| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, July 11, 2006,12:07 PM

Kisah Para Pemimpin Besar

Oleh Riswandha Imawan

Akhir-akhir ini bangsa Indonesia ditera musibah. Di tengah musibah itu, ungkapan retorik dengan perilaku teatrikal para pemimpin mencuat. Slogan "Indonesia bangkit" sampai ke "Halangan yang ada hanya membuat kita makin kuat" diteriakkan.

Nicholls dalam bukunya Power: A Political History of the Twentieth Century (1990) mengungkapkan adalah lumrah bila satu bangsa dalam situasi anomali (seperti kita alami saat ini), ada orang yang berusaha menjadi pemimpin besar. Pemimpin besar dilahirkan oleh dinamika sosial-politik masyarakatnya. Karena itu, secara fisik dan psikis dia menyatu dengan denyut nadi kehidupan bangsanya.

Banyak orang yang ingin menjadi pemimpin besar. Tapi, sedikit sekali yang berhasil. Kuncinya ada pada kemampuannya untuk secara total lebur ke dalam dinamika masyarakatnya. Totalitas ini menuntunnya merumuskan secara tepat apa yang dibutuhkan bangsanya. Itu pun harus diwujudkan ke dalam satunya kata dengan perbuatan.

***

Mahatma Gandhi menjadi pemimpin besar India walau dia tidak pernah menduduki jabatan apa pun di jajaran pemerintahan. Dia merumuskan nilai-nilia kemasyarakatan bangsa India sambil menyelaraskan penampilan dengan filosofi ajaran-ajaran itu. Pakaiannya hanya dua helai kain, kakinya bersandal jepit.

Demikian pula Ho Chi Minh untuk Vietnam yang bersepatu sandal dari ban bekas. Bila pergi keluar negeri, dia naik pesawat komersial kelas ekonomi.

Hitler sadar Jerman membutuhkan kebanggaan setelah martabatnya direndahkan bangsa Romawi. Keluarlah doktrin totalitasnya: "disiplin, pantang menyerah, dan berani berkorban" yang menjadi kunci sukses bangsa Jerman.

Churchill menggelorakan sikap optimistis bagi bangsa Inggris. Tantangan adalah kesempatan, bukan hambatan. Nasib Inggris ada di tangan orang Inggris. Dia tunjukkan komitmennya dengan tidak menggunakan barang-barang buatan luar negeri. Semuanya harus made in England.

Napoleon Bonaparte menjadi pemimpin besar bangsa Prancis. Bukan hanya karena idenya tentang prinsip demokrasi. Dia pimpin langsung pasukan ketika menyerang bangsa-bangsa Eropa lain. Lewat penaklukan itu dia menebarkan ajaran-ajarannya. Layak bila dia sesumbar: "Hai prajuritku, empat abad ke depan sedang menatap apa yang sedang kalian lakukan."

Indonesia juga melahirkan banyak pemimpin besar. Bung Karno hadir dengan ajaran populis, kekeluargaan, karena itulah kenyataan hidup bangsanya. Dia kenakan peci hitam yang banyak digunakan orang Indonesia. Di atas meja makannya ada lukisan pengemis, agar dia ingat pada rakyat saat menyantap sayur lodeh, tahu, dan tempe kesukaannya.

Saat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Haji Agus Salim memakai sarung, peci hitam, dan merokok kretek. Saat diprotes karena bau menyengat dari rokoknya, dia berujar, "Tuan-Tuan, benda inilah yang membuat Tuan-Tuan datang dan menjajah negari kami."

Bung Hatta hadir dengan kesederhanaan tak tertandingi. Saat gajinya sebagai Wapres akan dinaikkan, dia menolak. Katanya, "Keuangan negara tidak cukup kuat, sementara banyak rakyat melarat yang memerlukan uang itu."

***

Saat ini, kita dibuat miris bila membaca kisah para pemimpin besar itu. Nilai kebersamaan, kejujuran, dan kesederhanaan yang mematangkan mereka sebagai pemimpin besar, seolah sirna. Padahal, situasi yang berkembang saat ini sangat memungkinkan lahirnya pemimpin besar itu.

Para pemimpin saat ini justru menganut nilai kebalikannya. Melebarkan jarak kaya-miskin, penuh tipu daya, dan hidup dibalut kemewahan ditonjolkan. Mereka seolah hidup di alam berbeda dari rakyat yang dipimpinnya. Alhasil mereka hanya mampu jadi pemimpi, bukan pemimpin.

Bermimpi tentang kebersamaan, namun menebalkan garis pembatas "siapa kamu, siapa saya" (ingroup feeling). Menyeleksi siapa yang layak berbicara atau didengar pendapatnya, hanya meninabobokan pemimpin pada realita rakyatnya.

Mereka lupa bahwa politik menyoal kekuasaan, dan kekuasaan hanya mendatangkan pemujaan. Lupa bahwa dalam politik menghargai lawan sama pentingnya dengan menghargai kawan.

Jarak kaya-miskin dilebarkan kembali melalui kebijakan monopoli ala rezim Soeharto. Ironisnya itu diramu dengan janji yang membuat rakyat ikut bermimpi. Janji bantuan untuk korban bencana alam di Jogja, Rp 30 juta untuk rumah rusak berat dan Rp 10 juta rusak ringan, tidak terealisasi. Jangankan jumlah jutaan rupiah, yang jumlahnya ribuan rupiah -uang jatah hidup- saja realisasinya tidak becus.

Perilaku pemimpin saat ini seolah kemakmuran negeri kita setara negara-negara maju. Simak saja, solusi bencana alam di negeri ini selalu dalam bentuk uang. Untuk rehabilitasi Jogja saja dibutuhkan dana Rp 17 triliun. Belum lagi bencana lumpur panas di Sidoarjo, banjir di Kalimantan dan Sulawesi, gempa bumi di Maluku dan Papua. Jujur, bila dijumlah, pasti negara kita sudah bangkrut.

Namun, sikap pemimpin optimistis dengan perilaku yang tidak memadai. Kata mereka uang yang dibutuhkan ada. Dari mana? Utang. Itu sama saja dengan memberi beban lebih berat bagi generasi muda penerus bangsa Indonesia.

Herannya, dengan utang makin menggunung, akhir Mei 2006 tim DSKU Dephub berangkat ke USA, kabarnya, untuk membeli pesawat kepresidenan. Ini isu lama yang pada Oktober 2005 dibantah para juru bicara presiden. Perilaku tipu daya muncul di sini. Akhir Juni 2006, saat terbang ke Medan kaca kokpit pesawat yang ditumpangi Wapres retak. Awal Juli, saat utusan pejabat DSKU itu sudah kembali, Wapres menyatakan insiden terbang ke Medan tersebut membuat pemerintah memutuskan membeli pesawat baru.

Lho. Tim berangkat Mei 2006, keputusan diambil Juli 2006? Polanya sama dengan pola represi rezim Soeharto, gebuk dulu alasan belakangan.

Kebijakan populis, gaji ke-13 dilakukan untuk menutupinya. PNS golongan bawah sangat bersyukur karena memang tepat waktu. Masalahnya, gaji pejabat negara yang jaraknya ratusan kali lipat dari golongan bawah juga diberikan. Alasan pembenar ditebar. Ini ada di APBN. Bila tidak dilaksanakan, atau ada yang menolak, artinya melanggar UU. Masya Allah.

Kalau kebijakan ini untuk PNS yang -sebut saja- berpenghasilan di bawah Rp 5 juta sebulan, masuk akal. Tapi, untuk pejabat negara yang berpenghasilan di atas Rp 40 juta, itu tidak masuk akal.

Apalagi pejabat negara bukan PNS, dan realitanya mereka dapat dari banyak sumber. Sikap mereka menegaskan bahwa sejatinya mereka tidak memiliki kepedulian dengan nasib rakyat Indonesia.

Fakta yang terpampang di depan mata membuat rakyat bermimpi hadirnya pemimpin besar baru. Mungkinkah itu terjadi pada Pemilu 2009? Mungkin. Asal kita tidak salah pilih lagi.


Eagle Flies Alone
Kaki Merapi, 7 Juli 2006
Riswandha Imawan, guru besar UGM di Jogjakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home