| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Saturday, July 15, 2006,12:51 PM

Carok Lagi, Tarung Membela Harga Diri

A Latief Wiyata

Berita "Tujuh Tewas akibat Sengketa Tanah" (Kompas, 13/7) sungguh mengejutkan. Pembunuhan yang menewaskan banyak korban ini terjadi di Desa Bujur Tengah, Kecamatan Batu Marmar, Kabupaten Pamekasan, Madura. Selain korban tewas, juga diberitakan sembilan orang terluka.

Bagi orang Madura, peristiwa pembunuhan (massal) ini disebut carok. Memang tidak semua pembunuhan dapat disebut demikian. Carok merupakan suatu peristiwa pembunuhan antarorang lelaki (satu lawan satu, atau melibatkan banyak orang), yang bermotifkan "membela gengsi, kehormatan dan harga diri" (Wiyata: Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta: LKiS, 2001, 2006).

Peristiwa carok yang terjadi Rabu (12/7) pagi itu melibatkan Mursyidin (Kepala Desa Bujur Tengah) dan Baidowi (mantan kepala desa yang sama) beserta pendukung masing-masing. Pemicunya adalah sengketa tanah kas desa yang masih dikuasai mantan kepala desa. Berawal dari penguasaan tanah inilah pertarungan "membela harga diri" dimulai.

Jagoan

Sudah menjadi kelaziman di kawasan pedesaan Madura, kepala desa selalu dipilih dari seseorang yang sudah dikenal sebagai blater. Blater adalah jagoan desa yang secara sosial-budaya amat ditakuti (lebih tepat mengatakan demikian daripada disegani) oleh seluruh penduduk. Biasanya mereka ditakuti karena keberaniannya menghadapi tiap tantangan (termasuk melakukan carok). Begitu pun dengan figur Mursyidin dan Baidowi, mereka pasti bukan orang sembarangan.

Meski tidak diberitakan apa motif penguasaan tanah kas desa itu, namun dapat diduga penguasaan itu terkait kapasitas ke-blater-an. Artinya, bagi Baidowi, penguasaan tanah kas desa itu meski secara hukum merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan, namun secara sosial-budaya merupakan salah satu cara baginya untuk mempertegas predikatnya sebagai blater. Sebab, dengan menguasai tanah kas desa seluas lima hektar yang bernilai ekonomi tinggi, sama artinya dengan kian menaikkan status sosialnya (termasuk gengsi, kehormatan, dan harga diri).

Bagi Mursyidin, sebagai kepala desa, penguasaan tanah kas desa oleh mantan kepala desa akan dimaknai sebagai pelecehan terhadap gengsi, kehormatan, dan harga diri. Lebih-lebih ketika upaya hukum yang dilakukan ternyata kandas di tingkat banding Pengadilan Tinggi Jawa Timur.

Sebaliknya, bagi Baidowi, kemenangannya di tingkat banding (dengan vonis bebas) merupakan prestasi tersendiri yang akan semakin menaikkan pamor dan status sosialnya sebagai blater. Dalam tradisi blater memenangkan perkara di pengadilan bukan hanya diartikan sebagai kemenangan terhadap lawan dalam tindakan hukum itu, tetapi lebih bermakna sebagai "kemenangan" terhadap otoritas yudisial.

Di kalangan komunitas blater sudah menjadi tradisi atau kelaziman melakukan upaya nabang di kala terjadi sengketa dan carok, yakni suatu upaya memengaruhi putusan aparat yudisial dengan cara memberi sejumlah uang sesuai kesepakatan. Besarnya jumlah uang tergantung kesepakatan apakah putusan menjadi lebih ringan daripada sanksi yang ditentukan peraturan perundang-undangan atau bahkan bisa bebas dari semua sanksi hukum. Dengan demikian, melalui upaya nabang proses hukum dapat direkayasa sesuai keinginan yang bersangkutan. Lebih daripada itu, hukum diperlakukan sebagai komoditas.

Harga diri

Dalam kasus sengketa tanah kas desa sangat mungkin terjadi upaya nabang (meski sulit menemukan bukti-bukti material) sehingga putusan banding akhirnya membebaskan Baidowi. Putusan bebas ini di satu pihak merupakan kemenangan bagi Baidowi, di pihak lain justru kian menyakitkan hati Mursyidin.

Gengsi, kehormatan, dan harga diri sebagai kepala desa telah diinjak-injak. Mudah dipahami jika carok akhirnya meledak setelah turunnya putusan banding itu. Sebagai sesama blater, Mursyidin maupun Baidowi memiliki banyak pendukung. Ketika terjadi carok, para pendukung dengan loyalitas tinggi ikut membela patronnya yang blater. Maka terjadilah carok massal yang menelan korban jiwa.

Terjadinya carok terkait banyak kondisi. Pertama, kondisi sosial-budaya yang memunculkan seseorang menjadi blater dengan status sosial pada tataran atas dalam struktur sosial. Kedua, kondisi perilaku sebagian (oknum) aparat yudisial yang tidak secara konsisten menerapkan dan memberlakukan hukum sesuai perundang-undangan sehingga tidak memuaskan rasa keadilan masyarakat lokal.

Ketiga, hingga kini kondisi sosial-budaya di Madura belum mengenal institusi yang berfungsi dan berperan sebagai pencegah atau penangkal carok. Ini berbeda dengan kondisi sosial-budaya masyarakat (Bugis) Makassar, sirri’ dapat dicegah dengan adanya otoritas pemangku adat (Marzuki, 1995).

Peran lembaga pendidikan

Di masa datang mungkin perlu dipikirkan untuk menata kembali struktur sosial masyarakat Madura dengan menyingkirkan figur blater, yang berbasis ke-jago-an di bidang kekerasan dan menempati tataran atas, diganti figur tokoh yang berlatar belakang kualitas pendidikan atau keahlian dalam struktur sosial itu.

Pihak aparat yudisial, sebagai penegak hukum, seharusnya menerapkan hukum secara konsisten agar dapat menjamin rasa aman dan memenuhi rasa keadilan masyarakat lokal. Bila demikian, upaya nabang sebagai salah satu pemicu carok tidak akan dilakukan lagi. Terakhir, penting diupayakan penyadaran bagi pelaku carok agar lebih mengutamakan budi bahasa daripada tindak kekerasan saat terjadi perselisihan. Upaya ini bisa melalui institusi pendidikan formal maupun informal.

Dalam konteks institusi sosial budaya, amat mendesak mengefektifkan dan mengoptimalkan peran dan fungi institusi ke-kiai-an. Sebab, figur kiai atau ulama dalam pandangan masyarakat Madura sebagai center of solidarity dan sumber panutan hampir segala aspek kehidupan.

Bila demikian, ke depan carok dapat dicegah sedini mungkin. Membela gengsi, kehormatan, dan harga diri dengan kekerasan (carok) amat fatal akibatnya baik bagi diri sendiri, keluarga, dan semua orang yang terlibat. Melakukan carok pada dasarnya merampas hak hidup seseorang yang merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.

A Latief Wiyata Antropolog Budaya Madura Universitas Jember

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home