| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, July 21, 2006,3:58 PM

Lemahnya Sistem Peringatan Dini

Wahyudin Munawir
Anggota Komisi VII DPR, Alumnus Geofisika ITB

Bencana tsunami di Aceh Desember 2004 yang menewaskan 200 ribu orang lebih, tampaknya belum cukup menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Ini terbukti ketika tsunami kembali menerjang kawasan pantai di selatan Jawa, nasib korbannya sama tragis seperti korban tsunami Aceh, meski jumlahnya tak sebanyak di Serambi Mekah.

Tsunami akibat gempa tektonik berkekuatan 6,8 skala Richter yang berpusat di Samudra Hindia yang menghempas khususnya di daerah wisata seperti Pangandaran (Ciamis), Parang Tritis (Yogyakarta), Aya (Kebumen), dan Cilacap, menimbulkan banyak korban. Maklumlah karena di daerah wisata pantai tersebut tiap hari banyak turis domestik dan mancanegara.

Dari jumlah korban tewas --sekitar 400 orang yang terdata sampai tulisan ini dibuat-- sebagian besar adalah wisatawan dan orang-orang yang bertempat tinggal di sana. Kawasan wisata pantai Pangandaran dan Parang Tritis, misalnya, tidak hanya dipenuhi hotel-hotel dan tempat hiburan untuk wisatawan, tapi juga merupakan daerah padat penduduk.

Masyarakat senang tinggal di daerah wisata karena lebih mudah mencari uang. Uang yang beredar di tempat-tempat wisata relatif lebih banyak ketimbang di daerah pertanian atau perkebunan. Itulah sebabnya, di daerah wisata manapun, penduduknya cukup padat.

Fenomena semacam ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Terutama untuk daerah-daerah wisata pantai yang ada di jalur-jalur gempa tektonik di sepanjang pantai barat Sumatera, Selat Sunda, dan selatan Jawa. Wilayah-wilayah tersebut secara geologis sangat riskan terhadap gempa tektonik dan tsunami.

Early warning
Menjelang terjadinya tsunami di Aceh, Pusat Penelitian Gempa dan Tsunami di Australia dan Amerika telah mengirimkan early warning kepada pemerintah Indonesia. Tapi sayang, saat itu early warning tersebut kurang mendapat tanggapan.

Pemerintah Thailand yang menanggapi early warning tersebut relatif sedikit mempersiapkan diri. Meski akhirnya antisipasi Thailand nyaris tak ada artinya ketika tsunami raksasa itu datang, tapi setidaknya pemerintah Thailand sedikit berkurang 'kebingungannya' saat menghadapi bencana dahsyat itu. Ini berbeda dengan pemerintah Indonesia yang kelihatan bingung dan grogi ketika mengetahui dahsyatnya tsunami dan banyaknya korban yang tewas. Kebingungan dan kegrogian itulah yang berimplikasi pada 'kacaunya' manajamen penyelamatan dan penanganan korban pascatsunami.

Sebagai negeri kepulauan yang secara geologis berada pada jalur ring of fire seperti Jepang, mestinya pemerintah sejak dini sudah mengantisipasi segala kemungkinan terjadinya gempa tektonik yang besar dan tsunami. Secara geologis, misalnya, beberapa jurnal ilmiah mengenai gempa bumi, kegunung-apian, dan kebumian --baik yang diterbitkan di dalam maupun di luar negeri-- sudah memperingatkan kemungkinan akan datangnya gempa besar dan tsunami di Indonesia.

Majalah Alami yang diterbitkan BPPT, misalnya, tujuh tahun sebelum terjadinya tsunami Aceh sudah memprediksi akan munculnya gempa tektonik dan kemungkinan munculnya tsunami raksasa di wilayah pantai barat Sumatra. Tapi sayang, ulasan ilmiah itu hanya berhenti pada wacana dan tidak berujung pada kebijakan pemerintah. Padahal, pemerintah maupun pakar-pakar gempa sudah tahu betul bahwa Indonesia adalah negeri yang rawan bencana gempa, baik tektonik maupun vulkanik.

Dari data yang dikeluarkan Ditjen Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), misalnya, terlihat ada 25 dari 33 provinsi di Indonesia yang berada di kawasan gempa. Masing-masing kawasan terkepung beberapa lempengan tektonik, di antaranya lempeng Auro-Asia dan lempeng Australia-India. Dua lempengen itulah yang kemungkinan memicu terjadinya gempa tektonik besar di Yogyakarta, tsunami Aceh, dan kini tsunami Pantai Selatan Jawa.

Bahkan, secara implisit pakar gempa ITB Benyamin Sapiie menyatakan bahwa semua kota besar di Indonesia potensial terkena gempa. Ini terjadi karena mayoritas kota-kota besar di Indonesia tumbuh di atas wilayah gempa. Orang Indonesia bisa diibaratkan hidup di atas bom waktu. Suatu saat pasti akan meledak. ''Hanya soal waktu saja,'' kata Pak Benyamin.

Dalam keadaan diam, misalnya, lempengen tektonik yang menyelimuti sebagian besar kota di Indonesia tidak bermakna apa-apa. Namun sayang, mereka tidak bernah diam atau hanya bergerak di tempatnya. Secara alamiah lempeng-lempeng itu bergerak dengan kecepatan tujuh milimeter per tahun. Gerakan-gerakan lempengan tektonik inilah yang lambat laun akan memicu timbulnya gempa tektonik. Jika gempa tektonik itu terjadi di dasar lautan dan gempa itu mengakibatkan amblesnya atau bergesernya lempengan kulit bumi yang besar, maka terjadilah tsunami.

Jawa rawan
Pulau Jawa yang terpadat penduduknya di Indonesia adalah pulau yang rawan gempa. Pulau Jawa dikelilingi lima zona gempa. Masing-masing zona Banten-Pandeglang, zona Bantar Kawung-Sukabumi, zona Yogyakarta, zona Lasem-Semarang, dan zona Banyuwangi. Sudah saatnya penduduk Pulau Jawa --sebagaimana halnya penduduk Jepang-- mulai belajar mengantisipasi bencana gempa dan tsunami sedini mungkin.

Bencana gempa seharusnya sudah menjadi 'kewaspadaan' rutin bangsa Indonesia. Ini berarti, sejak dini setiap orang Indonesia sudah diperkenalkan dengan ilmu kegempaan dan segala konsekuensinya --terutama bagaimana menyelamatkan diri jika muncul gempa besar. Khusus bagi masyarakat yang tinggal di pantai, perlu ditambah pengetahuan bagaimana tanda-tanda kedatangan tsunami pascagempa dan bagaimana cara menyelamatkan dari hempasan gelombang besar itu.

Dari berbagai kasus bencana gempa dan tsunami yang bertubi-tubi menerjang Indonesia dalam dua tahun terakhir, saya kira, sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan yang integral dalam mengatasi bencana alam, khususnya gempa dan tsunami. Kebijakan ini tidak hanya berupa pembangunan early warning system yang terpadu dan dimengerti masyarakat, tapi juga merumuskan kembali sistem tata ruang bagi pemukiman, pusat perdagangan, perkantoran, pariwisata, dan lain-lain. Semua itu perlu dirumuskan secara terpadu, lalu dituangkan dalam UU, sehingga kelak masyarakat dan pemerintah Indonesia tidak kalang kabut ketika menghadapi gempa bumi dan tsunami.

Dua pelajaran tsunami dalam dua tahun terakhir sebetulnya merupakan early warning dari Allah agar bangsa Indonesia segera mempersiapkan diri secara cermat dan cerdas untuk menghadapi bencana-bencana semacam itu di masa depan. Dan jangan lupa, bencana itupun merupakan peringatan Tuhan terhadap bangsa Indonesia yang masih terus bergelimang dalam dosa dan noda. Karena itu, di samping upaya-upaya ilmiah, bangsa Indonesia juga perlu melakukan upaya-upaya ilahiah berupa tobat nasional agar Allah menjauhkan kita dari segala bencana. Amin.

Ikhtisar
* Indonesia, seperti Jepang, berada pada jalur cincin api (ring of fire). Mestinya, sejak dini pemerintah sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya gempa tektonik dan vulkanik, maupun tsunami.
* Karena mayoritas kota-kota besar di Indonesia tumbuh di atas wilayah gempa, orang Indonesia bisa diibaratkan hidup di atas bom waktu. Suatu saat pasti akan meledak. Hanya soal waktu saja.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home