| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, July 23, 2006,12:40 PM

Israel Versus Kekuatan Baru

Musthafa A Rahman

Timur Tengah kembali menghadapi krisis serius sejak agresi militer Israel ke Jalur Gaza dan Lebanon.

Israel secara brutal membombardir infrastruktur Lebanon serta mengepungnya dari darat, udara, dan laut negeri kecil berpenduduk sekitar 4 juta jiwa itu. Hezbollah membalas pula dengan menembakkan rudal Katyusha dari berbagai jenis ke arah berbagai kota Israel.

Suatu hal yang mengejutkan secara militer, rudal Katyusha milik Hezbollah mampu menjangkau kota pelabuhan Haifa (kota terbesar ketiga di Israel setelah Tel Aviv dan Jerusalem) dan kawasan Danau Tiberia. Kota Haifa dan Danau Tiberia berjarak antara 40 kilometer dan 50 kilometer dari perbatasan Israel-Lebanon.

Ini berarti selama enam tahun terakhir—sejak Israel mundur dari Lebanon Selatan bulan Mei 2000—Hezbollah bukannya berdiam diri, tetapi berhasil mengembangkan kemampuan armada rudal Katyusha secara sangat signifikan.

Hal lain yang secara jelas terkuak adalah ambruknya proses perdamaian di Timur Tengah serta munculnya kaukus kekuatan baru regional dengan slogan membela kepentingan dunia Arab dan Islam di tengah semakin tidak berdayanya rezim- rezim Arab menghadapi Israel dan Amerika Serikat.

Ambruknya proses perdamaian itu diakui secara resmi oleh Sekjen Liga Arab Amr Mousa seusai sidang Liga Arab tingkat menteri luar negeri, 15 Juli lalu. Ia mengatakan, sidang Liga Arab ini dalam salah satu keputusannya mengakui gagalnya semua proyek dan inisiatif perdamaian di kawasan ini.

Kaukus baru

Sementara itu, lahirnya kaukus kekuatan baru regional itu akibat perubahan situasi kawasan secara mendasar pascatragedi 11 September 2001 yang disusul invasi AS ke Afganistan dan Irak. Kaukus kekuatan baru regional itu adalah Hezbollah, Hamas, Jihad Islam, dan kubu oposisi di seluruh dunia Arab.

Khusus bagi Hezbollah, Hamas, dan Jihad Islam, mereka telah mendapatkan legitimasi dari dalam negeri maupun regional untuk menyandang senjata melawan Israel guna membebaskan tanah Palestina dan lembah pertanian Shebaa (sisa tanah di Lebanon Selatan yang diduduki Israel).

Kemampuan militer Hezbollah, Hamas, dan Jihad Islam juga terus berkembang hingga mengimbangi atau bahkan mengungguli kekuatan militer Pemerintah Lebanon dan Palestina.

Hezbollah dan Hamas telah berhasil pula meraih popularitas di kalangan masyarakat akar rumput dunia Arab dan Islam, hingga cukup menggoyang citra serta legitimasi rezim di dunia Arab yang lemah dan bahkan dituduh berkolaborasi dengan Barat, khususnya AS. Mereka juga mendapat dukungan penuh dari rezim yang berada di luar atmosfer politik AS, seperti Iran dan Suriah.

Maka, figur yang muncul dan berperan di balik peristiwa sekarang ini adalah figur-figur di luar pemerintahan, seperti Sekretaris Jenderal Hezbollah Hasan Nasrullah dan Kepala Biro Politik Hamas Khaled Meshaal.

Dalam konteks tersebut, konflik terbuka kali ini tidak bisa dilihat sebagai peristiwa biasa seperti sebelumnya, yakni aksi dan reaksi antara Israel dan Palestina atau antara Israel dan Hezbollah yang rutin terjadi, tetapi sudah merupakan konflik di antara dua kubu besar yang sama-sama memiliki misi strategis.

Dua kubu besar tersebut, pertama, adalah AS, Israel, dan negara-negara Arab properdamaian sesuai dengan inisiatif damai Arab tahun 2002, seperti Mesir, Arab Saudi, Jordania, dan Kuwait. Kubu kedua adalah kelompok-kelompok yang memandang bahwa tidak ada tempat bagi Israel di Timur Tengah. Mereka pun mengumandangkan slogan membebaskan Palestina dari sungai hingga laut.

Kubu ini terdiri dari gerakan- gerakan Islam yang menolak melakukan kontak dengan Israel dan tidak mengakui kesepakatan Oslo, serta negara di luar atmosfer politik AS, seperti Iran dan Suriah.

Kubu ini menggunakan isu Palestina untuk mencapai misi yang lebih besar, yakni menolak proyek AS di Timur Tengah dan bahkan ada sejumlah gerakan Islam yang memimpikan berdirinya khilafah Islamiyah.

Faktor pendorong

Ada sejumlah faktor yang mendorong kubu kontraperdamaian versi AS itu menggerakkan peristiwa terakhir ini.

Pertama, semakin kuat pertanda gagalnya proyek AS di Irak. Kubu ini merasa ikut berandil menggagalkan AS di Irak dengan mendukung secara moril gerakan perlawanan di Irak.

Kedua, berhasilnya Hamas meraih kekuasaan di Palestina melalui pemilu demokratis dan naiknya popularitas partai-partai Islam di dunia Arab melalui pemilu terakhir ini, seperti di Mesir, Jordania, Kuwait, dan Irak.

Ketiga, tampilnya Mahmoud Ahmadinejad sebagai presiden di Iran yang mengubah wacana politik negeri para mullah itu ke arah lebih radikal.

Dalam forum pertemuan tingkat menteri luar negeri negara- negara tetangga Irak di Teheran awal Juli lalu, ia kembali mengatakan pentingnya negara-negara Islam mengenyahkan Israel dari peta bumi.

Keempat, tewasnya mantan Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri dan keluarnya pasukan Suriah dari Lebanon, serta semakin kuatnya tuntutan agar senjata Hezbollah dilucuti, sesuatu yang tidak diinginkan Suriah dan Iran.

Munculnya kaukus kekuatan baru regional itu sudah dirasakan tim perunding Mesir ketika mencoba mengadakan transaksi bagi pembebasan tentara Israel yang disandera pejuang Palestina. Tim perunding Mesir saat itu menyadari bahwa ada kekuatan lebih besar di balik penyanderaan tentara Israel itu.

Sedangkan sinyal terjalinnya kaukus kekuatan regional baru itu antara lain penegasan Iran untuk mendukung tindakan Hezbollah dan menyatakan akan membela Suriah jika Damascus mendapat serangan Israel.

Iran berjanji pula akan membangun kembali Lebanon setelah berakhirnya perang. Iran selama ini juga dikenal pemasok utama senjata, peluru, dan dana kepada Hezbollah.

Posisi kaukus kekuatan baru itu semakin jelas ketika Sekjen Hezbollah Hasan Nasrullah dalam wawancara dengan TV satelit Aljazeera hari Kamis (20/7) menuduh secara terang-terangan sejumlah negara Arab ikut memberi payung agresi Israel ke Lebanon.

Nasrullah mengatakan, seandainya tidak ada payung sebagian rezim negara Arab, Israel tidak akan melancarkan serangan ke Lebanon sedahsyat sekarang ini.

Ia menyatakan pula, perang Hezbollah melawan Israel adalah mewakili kepentingan umat (bangsa Arab dan umat Islam). Menurut Nasrullah, kekalahan Hezbollah dalam perang ini adalah kekalahan umat dan kemenangan Hezbollah adalah kemenangan umat.

Sinyal lain adalah penandatanganan kesepakatan kerja sama militer Iran-Suriah pada 16 Juni 2006. Menteri Pertahanan Suriah setelah penandatanganan tersebut menegaskan, Suriah dan Iran telah membentuk front bersatu melawan Israel. Iran pun melihat keamanan Suriah bagian dari keamanan Iran.

Skenario mendatang

Konflik kali ini akan melahirkan satu dari dua skenario yang akan terjadi di Timur Tengah.

Pertama, perang regional secara luas dengan melibatkan Iran dan Suriah membela Hezbollah. Jika skenario ini terjadi, Iran akan menggunakan rudal jarak jauhnya untuk menghantam Israel dan menutup Selat Hormuz yang strategis. Iran akan menggerakkan faksi-faksi Syiah di Irak berbalik melawan AS.

Skenario kedua yang lebih mungkin terjadi adalah konflik kali ini akan melahirkan skenario baru bagi perdamaian dengan pendekatan damai yang baru pula, setelah model proses perdamaian sebelum ini dinilai gagal.

Hal itu serupa dengan pascainvasi Irak ke Kuwait tahun 1990 yang melahirkan skenario baru, yaitu konferensi damai di Madrid tahun 1991.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home