| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, July 19, 2006,10:00 AM

BK dan Hak Recall DPR

Kacung Marijan

Selama ini, Badan Kehormatan (BK) DPR sering dianggap sebagai "macan kertas", punya otoritas lumayan besar, tetapi tidak dipakai secara serius. Lihat saja apa yang terdapat di dalam pasal 62 Tata Tertib DPR. Di situ disebutkan, "Setelah BK melakukan penelitian dan mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, bukti-bukti serta saksi-saksi, BK dapat memutuskan: (a) teguran tertulis (b) pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan kelengkapan DPR, atau (c) pemberhentian sebagai anggota".

Sebagaimana diberitakan media massa dan elektronika, BK membuat keputusan serius terhadap 19 kasus, yang meliputi 13 kasus absensi, 1 kasus talak palsu, 1 kasus percaloan proyek alat kesehatan, 1 menyewakan rumah dinas, 1 kasus amplop, 1 pemerasan kepala daerah, dan 1 kasus percaloan pemondokan haji dan katering. Delapan belas kasus diberi sanksi teguran, termasuk pemindahan komisi, dan satu kasus diberhentikan.

Gebrakan BK itu memang bak geledek di siang bolong. Sebagaimana hasil survei Transparansi Internasional, DPR termasuk institusi yang dinilai paling korup. Sekiranya hasil survei itu valid, sejatinya banyak kasus di DPR yang berisi pelanggaran sumpah/janji serta melanggar kode etik. Sebagaimana tertuang di dalam UU No 22 Tahun 2003 tentang Susduk DPR, pelanggar bisa diberhentikan atau PAW.

***

Munculnya pandangan bahwa BK itu selama ini bak "macan kertas" tidak lepas dari realitas bahwa yang menjadi anggota BK adalah para anggota DPR sendiri. Ada kekhawatiran, para anggota BK itu memiliki solidaritas kelompok. Di samping itu, mereka juga anggota partai yang dikendalikan oleh pimpinan partai. Sehingga, kalau pun BK memberikan sanksi, yang dikeluarkan merupakan sanksi yang paling ringan.

Tetapi, sebagaimana yang tertuang dalam keputusannya, BK memasukkan satu sanksi terberat, yaitu memberhentikan seseorang dari keanggotaannya di DPR.

Sejauh ini, memang baru terdapat dugaan bahwa sanksi terberat itu diberikan kepada Aziddin (Jawa Pos, 17 Juli 2006), anggota DPR dari PD yang diduga terlibat percaloan pemondokan haji. Karena itu, dia dianggap melanggar kode etik.

Konon, BK memberikan sanksi berat kepada Aziddin bukan hanya karena kasus pemondokan haji itu saja. BK pernah memperoleh laporan karena pernah terlibat kasus penipuan sebesar Rp 800 juta dan kasus jual beli rumah dan toko sebesar Rp 4 miliar (Republika, 17 Juli 2006).

Realisasi dari sanksi seperti itu memang masih membutuhkan proses panjang. Sebagaimana diatur di dalam Tatip, keputusan itu harus diteruskan kepada presiden untuk diresmikan.

Terlepas dari itu, keputusan tersebut merupakan sesuatu yang baru bagi sejarah perwakilan politik Indonesia. Selama ini, kalau pun ada anggota DPR yang diberhentikan, itu lebih disebabkan keputusan partai politik. Djoko Edhi Soetjipto, misalnya, diberhentikan keanggotaannya dari DPR karena di-PAW oleh PAN, partai asalnya.

Masalah recall pernah diberhentikan pada 1999-2004. Ada tekanan kuat, hak recall oleh partai itu harus dihilangkan karena pengalaman di masa pemerintahan Orde Baru menunjukkan bahwa hak itu disalahgunakan orang-orang yang berkuasa.

Anggota DPR diberhentikan bukan karena melanggar kode etik atau melakukan praktik korupsi, misalnya, melainkan karena berseberangan dengan pimpinan partai. Sri-Bintang Pamungkas, contohnya, diberhentikan karena dianggap kelewat batas ketika mengkritik pemerintah.

Tetapi, pada periode 2004-2009, hak recall itu diberlakukan kembali. Para politisi, khususnya yang mengendalikan partai, berpandangan bahwa anggota DPR pada dasarnya merupakan kepanjangan partai di lembaga perwakilan. Karena itu, mereka seyogianya harus berseiring sejalan dengan kebijakan partai.

Keputusan untuk mengembalikan hak recall itu pada dasarnya merupakan keputusan mundur. Keputusan demikian berarti memberikan ruang kepada partai untuk bercorak ke arah oligarkis. Partai bisa secara leluasa me-recall anggota DPR yang berseberangan dengan kepentingan petingginya dengan cara yang cukup mudah. Misalnya saja, hanya dengan cara memecat anggota DPR itu dari keanggotaan partai, mereka bisa diusulkan untuk di-recall.

Prosedur recall seperti itu bukan hanya tidak demokratis, melainkan juga berlawanan dengan proses pendalaman demokrasi yang sedang berlangsung. Mulai Pemilu 2004, misalnya, para pemilih sudah mulai dilibatkan memilih "calon", selain memilih "partai". Ini berarti, ketika orang itu bisa duduk menjadi anggota DPR bukan semata-mata kebijakan partai, melainkan juga karena keinginan konstituen.

Ketika partai politik tiba-tiba memiliki hak untuk me-recall, berarti telah mengambil hak konstituen. Secara politik, orang itu bisa terpilih kembali atau tidak sebagai anggota DPR bukan hanya ditentukan partai. Lebih dari itu adalah karena keinginan para pemilih.

***

Keputusan BK saat ini telah memberi ruang baru bagi wacana recall di masa depan. Secara politik, dalam kasus seperti ini, anggota DPR bisa saja diberhentikan. Tetapi, mereka diberhentikan bukan karena berseberangan dengan pimpinan partai, melainkan karena telah melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum.

Memang, penggunaan recall oleh partai saat ini tidak sama persis dengan penggunaan hak recall pada masa pemerintahan Orde Baru. Tetapi, modus operandinya, bisa jadi, tidak jauh berbeda, yakni diberlakukan kepada orang-orang yang berseberangan dengan pimpinan partai.

Dalam konteks seperti ini, penggunaan hak recall lalu tidak didasarkan pada objektivitas, melainkan pada subjektivitas kepentingan petinggi partai.

Berangkat dari kasus BK sekarang ini, masalah recall itu bisa saja tetap dipakai. Tetapi, yang melakukannya bukan partai, melainkan BK, misalnya, setelah mempertimbangkan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan anggota DPR.

Kacung Marijan PhD, staf pengajar FISIP Unair tengah melakukan riset di Australia

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home