| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, July 20, 2006,11:58 AM

Awal Kejatuhan Israel dan AS

Abdillah Toha
Anggota Komisi I DPR, Ketua Fraksi PAN

Tulisan ini akan memaparkan mengapa penulis percaya bahwa agresi brutal Israel atas Palestina dan Lebanon merupakan awal kejatuhan Israel dan pendukung utamanya Amerika Serikat (AS). Bagi AS, setidaknya ini akan merupakan pelajaran terakhir tentang gagalnya politik luar negeri mereka yang didasarkan pada arogansi kekuasaan militer dan ekonomi dan unilateralis.

Pertama, Israel dan AS salah hitung tentang Hamas. Hamas bukanlah Fatah yang banyak dijangkiti korupsi dan pengkhianat yang mudah dibeli dengan uang. Hamas menang pemilu secara meyakinkan dan legitimate karena ketulusan, kejujuran, dan terbukti ikhlas berniat membebaskan Palestina dari kesengsaraan dan penindasan Israel. Hamaslah yang berada di garis depan sejak awal intifadah.

Upaya mereka mencekik keuangan dan ekonomi Palestina dengan segala cara tidak berhasil. Maka untuk menghapuskan Hamas dari peta Palestina, Israel harus mengebom rata seluruh Palestina, bila perlu dengan bom nuklir yang mereka miliki. Tapi, kecuali penguasa Tel Aviv atau Washington terjangkit penyakit gila, penggunaan senjata nuklir hampir pasti tak akan terjadi, karena bisa menyulut perang dunia ketiga.

Berbeda dengan Fatah yang mengakui Israel, Hamas tidak. Setiap perundingan hanya akan dilakukan bila semua opsi terbuka, tanpa prakondisi harus mengakui Israel terlebih dahulu. Pengeboman membabi-buta ke Gaza dan sekitarnya tak akan mematahkan perjuangan Hamas, karena rakyat Palestina sudah terbiasa hidup sengsara sejak Israel 'dicangkokkan' di sana pada 1948. Hamas dan pendukungnya akan terus melawan sampai Israel kelelahan dan banyak jatuh korban di pihak Israel.

Kedua, Israel dan AS lagi-lagi salah hitung tentang Hizbullah. Kali ini lebih bodoh. Karena Hizbullahlah yang berhasil mengusir AS dari Lebanon pada 26 Februari 1984, setelah serangan Hizbullah menewaskan 264 marinir AS dan puluhan staf kedutaan AS di sana. Hizbullah pula yang membuat Israel kapok menetap di Lebanon Selatan dan minggat Mei 2000.

Goyah
Serangan-serangan balasan Hizbullah dengan rudal ke kota-kota Israel telah mulai menggoyahkan Israel dan sekutunya, AS. Awalnya Bush mendukung serangan Israel tanpa reserve. Belakangan Menlu AS, Condoleezza Rice, mulai meminta Israel 'menahan diri' setelah melihat makin banyak korban di pihak Israel.

Hizbullah adalah organisasi perlawanan yang didukung ratusan ribu pengikut militan, fanatik, dan terorganisasi rapi. Mereka juga memiliki persenjataan lumayan, di antaranya 100 ribu lebih roket jarak dekat dan menengah yang bisa mencapai Tel Aviv yang berjarak kurang lebih 80 mil (120 km) dari Beirut. Untuk menundukkan Hizbullah, lagi-lagi Israel harus mengebom rata seluruh Lebanon. Atau melakukan serangan darat dan menduduki Lebanon, seperti tahun 1990-an. Kedua opsi ini jelas tidak visible. Pendudukan Lebanon diperkirakan akan menimbulkan korban besar di pihak Israel.

Ketiga, serangan ke Gaza dan Lebanon ini bukanlah sesuatu yang tak terduga. Semuanya sudah diskenariokan Israel dan AS untuk 'membersihkan' kawasan itu dari pejuang-pejuang gigih Hamas dan Hizbullah yang mereka juluki sebagai teroris.

Provokasi pertama tidak dilakukan Hamas, tapi oleh Israel. Itu terjadi pada pagi 9 Juni, ketika dunia sedang memusatkan perhatian pada pembukaan Piala Dunia di Berlin. Saat itu, kapal perang Israel membunuh satu keluarga Palestina (keluarga Ghalia) di tepi Pantai Gaza. Tujuh tewas: dua wanita, tiga anak-anak --satu berusia satu tahun. Sebanyak 40 orang luka-luka, 13 di antaranya anak-anak.

Keempat, Israel dan AS telah berkali-kali membuat pernyataan bahwa aksi Hizbullah didukung Iran dan Suriah. Pernyataan-pernyataan tersebut bisa jadi dalih memperluas konflik, yang tujuan akhirnya adalah melakukan serangan. Tapi opsi inipun sangat kecil kemungkinannya, karena Israel dan AS sadar bahwa Iran punya persenjataan yang cukup kuat, termasuk rudal-rudal jarak jauh yang dapat meluluh-lantakkan Israel.

Kelima, dunia, termasuk dunia Barat, sudah mulai muak dengan brutalitas Israel dan AS. Terbukti, dalam resolusi DK PBB yang bermaksud menghentikan agresi Israel, hanya AS yang menolak dengan veto. Sebagian besar mendukung dan sisanya --beberapa negara pengikut buta AS seperti Inggris-- abstain. Begitu pula dalam pertemuan puncak G8 di Rusia, hampir semua negara mengecam Israel, kecuali AS.

Avonturisme Israel dan AS di Timur tengah juga dianggap telah mengancam kestabilan ekonomi dunia dengan melonjaknya harga minyak mentah yang belakangan telah mendekati 80 dolar AS per barel.

Keenam, di AS saat ini banyak pihak mulai berani menyuarakan terang-terangan ketidakberdayaan AS menghadapi tekanan dan pemerasan lobi Israel. Belum lama ini tersebar luas tulisan panjang lebar dua profesor dari Universitas Harvard dan Chicago, yang mengkritik keras politik luar negeri AS yang dikendalikan oleh lobi Israel. AS disebut lebih mementingkan melindungi kepentingan Israel daripada kepentingan jangka panjang AS.

Gagal
Dalam tulisannya berjudul How To Lose The War On Terror, dua peneliti AS meramalkan perang melawan terorisme akan gagal tanpa menyelesaikan masalah Palestina dan menciptakan perdamaian abadi di Timur Tengah. Perdamaian abadi di sana tak akan terjadi tanpa berdialog dan mendengar langsung keluhan (grievances) Hamas dan Hizbullah yang legitimate dan didukung konstituennya.

Ketujuh, AS dan sekutunya sudah sangat kelelahan di Afghanistan dan (terutama) di Irak. Ratusan miliar dolar AS telah dikuras dari anggaran belanja AS dan ribuan tentara mereka telah tewas tanpa gambaran yang meyakinkan bahwa 'misi' mereka telah atau menuju berhasil. Justru sebaliknya, belakangan ini korban-korban di kalangan sipil Irak terus berjatuhan dan 'demokrasi' yang dijejalkan AS di sana sangat rapuh.

Posisi AS di Irak serba salah dan dilematis. Tetap bertahan salah dan rakyat AS sudah tidak sabar. Sedangkan meninggalkan Irak dalam keadaan sekarang berarti mengakui kekalahan. Kita memperkirakan, apapun kondisi di Irak, AS tidak akan mampu bertahan lebih dari setahun lagi.

Kedelapan, kekuatan-kekuatan progresif di dunia mulai bermunculan menentang secara terbuka hegemoni AS di dunia. Tidak di Asia dan Afrika saja, tapi juga di Eropa dan Amerika Latin. Di Asia, Iran dan Korea Utara terang-terangan menantang dan melawan tekanan AS. Cina yang dianggap oleh AS sebagai potensi ancaman ekonomi dan militer terbesar di Asia, tinggal menunggu saat yang tepat untuk unjuk gigi.

Di Eropa, Rusia telah mulai menunjukkan jati dirinya dengan tidak selalu setuju dengan AS, walau saat ini masih menjaga keseimbangan demi kepentingan ekonominya. Di Afrika, AS yang pernah terusir dari Somalia dan gagal mengendalikan Sudan, akan berpikir dua tiga kali sebelum mencoba berpetualang di sana.

Di Amerika Latin, di bawah pimpinan Presiden Hugo Chavez dari Venezuela dan Fidel Castro dari Kuba, satu persatu hegemoni AS runtuh di Bolivia, Chile, dan hampir saja di Meksiko yang kandidat presidennya dari kelompok kiri sampai sekarang masih belum mengakui kekalahan tipis dari lawan konservatifnya.

Akhirnya, bagaimana dengan posisi dan sikap Indonesia ke depan? Mudah-mudahan kita tidak salah baca lagi tentang apa yang sedang terjadi dalam geopolitik global sehingga kita akan ketinggalan kereta. Semoga.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home