| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, July 14, 2006,9:20 AM

Menggagas Fikih Toleransi

Oleh Zuhairi Misrawi

Dalam satu dasawarsa terakhir, kekerasan yang dilakukan dengan atas nama agama merupakan gejala yang bersifat masif. Yang paling menakutkan adalah aksi terorisme yang berbaju paham kemartiran. Yang paling mutakhir adalah aksi perusakan tempat-tempat ibadah dan kelompok minoritas dalam intraagama, seperti Jamaah Ahmadiyah dan lain-lain. Pertanyaannya, benarkah agama atau paham keagamaan merekomendasikan tindakan intoleran, bahkan kekerasan?

Harus diimani sejak awal bahwa agama apa pun mempunyai semangat yang sama untuk membangun toleransi dan menolak tindakan intoleran. Agama-agama mengusung kedamaian dan antikekerasan. Tapi, masalahnya selalu pada ranah sosial dan realitas keumatan.

Menurut para pakar sosiologi agama, selalu ada ketegangan antara agama dan paham keagamaan (Said Asymawi: 1996). Pada level tertentu, paham keagamaan menempati posisi yang paling sentral karena yang sampai kepada masyarakat bukan agama itu sendiri, tetapi paham keagamaan.

Bahkan, dalam tataran sosiologis, masyarakat agama-agama dibentuk oleh paham keagamaan itu sendiri. Masyarakat muslim di Maroko pada umumnya menganut mazhab Imam Maliki. Masyarakat Mesir menganut mazhab Imam Hanafi.

Masyarakat Indonesia menganut mazhab Imam Syafi’i. Masyarakat Madinah menganut mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan masyarakat muslim di Iran menganut mazhab Syiah. Syi’ah pun dibagi ke dalam berbagai aliran-aliran kecil lainnya.

Kelompok yang tidak pernah mengenal fakta keragaman sosiologis seperti di atas akan mudah menganggap paham keagamaan sebagai agama itu sendiri. Konsekuensinya pun bisa berakibat fatal, yaitu munculnya klaim kebenaran dan sikap keberagamaan yang eksklusif. Lambat laun mulai terasa bangsa ini pun terjangkit penyakit yang amat menakutkan tersebut. Otoritas keagamaan sering digunakan sebagai alat untuk mengotoritarisasi paham keagamaan. Munculnya fatwa keagamaan yang saling menyalahkan, bahkan menyesatkan berdasarkan paham keagamaan tertentu, merupakan salah satu pemandangan yang makin mempertegas munculnya paham keagamaan yang otoriter. Karena itu, perlu digalakkan upaya untuk melahirkan fikih toleransi (fiqh al-tasâmuh). Fikih semacam itu mutlak diperlukan dalam rangka memberikan alternatif pemikiran dalam rangka menyikapi realitas kemajemukan, baik dalam lingkup intraagama maupun antaragama. Paham keagamaan sejak dahulu kala merupakan paham yang bersifat dinamis dan sintesis. Hampir tidak ada paham keagamaan yang bersifat otoriter karena yang otoriter hanyalah Tuhan. Karena itu, dengan sikap rendah hati dan asketis, para ulama senantiasa mengakhiri pandangannya dengan sebutan wallahu a’lam bi al-shawâb. Ungkapan tersebut merupakan sebuah bentuk asketisme dalam paham keagamaan bahwa Yang Mahabenar dan Mahatahu hanyalah Tuhan. Sedangkan paham keagamaan yang dilahirkan para ulama merupakan pemikiran yang bersifat relatif. Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali bersifat toleran terhadap paham lain yang berbeda. Dalam hal ini, Muktamar Ke-31 Nahdlatul Ulama di Boyolali, Solo, telah melahirkan sebuah keputusan metodologis yang memberikan harapan bagi toleransi paham keagamaan. Yaitu, perlunya mengambil keputusan hukum Islam dari empat mazhab Sunni: Maliki, Hanafi, Hanbali, dan Syafi’i.

Dalam skala yang lebih luas, fikih toleransi sejatinya dapat menyentuh setidaknya tiga wilayah: Pertama, pada level diskursus keagamaan. Dalam hal ini, harus dimunculkan kesadaran masif bahwa pada hakikatnya agama membawa pesan toleransi, perdamaian, dan antikekerasan.

Dalam Alquran, banyak sekali pesan tentang toleransi. Misalnya, perlunya kebebasan dalam iman dan agama (QS. 109:6; ), tidak ada paksaan dalam beragama (QS. 2:256), serta koeksistensi dan saling menghargai (QS. 49:13). Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW pernah mendoakan jenazah orang Yahudi. Kemudian, para sahabat terkejut dan bertanya, "Bukankah jenazah tersebut adalah orang Yahudi?". Nabi menjawab, "Bukankah dia juga manusia."

Dalam hadis lain disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengibaratkan agama-agama (Yahudi, Kristen, dan Islam) dengan sebuah rumah. Sebelum Islam datang, rumah tersebut sudah berdiri tegak dan kukuh. Islam hadir tidak untuk menghancurkan rumah tersebut, melainkan hanya meletakkan sebuah batu bata di bagian pojok rumah.

Atas dasar inilah, Islam pada hakikatnya adalah agama yang memberikan toleransi terhadap eksistensi agama-agama lain. Apalagi terhadap keragaman dalam lingkungan Islam sendiri.

Kedua, pada level legal formal. Dalam rangka mengukuhnya visi toleransi, Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah senantiasa mengedepankan munculnya kesepakatan (gentle agreement) yang secara eksplisit menggariskan toleransi di atas nota kesepahaman. Misalnya, Perjanjian al-Fudhul (half al-fudhûl), Piagam Madinah (dustûr al-madînah), dan Perdamain Hudaybiyah (Shulh al-Hudaybiyyah). Pada pemerintahan Umar bin Khattab, juga muncul kesepakatan perdamaian yang dikenal dengan Perjanjian Umar (al-’Uhdah al-Umariyyah).

Sedangkan pada masa Ottoman, lahir Piagam Penaklukan Kontantinopel (Watsîqah Fath al-Qanthanthîniyyah). Keseluruhan kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan para penguasa muslim pada masa lalu mempunyai kehendak politik untuk memilih toleransi sebagai pilihan utama. Sedangkan pilihan konflik atau perang merupakan sebuah pengecualian. Artinya, sebisa mungkin dihindari.

Ketiga, pada level basis material. Harus disadari bahwa toleransi bukanlah konsep kosong, tetapi sebuah konsep yang meniscayakan keadilan dan kesejahteraan sosial. Toleransi harus mempertimbangkan distribusi ekonomi yang adil, terutama bagi kelompok yang terpinggirkan.

Masyarakat yang tingkat distribusi ekonominya adil dan sejahtera jauh lebih mudah meminimalisasi kekerasan dan intoleransi daripada masyarakat yang dirundung kemiskinan dan kemelaratan.

Karena itu, kadang perlu dimaklumi pula bahwa sikap intoleran sering muncul dalam masyarakat yang papa secara ekonomi. Kekerasan di negara-negara seperti Afrika dan India pada umumnya disebabkan motif basis material yang tidak berkeadilan. Di sinilah distribusi ekonomi yang adil merupakan salah satu pintu menuju toleransi.

Fikih toleransi sejatinya dapat menjadi agenda nasional, baik pada level kalangan agamawan, wakil rakyat di parlemen, maupun penentu kebijakan ekonomi. Seluruh lapisan masyarakat harus bekerja keras untuk mewujudkan toleransi.

Karena itu, John Locke benar tatkala berkata bahwa manusia pada hakikatnya mempunyai kebebasan di satu sisi, tetapi juga harus bersikap toleran di bawah naungan hukum yang disepakati bersama.

Zuhairi Misrawi, intelektual muda Nahdlatul Ulama

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home