menginvestasi kebencian dan kemarahan yang tiada tara terhadap kaum Muslimin, justru akan menjadi preseden awal bagi bangkit dan solidnya kekuatan kaum Muslimin di seantero dunia. Alih-alih menggentarkan moral perlawanan kaum Muslimin terhadap Israel, namun hal ini justru menyebabkan moral perlawanan menjadi berlipat ganda.

Bukankah kemenangan tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak kekuatan kasat mata (tangible power) saja namun justru kekuatan seseorang justru bisa berlipat ganda jika memiliki kekuatan tidak kasat mata (intangible power). Kekuatan tak kasat mata itu bisa berupa tekad, semangat, keberanian, dan kesabaran. Bukankah seorang Mukmin yang sabar akan bisa mengalahkan 10 bahkan 20 orang yang tidak sabar.

Sudah cukup satu abad saja kekerasan politik, ekonomi, sosial, militer, dilakukan oleh rezim zionisme internasional. Maka upaya untuk mengamputasi terhadap kepongahan Israel harus diciptakan kerja sama yang sinergis oleh berbagai fihak. Israel sekali lagi jangan dianggap perkasa, Israel adalah lemah, dan lemah. Dengan nalar ini maka mitos bahwa selamanya Israel akan menang dan tak terkalahkan oleh siapapun akan segera hilang, dan diganti oleh wajah keoptimisan dan keberanian. Semoga.

Ikhtisar
- Serangan membabi buta kian menunjukkan kesombongan dan arigansi Israel terhadap dunia Islam.
- Kesombongan dan arogansi itu membuat Israel terkesan tak bisa dikalahkan oleh siapapun.
- Yusuf Qaradhawi menilai bahwa Israel sebenarnya lemah.
- Perasaan tinggi hati dan meremehkan pihak lain menjadi tanda kekalahan Israel.
- Kemenangan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan yang kasat mata.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home