| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, July 21, 2006,4:05 PM

Kerajaan Pikiran Cak Nur

Yudi Latif

Menjelang wafat, Cak Nur tak kehilangan kehirauan dan ketajaman pemikirannya. Dari jarak jauh, sambil bergelut dengan daya tahan tubuh yang memburuk, pekan-pekan terakhir dari hidupnya dicurahkan untuk menggugah kesadaran bangsa akan komitmen nasional.

Dari buah penanya yang terakhir, Indonesia Kita, bisa dibaca pokok keprihatinan dan harapannya. Bahwa kini terasa kian sedikit orang yang dengan sungguh-sungguh berpikir dan bertindak untuk kepentingan bangsa. Menyitir Bung Hatta dalam Demokrasi Kita, tak luput dari keprihatinannya, Indonesia adalah sebuah negara besar yang hanya menemukan orang-orang kerdil.

Jelas, pikiran kerdil tidak akan menghasilkan tindakan besar, dan sistem yang salah tidak mungkin melahirkan tatanan kehidupan yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat.

Peneguhan tekad

Mengingat besarnya persoalan yang menghadang, diperlukan usaha dan kekuatan besar dan tangguh untuk mengatasinya. Kekuatan itu akan terbentuk hanya dengan peneguhan kembali ikatan batin atau komitmen semua warga negara kepada cita-cita nasionalnya, disertai pembaruan tekad bersama untuk melaksanakannya. Semua itu memerlukan semangat ungkapan Bung Karno (dengan sedikit revisi), "samen bundeling van alle krachten van de natie", "pengikatan bersama seluruh kekuatan bangsa".

Peneguhan kembali tekad bersama dan komitmen nasional itu memerlukan kesadaran sejarah dan pengembangan pikiran-pikiran mendasar tentang kebangsaan dan kenegaraan, melanjutkan dan memperluas tradisi tukar pikiran para tokoh pendirinya.

Tampak nyata, masalah kekerdilan dan pengembangan pikiran menjadi pokok kepeduliannya. Seperti Sokrates, warisan yang diberikan Cak Nur (Nurcholish Madjid) adalah empire of mind. Kekuatannya tidak terletak pada barisan panjang pendukung berani mati, tetapi pada visi yang mencerahkan, yang sering disalahpahami arus utama pemahaman zamannya.

Dekade 1970-an, ketika ide-ide liberalisasi dan pembaruan pemikiran Islamnya hendak diambil alih Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang menyediakan diri sebagai jaringan gerakan pembaruan, Cak Nur menolaknya. Intelektual selalu dihadapkan pada dilema antara mempertahankan "terobosan dan integritas intelektual" atau "pelembagaan demi popularisasi". Dan memilih yang pertama.

Ketegangan dan keberjarakan dengan publik justru menyediakan ruang yang baik bagi penahbisan intelektual garda depan. Dalam kontroversi publik yang ajek, intelektual selalu tertantang untuk membangun konstruksi pemikirannya secara kokoh. Sebaliknya, godaan pelembagaan demi penerimaan publik secara luas, betapapun bisa menguntungkan secara politis, bisa berakibat fatal bagi keberlangsungan pemikiran intelektual.

Pelembagaan selalu menuntut familiarisasi gagasan, dan familiarisasi kerap mengandung risiko penyederhanaan, dan peremeh-temehan. Trivialisasi membuat refleksi kehilangan keragaman dan kedalamannya. Kepadatan argumentasi mengalami peluluhan. Dalam penerimaan khalayak ramai, refleksi berubah menjadi ritual. Di dalam ritual, terobosan pemikiran mengalami pemandekan.

Tanpa terkait gurita kelembagaan yang terstruktur, Cak Nur bukan saja bebas dan mampu memproduksi pikirannya, secara bernas dan berbobot, sekaligus menampilkan dirinya sebagai "rumah" kebebasan. Betapapun dia dibesarkan dalam jaringan HMI dan pernah terkait ICMI, ia tidak pernah terobsesi untuk menjadikan organisasi-organisasi itu sebagai barisan pendukungnya. Ia cenderung mempertahankan jarak.

Intelektual langka

Ide-ide kebebasan yang bersanding dengan otonomi relatifnya inilah yang menjadikan Cak Nur sebagai intelektual langka di Indonesia. Kebanyakan kaum terdidik kita lebih memperlihatkan diri sebagai inteligensia. Perbedaan keduanya terletak pada sikapnya terhadap ide dan relasi sosialnya. Inteligensia lebih memandang ide sebagai suatu yang instrumental sehingga bersimpuh pada ideologi yang sejalan dengan kepentingan mereka. Karena itu, kerja politik lebih merepresentasikan dan diorientasikan pada kepentingan kelompok tertentu (yang dipersatukan menurut garis ideologis/pragmatis).

Adapun sikap intelektual terhadap ide tidak terlalu mempertimbangkan segi-segi praktis. Hal ini tidak berarti intelektual mengabaikan kepentingannya demi suatu ide. Yang terjadi, aneka kepentingan ideal mereka (yang muncul dari proses rasionalisasi) mengimbangi, adakalanya mendahului, bahkan mungkin berlawanan dengan kepentingan-kepentingan praktis dan material mereka. Karena itu, mereka lebih merepresentasikan diri sebagai individu-individu kreatif ketimbang representasi kelompok.

Hal ini tidak berarti intelektual tidak bisa berorientasi praktis dalam aksi kolektif. Praksis intelektual akan terjadi karena terpanggil oleh apa yang disebut Max Weber sebagai ethics of responsibility. Panggilan untuk berkompromi dengan politik praktis sebagai pertanggungjawaban moral demi mencegah terancamnya segi-segi etis, kebebasan, dan kewarasan nalar yang bersumber dari distorsi-distorsi dalam politik praktis. Seperti kata Vaclav Havel, "mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk memikirkan realitas hidup lebih memahami apa yang salah dalam kehidupan, karena itu bertanggung jawab untuk memperjuangkan jalan keluar".

"Nurcholish Madjid Memorial Lecture" yang digelar 19-20 Juli 2006 di Universitas Paramadina merupakan ikhtiar meneguhkan kembali semangat untuk terlibat dalam setiap gerak perkembangan bangsa. Hingga ajal, dia tetap menegaskan komitmen kepada kaum muda, "untuk melanjutkan perjuangan demokrasi, memelihara toleransi dan mempertahankan keterbukaan".

Yudi Latif
Deputi Rektor Universitas Paramadina; Chairman Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home