| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, July 24, 2006,11:46 AM

Buram Nasib Anak dan Bayi

Muhammad Joni
Ketua Komisi Advokasi dan Hukum pada Komnas Perlindungan Anak; Dosen FISIP Universitas Nasional

Tanggal 23 Juli 2006, Hari Anak Nasional diperingati lagi. Namun, nasib anak muda belia dan bayi-bayi kita masih buram oleh eksploitasi, kekerasan, dan penelantaran. Jual beli bayi seakan tak kunjung berakhir. Bak komoditas unggulan, negeri ini kerap 'mengekspor' bayi.

Awal Juni 2006, sindikat jual beli bayi dibongkar polisi di Palembang. Januari 2006, praktik transnasional jual beli orok itu terkuak lagi di Lubuk Baja, Batam. Dari pengakuan pelaku, bayi tak berdosa itu akan dijual ke penadahnya di Singapura. Sebelumnya, medio November 2005, Yayasan Ibu Suri digerebek Polres Metro Bekasi atas dugaan penjualan bayi dan kekerasan terhadap anak usia 10 tahun. Warga sekitar yang mengadukan pemilik yayasan ke polisi.

Idem ditto dengan jaringan Bekasi, beberapa tahun lalu sindikat transnasional jual beli bayi jaringan Batam-Johor terungkap. Ada kolaborasi aktor domestik yang tinggal di Tanjung Balai Karimun dan Batam dengan penadahnya di Johor, Malaysia. Bayi-bayi diselundupkan via jalur pendek Pantai Nongsa, Batam, ke Sungai Renyit, Kota Tinggi, Johor, yang hanya ditempuh selama 30 menit dengan perahu kecil bermesin ganda.

Di penghujung Agustus 2003, Komnas Perlindungan Anak menelusuri jejak sindikat perdagangan anak dan penjualan bayi di Kalimantan Barat. Ditemukan modus penjualan bayi ke Taiwan karena sang ibu 'terpaksa' menerima tawaran sindikat untuk melego bayinya ke Taiwan.

Dari laporan dan pengalaman investigasi penjualan bayi, kejahatan ini melibatkan sindikasi yang solid, canggih, dan diperkuat kaki-tangan broker yang terputus dengan pengatur lakon utama. Tak jarang, warga takut melaporkan praktik haram jual-beli bayi.

Modus
Modus operasi penjualan bayi tidak sederhana sehingga jejaknya tak mudah terdeteksi. Pertama, seringkali penjualan bayi secara langsung dari orangtua, khususnya ibu hamil dari keluarga miskin. Sang ibu hamil atau suaminya ditawari biaya persalinan gratis dan jaminan hidup selama mengandung janinnya.

Kedua, penjualan bayi dengan modus yang lebih canggih dan terkesan absah, yakni seakan-akan menerapkan prosedur adopsi anak. Namun secara de jure, adopsi itu tidak sah atau palsu, baik itu pengangkatan anak domestik maupun adopsi antarnegara. Modus ini bisa jadi hanya mengajukan penetapan pengadilan saja, tanpa izin adopsi anak dari menteri sosial. Adopsi palsu ini merupakan tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 100 juta, karena melanggar Pasal 39 Ayat (1) UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Adopsi antarnegara hanya sah jika mengantongi izin menteri sosial dengan tatacara Peraturan Menteri Sosial No 13/HUK/1993 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6/1983 yang mengatur prosedur adopsi anak.

Ketiga, menggunakan konsep ijon. Perempuan sengaja dipacari, dinikahi secara sah, dan akhirnya hamil. Namun tujuannya hanya untuk mengambil calon bayinya. Di Batam pernah terungkap kasus perempuan seperti itu, yang juga dikirim suaminya menjadi korban perdagangan perempuan. Di Kalbar, banyak perempuan hamil yang diperdagangkan dengan memakai lembaga perkawinan sah. Ternyata sang suami kaki tangan sindikat penjualan bayi. Akibatnya, viktimisasi perempuan justru berganda.

Keempat, dengan modus klinik atau bidan yang membantu perempuan melahirkan yang seakan dengan baik hati menampung dan memelihara bayi yang tidak dikehendaki kehadirannya. Bayi itu bisa jadi hasil hubungan gelap, perkosaan, atau kehamilan tak diinginkan pekerja seksual komersial.

Kelima, modus yang quasi legal, yakni dengan menggunakan lembaga pengasuhan anak yang tidak memiliki izin yang sah untuk pengasuhan dan pengangkatan anak, namun dapat menerima penawaran dan penyerahan langsung kepada keluarga peminatnya. Namun untuk memroses keabsahan adopsinya, yayasan atau lembaga itu tidak memiliki wewenang dan perizinan yang dikeluarkan Departemen Sosial. Kerap kali, calon anak yang akan diadopsi sudah tinggal bersama calon orangtua angkatnya, namun baru diperoses kemudian lewat lembaga yang berwenang atau berizin.

Aspek hukum
Modus yang teridentifikasi itu memberikan fakta bahwa kejahatan jual beli bayi bekerja dalam lingkup kerja sindikat yang terorganisasi dan bahkan transnasional. Oleh karena itu modus penjualan bayi bukan lagi sekadar pelanggaran terhadap hukum nasional. Secara de facto, praktek najis ini sudah masuk dalam domain kejahatan transnasional.

Dalam hukum pidana internasional, perdagangan manusia merupakan kejahatan transnasional. Rujukannya dapat ditelaah dalam Kovensi Palermo tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi. Perdagangan manusia adalah suatu karakter kejahatan yang idem ditto dengan pencucian uang (money laundering), korupsi, terorisme, penyelundupan manusia, dan peredaran narkotika.

Pelaku kriminal jual beli bayi ini dapat dijerat Pasal 83 UU No 23/2002 yang diancam sanksi pidana minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun, ditambah denda yang bisa mencapai Rp 300 juta. Kejahatan jual beli bayi ini juga melanggar Pasal 64 dan 65 UU No 39/1999 tentang HAM.

Pelanggaran dengan modus adopsi palsu untuk mengabsahkan jual beli bayi, kerap kali terjadi dengan memotong jalur proses baku intercountry adoption, yang wajib memperoleh pertimbangan dari Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak Antar Negara (PIPA) Departemen Sosial dan izin tertulis menteri. Izin menteri mempertimbangkan secara teliti baik aspek legal, kemampuan sosial, dan kesiapan ekonomis calon orangtua angkatnya.

Prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri Sosial No 13/HUK/1983, kerapkali diterabas sehingga menjadi isu hukum illegal intercountry adoption. Karenanya, Departemen Sosial berkepentingan untuk selektif dan waspada menjalankan prosedur adopsi antarnegara. Apalagi, intercountry adoption adalah upaya terakhir. Sangat beralasan jika Departemen Sosial didorong melakukan audit kinerja, audit hukum, dan evaluasi menyeluruh atas kemampuan profesional lembaga atau yayasan pengasuhan dan pengangkatan anak.

Transfer organ
Seperti kasus jual beli bayi versi jaringan Batam-Johor yang menempuh jalur yang tidak berdokumen, maka patut dicurigai penggunaan bayi paskatransaksi untuk tranfer organ. Bukan sekadar untuk mengasuh dan menjadikannya warga keluarga untuk melanjutkan kelangsungan trah keluarga.

Seandainya implikasi jual beli bayi terbukti sebagai jalur haram transfer organ, maka urgensi membongkar sindikat penjualan bayi sangat penting, karena sangat mungkin menjadi pengingkaran hak hidup anak.

Hak hidup dalam instrumen Kovenan Hak Sipil dan Politik, Konvensi PBB tentang Hak Anak, adalah hak utama yang tidak dapat dicabut, dikurangi, dan diabaikan, dalam keadaan darurat sekalipun. Modus jual beli bayi akhirnya memasuki domain hak hidup yang dijamin Pasal 28 A UUD 1945. Kua-normatif, penjualan bayi untuk kepentingan tranfer organ atau jaringan tubuh anak adalah kejahatan melanggar Pasal 84 dan 85 UU No 23/2002.

Modus jual beli bayi terkait pula dengan pencucian uang. Karena uang hasil kejahatan penjualan bayi dan perdagangan orang diduga kuat masuk ke sistem perbankan, sehingga dapat dikualifikasi sebagai kejahatan money laundring.

Teranglah betapa meluasnya implikasi penerapan hukum kejahatan transnasional penjualan bayi. Karenanya, pemerintah dan penegak hukum mesti menanganinya serius, terorganisasi, dan bekerja sama secara transnasional pula.

Ikhtisar

- Jual beli bayi masih terjadi di Indonesia
- Setidaknya ada lima modus terkait jual beli bayi, termasuk untuk transfer organ tubuh.
- Secara de facto praktik jual beli bayi termasuk kejahatan transnasional yang disetarakan dengan pencucian uang dan peredaran narkoba

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home