| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, July 08, 2006,12:17 PM

Cinta kepada Tanah Air

Andreas Yumarma

Dekadensi cinta kepada Tanah Air diawali dengan hilangnya kesadaran terhadap pentingnya landasan sejarah, geografis, dan kultural yang menyatukan pengalaman bersama sebagai warga kelompok masyarakat, yaitu warga Indonesia.

Kecintaan bukan sekadar kondisi emosional yang irasional, tetapi suatu perkembangan pengetahuan yang melibatkan kepribadian seseorang atau kelompok masyarakat.

Agustinus dalam bukunya Confessioness, menegaskan, mencintai meliputi proses learning yang melibatkan sikap aktif mengetahui dan menghendaki. Berbeda dengan pemikiran Jerman yang membedakan ungkapan mengetahui (vernunf), memahami (verstand), dan mencintai (verlieben), masyarakat Indonesia mengaitkan kecintaan dengan pembiasaan dalam perjumpaan dan hidup keseharian (tresno jalaran saka kulino).

Para politisi dan negarawan sejati membiasakan kesadaran akan realitas sejarah, kesadaran geografis, dan kultural sebagai modal fundamental perjuangan yang mengobarkan kecintaannya pada Tanah Air.

Para politisi oportunis dewasa ini dan negarawan karbitan pascareformasi mengandaikan landasan fundamental itu dengan mempropagandakan hasrat keinginan mengimpor gaya hidup dan pola pikir asing, seperti pola pikir dan gaya hidup yang kebarat-baratan.

Pentingnya kesadaran identitas akan kesatuan geografis, sejarah hidup bersama, dan tradisi budaya lokal, serta koeksistensi kemajemukan yang telah berlangsung selama ribuan tahun menjadi terabaikan sehingga generasi-generasi berikutnya secara perlahan tercabut dari akar kecintaannya pada Tanah Air. Orang tak lagi mengerti identitas dan jati diri kebangsaan dan keindonesiaannya: mengapa para pendiri bangsa (founding fathers) memilih akar kata Yunani "Indos" -"nesos" yang pluralnya "nesia", daripada akar kata Sanskrit "Nusa" dan "antara" sebagai sebutan bagi tanah airnya Indonesia.

Pilihan atas sebutan Indonesia dan bukan Nusantara berbasis kecintaan Tanah Air yang dijiwai kesadaran kemajemukan geografis, sejarah, dan kultural bersama.

Interpretasi kultural

Indonesia yang sebagian besar terdiri atas air sekitar 7,9 juta km2 dan tanah atau daratan lebih kurang 1,9 juta km2 (Biro Pusat Statistik, 1992 : 3), perlu menggali kembali persepsi kultural tentang tanah dan air. Posisi tanah dan air di negeri kita secara geografis merupakan persimpangan strategis antara dua benua besar, Asia dan Australia, antara Samudra Pasifik dan Samudra Indonesia.

Karena itu, aneka pengaruh yang membanjiri posisi titik temu dan persimpangan itu menuntut corporate identity sejak awal. Para pendiri bangsa menetapkan UUD 1945 dan Pancasila sebagai identitas dan dasar untuk menentukan positioning Indonesia di tengah pengaruh dan pergaulan antarbangsa. Keduanya tidak terpisahkan bagai kesatuan merah putih, tanah dan air sebagai fondasi tegaknya Negara dan bangsa Indonesia.

Dalam tradisi kearifan kultural, tanah sering dimengerti sebagai asal, tempat hidup, dan dikuburkannya manusia. Manusia berasal dari tanah yang hidupnya tidak bisa dilepaskan dari air, bahkan tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air; demikian tanah dan air menjadi simbol tempat hidup dan proses kehidupan sekaligus. Itulah ibu pertiwi tempat laki-laki-perempuan penduduk negeri menjaga mata rantai kehidupan tanpa henti.

Soekarno dalam penjelasannya di Istana Negara 22 Juli 1958, melukiskan komposisi kemanusiaan, laki-perempuan yang terungkap dalam bendera Merah–Putih.

Karena itu, makna Merah-Putih bukan saja melulu berarti keberanian dan kesucian/ketulusan, melainkan seperti merahnya matahari dan putihnya rembulan menjadi simbol sumber alam, segala sesuatu, dan inter-relasi kemanusiaan.

Merah-putih oleh karenanya juga menjadi simbol komposisi kehidupan; merah adalah simbol wanita dengan darah menstruasi bulanan dan putih adalah simbol pria dengan sperma benih kehidupan yang menghasilkan keturunan (Bdk National Committee for Commemoration of The Birth of Pantja Sila, 1 June 1945-1 June 1964, hal 126-127).

Karena itu, landasan hidup bersama, inter-relasi, dan mata rantai proses regenerasi kesejahteraan dan kehidupan tanpa henti merupakan hal utama yang perlu diwariskan dan dibangkitkan sebagai ungkapan kecintaan kepada Tanah Air.

Kesatuan paradoksal

Cinta kepada Tanah Air menuntut kemauan untuk meninjau kembali wawasan keindonesiaan yang dewasa ini berkembang. Cara pandang paradoksal yang melampaui batas etnik, kelompok, dan kepentingan-kepentingan golongan perlu dikembangkan terus-menerus.

Dengan demikian, identitas keindonesiaan dan identitas lokal atau kelompok-kelompok tidak saling mengeksklusifkan, tetapi dipenuhi sikap penerimaan realitas konkret yang makin menegaskan identitas, kerukunan/kebersamaan, dan memperkaya kehidupan.

Kearifan ungkapan kesatuan paradoksal seperti tanah-air, merah-putih, jiwa-raga, siang-malam, inter-relasi pria-wanita sebagai sumber mata rantai kehidupan, ngalah luhur wekasane (mengalah tetapi mulia di akhir) perlu dibiasakan di tengah masyarakat.

Dengan demikian, cara berpikir dan kondisi batin tiap warga masyarakat tidak terkungkung dalam satu dimensi pandangan dan ideologi. Kecuali itu, pembiasaan kearifan kesatuan paradoksal juga akan menumbuhkan sikap hormat dan penghargaan terhadap aneka perbedaan yang dewasa karena negeri kita Indonesia betul-betul sedang sangat memerlukan.

Kearifan kesatuan paradoksal, tradisi sehari-hari seperti makna nama pasaran dan sebutan hari, bulan, legenda, cerita masyarakat dan lain sebagainya dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembiasaan dan penyadaran akan kecintaan terhadap Tanah Air. Kearifan filosofis HA NA CA RA KA DA TA SA WA LA PA DA JA YA NYA MA GA BA THANG NGA mengingatkan kita akan adanya dua utusan yang penuh komitmen dan kecintaan. Namun, kecintaan dan komitmen sempit yang terkungkung keterbatasan pengetahuan, kurang respek, dan ketidaksiapan terbuka terhadap perbedaan visi dan pandangan akhirnya hanya akan melahirkan budaya konflik dan bencana kematian.

Melalui pemeliharaan kearifan lokal dan tradisi kultural diharapkan baik para penguasa, warga, dan semua pihak akan memerhatikan kesejahteraan bersama, kelestarian alam lingkungan, dan masa depan Tanah Air yang diimpikan, didambakan, diperjuangkan, dan direalisasikan dengan kecintaan.

Andreas Yumarma Pendidik; Pengembang Filsafat Timur; Anggota International Society for Philosophers, UK

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home