| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, July 25, 2006,10:53 PM

Ketika Paradigma Berubah

Hamid Awaludin

Sebuah kepastian telah muncul. Garis demarkasi antara "kami" dan "mereka" telah dikubur. Kini hanya ada sebuah perahu kebersamaan, bernama Indonesia.

Itulah UU Kewarganegaraan yang baru, menggantikan UU Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958. Para wakil rakyat bersama pemerintah sepakat, diskriminasi etnis dan jender yang diteguhkan undang-undang lama harus menjadi masa silam bangsa.

Paradigma baru

UU Kewarganegaraan yang baru tidak sekadar mengatur siapa dan bagaimana cara menjadi warga negara dan kehilangan status kewarganegaraan. Sebagai karya monumental yang mengubah paradigma dan perilaku.

Konsep bangsa Indonesia asli dijelaskan sebagai orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewargaan lain atas kehendak sendiri.

Konsep itu diilhami paradigma, status kewarganegaraan seseorang ditentukan status yuridis, bukan etnis dan ras. Dengan demikian, perdebatan yang diskriminatif dan konfliktif tentang asli dan tak asli sudah ditutup. Tak ada lagi pemojokan atas etnis tertentu di negeri ini. Semua etnis dan komunitas, secara yuridis, memiliki tanah yang sama.

Dengan UU ini, tak ada lagi anak-anak yang harus terusir dari tumpah darahnya hanya karena status yuridis. UU ini menegaskan, anak yang lahir dari ibu orang Indonesia dan ayah orang asing tidak otomatis mengikuti warga negara ayahnya. Bahkan, pada saat bersamaan, anak boleh menjadi warga negara Indonesia dan warga negara ayahnya hingga usia 18 tahun. Setelah itu, sang anak boleh menentukan kewarganegaraan yang dipilih.

Anak-anak Indonesia hasil perkawinan ayah dan ibu warga negara Indonesia tetapi lahir di negara-negara yang menganut prinsip ius soli (menjadi warga negara karena kelahiran) seperti AS, juga diakomodasi undang-undang ini. Anak-anak Indonesia itu bisa menjadi warga negara di mana ia lahir sekaligus warga negara Indonesia pada saat bersamaan hingga mereka mencapai usia 18 tahun untuk menentukan pilihan. Dalam perspektif ini, kita menganut prinsip kewarganegaraan ganda terbatas.

Nasib anak-anak

Dari sini terlihat, para wakil rakyat dan pemerintah berpihak kepada anak-anak bangsa yang lahir hasil dari perkawinan campuran atau lahir di negara-negara yang menganut prinsip kewarganegaraan ditentukan oleh tempat kelahiran, seperti AS.

Pembuat undang-undang memahami betapa getirnya kehidupan anak-anak yang diombangambingkan status kewarganegaraan. Kasus-kasus memilukan sering menyentak kemanusiaan kita. Banyak anak harus berpisah dengan ibunya dan terusir dari Indonesia karena kesewenangan hukum kita. Berapa banyak anak hasil kawin campur (berayah orang asing) terkena implikasi negatif saat orangtuanya bercerai, mengharuskan anak-anak ikut ayahnya ke negeri asal.

Hal lain, perempuan Indonesia yang menikah dengan pria asing tidak otomatis ikut kewarganegaraan suami seperti undang-undang sebelumnya. Ia bisa tetap menjadi warga negara Indonesia. Bahkan, ia bisa menjadi sponsor suaminya untuk memiliki status permanent residence atau menjadi warga negara Indonesia.

Bagi saudara-saudari kita yang karena alasan tertentu menjadi warga negara asing dan ingin kembali menjadi warga negara Indonesia, pintu terbuka lebar. Apalagi jika mereka menanggalkan kewarganegaraan Indonesianya karena terpaksa.

Spektakuler

Ada terobosan spektakuler. Orang asing yang berjasa dan mengharumkan nama bangsa dan negara dapat menjadi warga negara Indonesia tanpa proses naturalisasi. Kategori jasa bisa berupa hasil pikiran, karya seni, atau perannya pada olahraga.

Dengan ini, kita tak akan pernah lagi mendengar keluhan seorang Hendrawan yang berjasa mengangkat nama bangsa lewat Thomas Cup atau menjadi juara dunia bulu tangkis, tetapi merana jika berhadapan dengan aturan yang tertutup dan tidak fair.

Kita perlu menyadari sebagai bangsa besar dan terbuka. Konsekuensinya, kita harus terbuka memberi penghargaan bagi siapa pun yang berjasa dan berbuat baik bagi bangsa dan negara.

Sebagai bangsa kita tak ingin terbelah garis etnis dan ras. Kita tak ingin tercabik karena nihilnya penghargaan jender. Mimpi buruk tentang ini semua sudah berlalu.

Hamid Awaludin Menteri Hukum dan HAM

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home