| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, July 21, 2006,4:01 PM

Menggagas Dana Perimbangan Bencana

Fahmi Amhar

Kemarau panjang telah tiba dan kini petani menjerit. Waduk-waduk irigasi menampakkan dasarnya. Puluhan ribu hektar sawah kini kering. Di beberapa daerah, ibu-ibu dan anak-anak terpaksa mencari air berkilometer jauhnya.

Di Malaysia dan Singapura kini sedang musim asap, yang datang dari hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan. Hutan itu entah sengaja dibakar untuk membuka lahan atau terbakar sendiri. Saluran inframerah citra satelit NOAA menunjukkan, ratusan hot spot (bukan istilah fasilitas akses internet wireless di kafe, tetapi benar-benar "titik panas"). Artinya, dalam satu piksel NOAA yang berdimensi sekitar 1 x 1 km itu diduga ada api atau bara api.

"Hot spot"

Identifikasi NOAA memang masih kasar. NOAA hanya membedakan, di suatu cakupan 1 x 1 km panasnya melebihi suatu nilai threshold tertentu yang ditetapkan. Bila nilai ini diturunkan, tentu akan lebih banyak hot spot yang bermunculan.

Tentu saja tidak semua hot spot benar-benar kebakaran hutan. Suatu industri yang banyak memiliki mesin-mesin kalor atau pusat kemacetan transportasi akan teridentifikasi sebagai hot spot.

Karena itu, data hot spot harus digabung dengan data lain yang menunjukkan tempat itu seharusnya tidak hot, bukan daerah industri atau transportasi. Daerah itu adalah hutan yang semestinya sejuk.

Adanya hot spot menunjukkan sesuatu yang tidak beres. Namun, piksel NOAA yang amat kasar (1 x 1 km) masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Dengan helikopter, luasan itu tidak banyak artinya. Namun, bagi polisi hutan yang berjalan di darat, tentu memerlukan energi tinggi untuk benar-benar menemukan sumber kebakaran. Ini baru menemukan, belum memadamkannya.

Melibatkan masyarakat

Dengan areal hutan yang amat luas (lepas dari sebagian kini tinggal belukar, hutannya sendiri sudah habis dijarah), tentu tidak mudah bagi siapa pun untuk dapat mengatasi kebakaran hutan dengan cepat. Terlalu banyak daerah yang amat sulit dijangkau. Karena itu, lebih baik adalah tindakan preventif.

Tindakan preventif ini jika ingin efektif harus melibatkan masyarakat lokal. Selama ini para penjarah hutan juga melibatkan masyarakat lokal. Masyarakat lokal sering bertindak jangka pendek karena iming-iming (uang, minuman keras) dari para pengusaha hitam. Karena itu, masyarakat lokal perlu diberdayakan, diberi fasilitas pendidikan bermutu yang terjangkau, diberi infrastruktur agar nilai tawar mereka di pasar meningkat sehingga mereka terbebas dari kemiskinan struktural yang membelitnya, serta dilindungi dari ancaman pengusaha hitam yang sering meneror mereka dengan senjata.

Sebenarnya ini mirip hal yang diperlukan dalam mengatasi kekeringan yang meluas. Selama ini, para petani termarjinalkan. Berbagai kebijakan politis belum berpihak kepada mereka. Pada saat panen raya, pemerintah justru impor beras. Namun pada musim paceklik seperti sekarang, belum kelihatan solusi yang ditawarkan pemerintah.

Sebenarnya, pemerintah bisa melakukan pemetaan terhadap lahan pertanian untuk dapat diketahui jenis-jenis kesulitan yang dihadapi setiap lahan secara rinci. Dengan pemetaan itu akan diketahui areal yang rawan kekeringan, atau sebaliknya rawan banjir, juga daerah dengan kelerengan tertentu yang berarti lebih sulit pengerjaannya dan rawan longsor, lalu daerah pertanian terpencil yang akses infrastrukturnya masih sangat terbatas, dan seterusnya.

Dalam skala lebih detail—ini pernah diaplikasikan di beberapa perkebunan sawit dengan luas ratusan ribu hektar—pemetaan ini bisa sampai pada level kondisi kesehatan tiap tanaman sehingga kebutuhan air, pupuk, dan pestisida dapat dipenuhi secara optimal. Inilah yang dikenal dengan precision farming.

Dengan pemetaan ini, dapat diketahui secara tepat jenis dan besaran subsidi yang harus diberikan pemerintah kepada petani. Subsidi tidak selalu berupa pupuk atau alat pertanian.

Pemetaan ini seharusnya juga efektif untuk tindakan preventif terhadap kekeringan. Suatu lahan yang diperkirakan akan kering dapat segera dikonversi ke tanaman lebih tahan kekeringan.

Pemetaan seperti ini akan mengurangi dampak kekeringan, namun belum mengatasi korban yang berjatuhan. Di situlah kembali ditunggu peran negara. Di negara sebesar Indonesia ini, tentu kemungkinannya kecil, seluruh negeri terkena kekeringan.

Sepertinya negara perlu mengalokasikan "dana perimbangan bencana" yang tetap dipegang pemerintah pusat, namun dihitung per daerah sesuai potensi bencananya, dan baru dicairkan bila bencana telah terjadi.

Jangan sampai bencana yang terus muncul dijawab pemerintah dengan, "Pos bencana alam sudah habis", namun pemerintah tetap punya pundi-pundi untuk membayar gaji ke-13 pejabat, untuk studi banding ke luar negeri, dan untuk aneka kegiatan yang manfaatnya untuk masyarakat justru tak jelas.

Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home