| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, July 11, 2006,11:52 AM

Derita Palestina, Kelemahan Dunia Islam

Farid Wadjdi
Direktur Forum On Islamic World Studies (FIWS) Jakarta

Serbuan ofensif Israel makin ganas. Dengan tuntutan pembebasan Korpral Gilad Shalit, Israel melakukan apapun. Dan itu memang diinstruksikan PM Israel Ehud Olmert: ''Buat apa saja yang bisa dilakukan lakukan.'' Jadilah pasukan Israel membabi buta. Fasilitas umum seperti listrik dan air dihajar dengan bom dahsyat. Penderitaan rakyat Palestina pun bertambah. Kini mereka hidup tanpa listrik dan air memadai. Sejumlah anggota parlemen dan anggota kabinet Hamas ditangkap. Simbol pemerintahan Palestina Kantor Perdana Menteri Ismail Haniya hancur berantakan.

Lagi-lagi Israel tak perduli. Dunia pun seperti tak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikan serangan barbar ini. PBB seperti bayi lemah yang tak bisa berbuat apa-apa. Bandingkan dengan kasus nuklir Iran, Irak, Darfur-Sudan, di mana PBB bagaikan pahlawan dunia yang sigap membuat keputusan dan aksi.

Berharap pada negara-negara Timur Tengah. Jauh panggang dari api. Mereka tak pernah serius membebaskan Palestina. Paling yang ada kutukan dan seruan, termasuk dari Iran yang sepertinya paling vokal menentang Israel. Padahal menghentikan penjajahan Israel tak akan pernah berhasil dengan seruan. Yang dibutuhkan adalah tindakan nyata dalam kapasitas sebagai negara. Kekuatan negara tentu harus dihadapi juga oleh negara.

Siapa yang paling mungkin diharapkan untuk menghentikan serangan Israel ini? Tentu saja Amerika Serikat (AS), negara yang sering mengklaim dirinya sebagai sang pembebas. Tapi, seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, AS juga diam. Kalau AS diam, berarti tindakan Israel direstui sang tuan. Atau bisa jadi merupakan skenario tersembunyi negara kapitalis utama itu.

Israel tidak akan benar-benar pernah membangkang kepada AS. Sebab, AS lah yang selama ini paling banyak mem-back up Israel dalam segala aspek: politik, senjata, maupun dana. Israel merupakan negara pertama yang paling banyak menerima sumbangan AS.

Mengapa Israel demikian 'semangat' membebaskan seorang serdadunya sehingga melakukan apa saja? Apa benar ini menunjukkan keperdulian Israel terhadap serdadunya. Tentu saja hal ini sulit dipahami. Terlalu heroik. Yang lebih rasional, tampaknya ada sesuatu yang lebih besar yang diinginkan oleh Israel terhadap Hamas.

Kemungkinan yang terbesar, serangan ini merupakan tekanan skenario agar Hamas mengakui Israel sebagai sebuah negara resmi dan menghentikan perlawanan bersenjata. Legalitas dari Hamas penting bagi Israel, sebab hanya Hamas yang belum secara terbuka dan langsung mengakui Israel. Dan jelas ini pula yang diharapkan oleh AS dan Eropa.

Tadinya, AS dan Eropa banyak berharap 'jebakan demokrasi' yang dirancang untuk Hamas --dengan membiarkan Hamas menang secara demokratis-- akan membuat Hamas lebih moderat dan menghentikan perlawanan bersenjatanya. Tapi hasilnya tak begitu memuaskan. Hamas tetap teguh tak mengakui Israel secara terbuka dan melanjutkan aksi perlawanan bersenjatanya.

Memang ada sedikit peluang untuk itu, ketika Hamas membuat kompromi dengan faksi Fatah dalam dialog nasional yang diadakan baru-baru ini. Hamas dikabarkan menerima inisiatif damai Arab tahun 2002 dan resolusi PBB tentang Palestina, serta mau menerima kompromi bahwa perlawanan hanya terpusat di atas tanah tahun 1967. Menurut beberapa pihak, hal ini merupakan pengakuan tak langsung Hamas terhadap Israel.

Namun tampaknya skenario ini belum memuaskan Israel, AS, dan Eropa. Yang mereka inginkan Hamas benar-benar secara langsung mengakui Israel dan menghentikan perlawanan bersenjata-nya.

Realita penting
Apa yang terjadi sekarang ini menunjukkan dua realita penting yang perlu dicermati. Pertama, negara-negara kapitalis kembali menampakkan watak aslinya: Penuh dusta dan kebohongan. Mereka kembali mengulang kasus Aljazair saat FIS menang pemilu secara demokratis di Palestina. Mereka menggunakan demokrasi untuk kepentingannya dan mencampakkannya kalau tidak sejalan. Berbagai cara dilakukan AS dan Israel. Mulai pencekalan aliran dana ke Palestina sampai mendukung pengkondisian konflik horisontal antara Hamas dan Fatah. Diduga Israel mensuplai persenjataan milisi Fatah.

Realita kedua, harus kita akui pemerintahan Palestina belumlah merupakan pemerintahan yang benar-benar berdaulat. Ada dua indikasi penting yaitu ketidakmampuan melindungi keamanan nasional dan ketiadaan sumber dana untuk mengelola pemerintahan. Terbukti, Israel dengan gampang keluar masuk daerah pemerintahan Palestina dan melakukan serangan militer.

Tidak sedikit pihak yang sudah merasa Palestina sudah merdeka setelah memproklamasikan sebagai negara Palestina. Tapi Palestina belum merdeka. Israel masih menjajah tanah kaum Muslimin itu. Wajar kalau kemudian jihad angkat senjata menjadi pilihan rakyat Palestina ke depan.

Tapi melawan Israel bukanlah hanya melawan negara kecil berpenduduk sedikit, tapi melawan negara pencipta dan pendukung buta Israel: AS dan sekutunya. Jelas AS tidak akan membiarkan negara boneka mereka terancam. Jadi yang sebenarnya harus dilawan adalah 'sang master' AS.

Perjuangan tak cukup hanya mengandalkan rakyat Palestina. Dibutuhkan kesatuan umat Islam seluruh dunia. Di sinilah relavansi Daulah Khilafah Islam, institusi negara Islam yang akan menyatukan umat Islam seluruh dunia. Membebaskan manusia dari penjajahan dan membebaskan tanah-tanah kaum Muslim yang dirampas dan dieksploitasi oleh negara Kapitalisme global. Negara harus dilawan dengan negara.

Sejarah membuktikan, Palestina ditaklukkan oleh Umar bin Khatab, kepala negara Daulah Khilafah Islam. Ketika pasukan Salib dari Eropa menduduki Palestina, Shalahuddin al Ayyubi, panglima perang pasukan Khilafah lah yang menyatukan umat Islam untuk membebaskan Palestina.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home