| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, July 10, 2006,5:05 PM

Ayo Jadi Bangsa Pengekspor

Endang Suryadinata

Kabar baik yang lama ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Negeri kita berhasil menorehkan rekor baru di bidang ekspor pada Mei dengan nilai USD 8,34 miliar, tumbuh sekitar 9,79 % dari bulan sebelumnya sehingga nilai ekspor dalam lima bulan pertama tahun ini mencapai USD 38,39 miliar.

Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan, nilai ekspor Mei merupakan yang tertinggi sejak RI berdiri sehingga membuka peluang bagi Indonesia untuk meraih nilai ekspor sekitar USD 100 miliar sepanjang 2006 (Jawa Pos 4/7).

Karena memecahkan rekor sejak NKRI berdiri itulah, ada baiknya hal ini diapresiasi, khususnya oleh pihak-pihak yang berseberangan dengan SBY. Kita perlu belajar dari media Italia yang sebelumnya tak habis-habisnya mengkritik kinerja tim Azzurri. Tapi, begitu tim itu mengalahkan timnas Jerman 0-2 pada menit terakhir di babak semifinal World Cup 2006, media di negeri pizza itu juga tidak sungkan untuk memberikan pujian.

Sikap kritis dalam setiap kritik yang dilontarkan kepada kinerja pemerintah memang seharusnya bersifat konstruktif daripada destruktif. Apalagi, kritik memang merupakan bagian vital kehidupan berdemokrasi.

Siapa yang alergi atau antikritik justru akan menghambat kemajuan. Jadi, rekor nilai ekspor kita seolah menjadi bukti bahwa pemerintah bisa bersikap dewasa dan tepat dalam merespons setiap kritik, seperti Allesandro Del Piero yang menjawab dengan gol ke gawang Jerman.

Memang Seharusnya

Kembali ke rekor nilai ekspor, sudah seharusnya Indonesia memang menjadi bangsa eksporter (pengekspor). Sebab, seperti diutarakan budayawan Bandung Jakob Sumarjo, yang saya kutip dalam tulisan saya Bangsa Penonton (Jawa Pos, 16/6), selama ini kita begitu tanpa sadar malah membanggakan predikat sebagai bangsa importer (pengimpor).

Memang kalau mau flashback, kita pernah mencatat rekor sebagai bangsa pengekspor. Kerajaan Kediri, Singosari, hingga Majapahit maupun Sriwijaya tercatat sebagai pengekspor barang-barang komoditas seperti beras. Bahkan, kerajaan-kerajaan kecil di NTT atau Maluku, sejak lama mengekspor kayu cendana dan rempah-rempah, yang akhirnya mengundang para penjajah Eropa untuk datang.

Penjajah pun datang dengan keserakahannya sehingga selama 350 tahun, kita yang semula bisa mengekspor barang-barang komoditas atau hasil karya budaya, justru bisa diperalat dan diperbudak. Penjajah jelas salah ketika bisa menjajah kita.

Tetapi, apa dan kenapa kita bisa dijajah sedemikian lama, jelas ada kesalahan juga di pihak kita sendiri. Kesalahan yang utama adalah karena kita bisa diadu domba antara satu dan lainnya sehingga lupa pada goal atau tujuan merdeka. Baru ketika 20 Mei 1908, kebangkitan nasional kita menemukan momentumnya hingga akhirnya kita merdeka pada 17 Agustus 1945.

Setelah hampir 61 tahun merdeka, ternyata baru kali ini kita bisa memecahkan rekor yang cukup membanggakan di bidang ekspor. Tentu rekor itu harus bisa dipertahankan. Kalau perlu, ditingkatkan terus.

Setidaknya, dengan rekor tersebut, rasanya, kita tidak layak menjadi bangsa yang hanya jadi bulan-bulanan di pentas global. Ternyata kita sebenarnya bisa menorehkan sesuatu yang signifikan meski mungkin belum maksimal.

Tapi, mudah-mudahan kebanggaan terhadap rekor ekspor itu tidak hanya kita lihat dari perspektif kacamata kuda. Artinya, kita hanya melihat sektor ekspor semata dengan mengabaikan sektor-sektor lain. Jangan lupa, kita jelas tidak bisa menutup fakta bahwa kita masih dijerat berbagai tantangan dan masalah lain. Yang terbesar adalah masalah utang yang begitu menggunung.

Bayangkan, utang luar negeri kita sekitar Rp 745 triliun. Jika digabung dengan utang dalam negeri, total mencapai Rp 1.200 triliun. Kalau dibagi rata dengan 210 juta penduduk kita, rata-rata tiap orang di negeri ini harus menanggung utang Rp 6 juta.

Tantangan dan permasalahan yang tak kalah pentingnya adalah ambruknya moralitas para elite dan birokrat negeri ini sehingga harapan menjadi bangsa unggul seperti yang didengungkan Presiden SBY sering harus pupus diembus berbagai isu yang memecah belah bangsa.

Kita juga muak tiap hari selalu ada saja yang bisa dikorupsi, sementara gemuknya birokrasi kita justru melahirkan kelambanan dan ketidakefektifan di sana-sini. Anehnya, mereka dapat gaji ke-13 di bulan Juli ini, yang besarnya Rp 18 triliun hingga Rp 20 triliun.

Kita juga dibuat prihatin terhadap bencana demi bencana yang terus menerpa dan datang silih berganti. Seperti kita tahu, dua daerah istimewa, Aceh dan Jogjakarta, menjadi korban terbesar bencana tsunami dan gempa bumi. Entah apa lagi bencana yang akan datang dalam waktu dekat ini, begitu yang sering dilontarkan orang. Tapi kita berharap, bencana tidak akan ada lagi.

Warning

Namun, di atas semuanya itu, Prof Syafi’i Ma’arif baru-baru ini melontarkan warning yang layak kita renungkan (6/7). Mantan ketua PP Muhammadiyah yang dianggap guru bangsa itu mengingatkan, ketika bangsa Indonesia masih rapuh dan ringkih secara moral, saat elite masih mati rasa terhadap lingkungan sekitar, dan langkah perbaikan fundamental di semua bidang tidak terwujud dalam waktu dekat, Indonesia masih akan menghadapi aksi-aksi kekerasan dan teror yang dibingkai dalam teologi maut.

Ucapan tersebut tentu dalam konteks terorisme, yang hingga kini memang masih mengancam. Menurut saya, terorisme itu sama kejam dengan kolonialisme. Yang penting lagi, terorisme juga rentan memecah belah bangsa ini.


Endang Suryadinata, peminat sejarah Indonesia-Belanda, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam, Belanda

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home