| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, July 09, 2006,7:22 PM

Menemukan Kata dan Makna, Menciptakan Dunia

Dwicipta

Ketika seorang teman saya bertanya apakah manfaatnya membaca karya-karya besar penulis dunia secara intens, saya hanya menjawab sambil lalu dan penuh kelakar: untuk menemukan kata dan makna! Teman saya tertawa dan mengatakan saya tak serius menjawabnya. Ia kemudian segera melupakan pertanyaan tersebut dan dengan penuh antusias berbicara tentang karya John Steinbeck, The Pearl, yang agak keluar dari mainstream yang biasa ditulis oleh peraih hadiah Nobel sastra tahun 1963 tersebut.

Namun, jikalau ia segera melupakan pertanyaan yang semula dilontarkannya, saya justru termakan oleh pertanyaan tersebut. Sesudah percakapan panjang lebar itu, saya masih bertanya-tanya pada diri saya apa manfaat dari pembacaan kembali karya-karya para penulis terdahulu, terutama para sastrawan yang telah ditahbiskan sebagai para maestro-maestro dunia. Saya teringat kembali dengan Sophocles, Dante, Johann Wolfgang Von Goethe, Charles Dickens, Dostoyevsky, Tolstoy, James Joyce, dan Marcel Proust—untuk menyebut sedikit di antara para sastrawan jempolan dunia.

Untuk apakah kita membaca karya sastra di masa-masa sebelumnya? Dan untuk apa seorang penulis memiliki semacam ’kewajiban’ untuk membaca karya-karya dari generasi sebelumnya, kadang dalam suatu rentang masa yang sangat panjang dan proses penelitian yang melelahkan? Relevansi apa yang ia peroleh dari pembacaan kembali karya-karya di masa itu? Pertanyaan ini mungkin sangat biasa dibenak para penulis, meskipun dalam beberapa hal mereka lebih cenderung tak mau menjawabnya atau bahkan banyak pula yang mengabaikannya, membuangnya ke wilayah pelupaan.

Sementara bagi sebagian penulis lainnya, pertanyaan tersebut terasa sangat menghantui, membuat mata tetap terjaga sampai lama dan pikiran rusuh terus-menerus. Gabriel Garcia Marquez dalam suatu kesempatan mengakui dirinya mempelajari secara sangat intens karya-karya berbeda aliran dari dua penulis besar Amerika, Ernest Hemingway dan William Faulkner, sebelum ia sendiri menghadirkan sastra kanonik yang kini kita sebut realisme magis. Bertrand Russel mengakui dirinya belajar menulis dari membaca karya-karya Flaubert.

Dan di negeri kita, seorang Pramoedya Ananta Toer mengakui jikalau gayanya banyak dipengaruhi oleh John Steinbeck dan Maxim Gorky. Itu tak menghitung dari pengakuan banyak penulis lainnya betapa mereka sangat terpengaruh oleh James Joyce, Albert Camus, Gustav Flaubert, dan Viginia Woolf. Bukankah pandangan semacam itu menempatkan para penulis terdahulu dan karya mereka seperti sebuah peziarahan, atau pelacakan kembali kata-kata dan makna sebelum sang penulis menemukan kata dan bahasanya sendiri, dan dengan demikian menemukan makna yang bisa ia tawarkan pada pembaca?

Memang, pada hakikatnya, dan pada akhirnya saya sampai pada suatu pemikiran bahwa seorang penulis membaca karya-karya agung yang telah mendahuluinya untuk menemukan kembali kata dan makna sebelum ia menciptakan dunia. Penemuan kata dan makna yang ia alami ini, ketika teraktualisasi dalam produksi teks yang berhasil menciptakan dunia, mungkin menghasilkan suatu pembaharuan bahasa ungkap, suatu kesegaran pandangan atau realitas sehingga membawa pembaca pada kemampuan untuk menangkap suara-suara zamannya. Itulah sebabnya kenapa para penulis membaca Cervantes, Victor Hugo, Dostoyevsky, Tolstoy, James Joyce, dan Gabriel Garcia Marquez, para penulis-penulis yang telah menjadikan kata sebagai senjata sekaligus suluh bagi generasinya masing-masing.

Proses kreatif selalu diikuti dengan peziarahan, di mana karya-karya besar menempatkan diri sebagai situs-situs suci dan penulis menempatkan dirinya sebagai seorang peziarah, sementara dialog tektstual menjadi rute yang harus ditempuhnya. Alangkah sialnya kita yang sejak kecil disesaki dengan pemahaman materialistik di mana sebuah proses pembacaan dan pembelajaran dihargai sebatas ukuran-ukuran yang bersifat kuantitatif semata, dalam parameter-parameter yang kasatmata dan sering kali bersifat materialistik.

Barangkali bila kita berharap peziarahan dalam kerangka kuantitatif dan materialistik semacam itu, tak ada sesuatu pun yang kita peroleh. Peziarahan memberikan efek pada kekuatan jiwa, ketegaran hati dan kemantapan atas keyakinan-keyakinan pada masa depan yang kita pegang, justru ketika kita kembali menelusuri masa lalu, pada rambu-rambu yang telah dibuat oleh para pendahulu kita.

Maka peziarahan atas karya-karya agung dan para pemberi suluh dalam dunia sastra bagi seorang penulis telah membuka dimensi baru dalam proses kreatifnya, suatu penemuan pisau bedah yang akan selalu digunakannya dalam menuliskan kembali responsnya atas kenyataan-kenyataan yang ada di sekelilingnya. Hasil ziarah ini bisa disimbolisasikan dengan penemuan ’harta terpendam’ oleh Santiago setelah perjalanan yang terilhami oleh mimpinya dengan mengikuti rute lama yang telah ditempuh oleh para alkemis dalam novel Alkemis karya Paulo Coelho. Dimensi baru dalam proses kreatif tersebut oleh penulis dijadikan sebuah senjata—seperti makin saktinya Gatotkaca setelah mengalahkan paman-paman yang memusuhinya sehingga roh mereka yang dikalahkan itu sumurup atau merasuk ke dalam jiwanya—sehingga produksi teks atau karya sastra akan sarat dengan cerminan-cerminan dari kekuatan jiwa yang telah tercerahkan oleh perjalanan ziarah sang penulis. Dalam hal inilah seorang penulis saya kira, dalam batas-batas tertentu, telah berhasil menemukan kembali kata dan makna, dan kemudian menemukan suara generasinya.

Apakah selama ini para penulis telah melakukan hal semacam itu? Saya tidak berpretensi untuk menjawab pertanyaan itu sebagai suatu bentuk atau hasil observasi atas perkembangan para penulis sastra Indonesia di masa lampau atau sekarang. Penilaian semacam itu akan memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing, dan membutuhkan intensitas observasi dan penilaian yang lama, hati-hati dan tentu saja rumit. Hal penting yang harus diwaspadai oleh para penulis adalah asumsi bahwa dirinya telah belajar cukup, dan menempatkan dirinya sebagai penulis cukupan tanpa kemauan untuk terus memperbaiki sudut pandangnya atas dunia dan penafsirannya pada berbagai fenomena dan realitas sosial ke dalam bentuk fiksional yang estetik, menggugah dan menyegarkan.

Akibat dari pandangan-pandangan tersebut adalah kecenderungan seorang penulis untuk terperangkap dalam prison house of language. Perangkap mengerikan ini terjadi ketika seorang penulis asyik dengan dirinya sendiri, merasa bisa menjelaskan orang lain tanpa kekuatan referensial yang cukup, terlalu cepat berpuas diri dengan pencapaian-pencapaian yang telah dilakukannya dan penyakit inertia yang menghinggapinya.

Cara pandang medioker dan keakutan inertia ini dalam perkembangan selanjutnya mengarahkan seorang penulis pada rumah penjara bahasanya sendiri, mengkerangkeng karya-karyanya pada stagnasi dan tak bisa membuat capaian-capaian yang lebih tinggi, tak punya daya untuk menginspirasi pembacanya. Meskipun harus diakui bahwa perkembangan pencapaian literer tidak bersifat linear—dalam pengertian setiap karya yang dihasilkannya lebih baik dari karya sebelumnya—’tuntutan’ personal dalam diri seorang penulis akan membuatnya berusaha sekuat mungkin selangkah lebih maju daripada capaian-capaian sebelumnya.

Dilema paling besar yang dihadapi oleh seorang penulis adalah bagaimana ia menjaga jarak dengan kenyataan. Seseorang yang tidak mempunyai kemampuan untuk menjaga jarak dengan kenyataan hanya akan mereproduksi kenyataan an sich dalam karyanya, tanpa muatan estetika yang justru merupakan unsur paling esensial dalam sastra. Karya semacam itu menjadi kering, tiada bertenaga dan tak menawarkan apa pun selain keletihan setelah membacanya, terjerembab pada reportase atas kenyataan yang justru menggelikan—bila tak dikatakan memuakkan.

Dan sastra selalu berusaha sebisa mungkin menghindari jebakan paling awal semacam ini, terutama karena posisinya sebagai sebuah suara lain yang bersifat subversif, mengganggu dan kadang menggugat kemapanan dalam masyarakat baik sebagai sebuah fenomena maupun sebagai sebuah realitas sosial. Distansi atau jarak antara seorang penulis dengan fenomena dan kenyataan akan memberi kelonggaran pada penulis untuk menuliskan kembali fenomena dan kenyataan tersebut secara lebih berwarna. Imajinasi para penulislah yang kemudian memindahkan realitas sosial itu dalam bentuknya yang nyata: karya sastra.

Ia tidak semata-mata memindahkan suatu kenyataan atau fenomena ke dalam bentuk fiksi, namun dibalut dengan nilai-nilai tertentu, sesuatu yang membuatnya dibedakan dari sebuah reportase. Itulah sebabnya kenapa Reynold Price mengatakan bahwa seorang penulis yang baik pada hakikatnya menciptakan suatu dunia keseluruhan, dunia yang tidak begitu saja direplikasi dari kenyataan. Sebuah novel yang dituliskan oleh seorang novelis yang baik menawarkan dunia keseluruhan alternatif yang bisa digunakan sebagai suluh oleh pembacanya.

Itu pula sebabnya kenapa dunia sastra tak pernah berhenti menawarkan karya-karya bagus dan menggugah meskipun ratusan—atau bahkan ribuan—novel dan naskah drama telah dihasilkan sebelumnya. Ketika Sophocles menuliskan drama-dramanya seperti Antigone, orang tak beranggapan bahwa setelah Sophocles tak akan ada lagi karya-karya agung seperti Divina Comedia dari Dante, Hamlet karya Shakespeare, Menunggu Godot karya Samuel Beckett dan naskah-naskah drama lainnya. Perkembangan yang sama terjadi dalam novel dan cerita pendek.

Barangkali benar apa yang diamanatkan secara tersurat dan tersirat oleh Paulo Coelho dalam Manual of The Warrior of Light. Kita serupa anak kecil dalam novel tersebut yang tertarik ketika diberi tahu oleh seorang perempuan cantik rupawan, mungkin penjelmaan Dewi Grasia seperti dalam legenda Yunani, bahwa di bawah laut terdapat kuil besar yang memiliki banyak lonceng yang bunyinya bisa ia dengar kalau ia memperhatikan dengan saksama.

Hanya setelah proses waktu lama, akhirnya si anak kecil menemukan suara lonceng itu. Ketika ia telah tumbuh dewasa, dan bermain kembali di tepi pantai, sang perempuan cantik rupawan itu mendatanginya lagi untuk memberi tahu bahwa dirinya adalah seorang ksatria cahaya, orang yang mampu memahami keajaiban hidup, yang berjuang sampai titik darah penghabisan untuk sesuatu yang ia percayai. Ujaran-ujaran bijak dalam karya Paulo Coelho tersebut rasanya layak untuk diperhatikan seorang penulis ketika ia membaca adikarya-adikarya sastra dunia.

Dengan cara ini pula mungkin saya bisa menjawab pertanyaan teman saya secara lebih dingin. Semoga teman saya tersebut ingat kembali dengan pertanyaan yang ia lontarkan, dan memperoleh jawaban yang sedikit serius dari saya, meskipun membutuhkan pemikiran yang lebih elaboratif untuk membahas topik ini lebih lanjut. Tidak menutup kemungkinan adanya hal-hal baru yang belum tergali. Saya hanya mencoba memberikan sedikit penerangan pada wilayah-wilayah gelap amat luas yang ingin saya ketahui, tidak lebih, tidak kurang. Semoga dengan spirit para maestro-maestro sastra tersebut, kita tak menjadi figur Vladimir dan Estragon, menanti sesuatu yang tak pernah akan datang pada kita, para maestro sastra negeri ini di masa yang akan datang.

Dwicipta Pengarang

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home