| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, July 17, 2006,11:25 AM

Peta Wilayah Rawan Bencana

Musibah banjir bandang dan bencana longsor tampaknya masih berlanjut. Setelah bencana longsor di Bohorok, Pacet, dan Jember, kini kita dihadapkan pada bencana yang sama di Sinjai dan beberapa kabupaten lain di Sulawesi Selatan serta di Kotabaru, Kalimantan Selatan. Salah satu tudingan sebagai penyebab mendasar bencana itu adalah kerusakan lingkungan, terutama menipisnya hutan. Hal ini sekaligus menguatkan dugaan bahwa bencana banjir bandang dan tanah longsor bukan lagi sebagai kejadian bencana alam biasa (natural disaster), tapi sebagai bencana alam karena perbuatan manusia (man made disaster).

Seiring dengan meningkatnya kerusakan lingkungan sebagai akibat pembalakan liar hutan, penambangan, dan konversi lahan, hal itu akan semakin berisiko memunculkan bencana. Celakanya, risiko akan terjadinya bencana yang dimaksud tidak dipahami secara persis oleh masyarakat. Membiarkan penduduk hidup dengan risiko seperti itu dapat dipandang sebagai hal yang tidak manusiawi (inhuman). Sebab, hal itu sama saja dengan membiarkan datangnya kematian dan kerugian bagi penduduk, yang sebenarnya masih bisa dihindari. Untuk maksud tersebut, kita perlu menyiapkan peta wilayah rawan bencana. Peta itu dibuat berdasarkan kemungkinan terjadinya bencana, antara lain melalui penghitungan potensi bencana dan revitalisasi rencana umum tata ruang (RUTR).

Potensi bencana

Bencana banjir bandang dan tanah longsor tidak dapat dipisahkan dengan kekuatan lapisan tanah sebagai daya dukung. Kekuatan daya dukung itu sangat bergantung pada struktur tanah dan kekuatan lain yang menjadi perekat tanah, seperti tumbuhan. Jika struktur tanah bertipe bebatuan, tidak terlalu memerlukan perekat. Sebaliknya, jika lapisan tanah bertipe gembur dan berkapur, akan memerlukan perekat untuk mengikat lapisan tanah. Jelasnya, lapisan tanah yang bertipe gembur dan berkapur sangat bergantung pada tumbuhan yang ada di atas lapisan tanah itu, sehingga ketika hutan digunduli, pengikat lapisan tanah menjadi lemah. Ketika hujan turun, lapisan tanah ikut tergerus air dan menggulung apa saja yang dilalui. Kekuatan arus banjir yang berawal kecil dari puncak bukit akan semakin membesar pada lerengnya, yang mengakibatkan longsor.

Dengan demikian, potensi terjadinya bencana bisa dihitung melalui penelitian terhadap struktur tanah, laju kerusakan hutan, dan curah hujan. Terjadinya bencana, antara lain karena hilangnya kekuatan lapisan tanah, akibat berkurangnya perekat tanah. Jadi, terjadinya bencana merupakan probabilistik. Secara statistik, besarnya kemungkinan terjadinya bencana bisa dihitung dengan menggunakan input dari faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan lapisan tanah.

Probabilitas kekuatan lapisan tanah diperkirakan terus mengecil. Hal ini didasari oleh semakin menyusutnya kawasan hutan. Tercatat misalnya, total luas hutan di Indonesia pada 1999 sebesar 120 juta hektare, menyusut menjadi 109 juta hektare pada 2003, atau terjadi penyusutan hutan sekitar 2,2 persen per tahun (Departemen Kehutanan, 1999, 2003). Penyusutan luas hutan, antara lain karena maraknya pembalakan hutan dan konversi lahan.
Tingkat penyusutan hutan bervariasi antardaerah, yang sekaligus menunjukkan potensi bencana yang berbeda. Jika potensi bencana antardaerah itu bisa dihitung, hal itu sangat memudahkan pembuatan peta wilayah rawan bencana berdasarkan level probabilitasnya.

Revitalisasi RUTR

Ketersediaan peta rawan bencana banjir bandang dan tanah longsor itu sangat diperlukan sebagai bagian dari pencegahan dini terjadinya kerugian yang lebih besar, baik jiwa maupun harta. Bagi daerah yang berisiko tinggi, sepatutnya ada peringatan dini dari pemerintah setempat bagi penduduk untuk menghindar. Relokasi penduduk perlu dilakukan secepatnya sebelum bencana itu datang.

Hal ini juga membantu pemerintah daerah melakukan revitalisasi terhadap rencana umum tata ruang. Untuk kasus bencana banjir bandang dan tanah longsor Kabupaten Sinjai misalnya, jika sebelumnya tingkat kerawanan itu diketahui sangat tinggi, penduduk dapat direlokasi ke tempat yang lebih aman, misalnya ke daerah pantai. Secara geografis, Sinjai masih menyimpan potensi laut yang belum optimal digarap.

Revitalisasi RUTR diharapkan tidak hanya dilakukan untuk mencegah penduduk terkena bencana, tapi juga dapat mengoptimalkan kegiatan ekonomi penduduk. Lapangan kerja yang sangat bergantung pada alam, seperti hutan, tanah, pasir, batu, dan aneka tambang, perlu dikurangi dan dialihkan ke lapangan pekerjaan lain. Untuk maksud tersebut, memang tidak bisa diandalkan hanya dengan mengeluarkan berbagai peraturan daerah, tapi yang lebih penting adalah kegiatan sosialisasinya. Tidak sedikit masyarakat yang hingga kini menganggap bahwa eksploitasi terhadap alam merupakan hak, dan itu telah dilakukan secara turun-temurun. Maka, jika hal itu dilarang, sama saja dengan memutus mata pencarian mereka.

Keberadaan peta bencana itu juga amat penting bagi pemerintah dalam mengalokasikan dana untuk keperluan reboisasi. Seyogianya besarnya alokasi dana disesuaikan dengan luas kerusakan hutan. Untuk kegiatan ini memang perlu komitmen yang tinggi dari aparat pemerintah, khususnya penyelenggara reboisasi, untuk melaksanakan tugas. Diketahui bahwa kegiatan yang terkait dengan reboisasi sangat rawan terhadap penyimpangan.

Kegiatan pengelolaan hutan juga terkait dengan konversi, yang sepatutnya dicermati. Perubahan kawasan hutan untuk tanaman produksi lain, perumahan, dan area tambang perlu dilakukan secermat mungkin. Untuk kasus konversi ini, tidak sedikit pejabat pemerintah yang terpaksa diseret ke pengadilan karena penyimpangan. Konversi hutan ke tanaman produksi lain ternyata tidak dilakukan sepenuhnya, karena konversi itu hanya merupakan akal-akalan agar bisa menggarap hutan.

Maka, untuk menghindari korban bencana yang bisa datang setiap saat, khususnya bagi penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah tindakan preventif.

Penghitungan akurat terhadap potensi bencana untuk menyiapkan peta bencana dan melakukan revitalisasi terhadap RUTR merupakan suatu tindakan preventif, termasuk di dalamnya melakukan sosialisasi terhadap masyarakat akan pentingnya kelestarian alam. Hal ini sejalan dengan tugas pemerintah melindungi segenap warganya dari kemungkinan terjadinya bencana.

Razali Ritonga, Pejabat Badan Pusat Statistik

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home