| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, July 10, 2006,5:10 PM

Ayam Mati di Lumbung

Kahlil Rowter

Sungguh ironis bangsa Indonesia. Dengan sumber daya alam, jumlah penduduk yang banyak dan sumber dana besar, tidak dapat mentransformasikan diri menjadi bangsa besar dan kaya.

Baru-baru ini terungkap keberadaan dana pemerintah dalam jumlah cukup besar, paling tidak Rp 70 triliun, yang tidak terpakai dan tersimpan di Bank Indonesia. Sebagian dana akan dipakai untuk menutup defisit anggaran yang naik karena pengeluaran yang tidak diduga sebelumnya, di samping karena turunnya penerimaan pajak seiring melambatnya ekonomi Indonesia. Mungkin tidak seluruhnya dapat dipakai karena harus disisakan sebagian untuk cadangan darurat.

Dalam sistem perbankan juga terdapat dana "menganggur" yang dapat ditakar dari nisbah pinjaman terhadap deposito (loan to deposit ratio) sekitar 62 persen. Artinya saat ini tersedia dana menganggur lebih dari Rp 480 triliun. Sebagian dana ini ditempatkan dalam obligasi pemerintah (Surat Utang Negara), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan instrumen lainnya. Situasi ini merugikan sekaligus perekonomian, sektor perbankan, dan BI. Untuk perekonomian berarti terdapat dana menganggur yang seyogianya dapat didayagunakan untuk investasi "berbuah" pertumbuhan ekonomi. Untuk perbankan, penempatan selain pada kredit berakibat pendapatan yang rendah. Terakhir, BI yang menyerap kelebihan likuiditas itu dengan SBI senilai Rp 177 triliun lebih saat ini, harus mengeluarkan ongkos sangat besar karena membayar bunga.

Sebagian SBI juga dimiliki bank-bank pembangunan daerah sebagai "kantung" sementara dana milik pemerintah daerah, yang belum disalurkan. Per Maret 2006 akumulasi dana milik pemda itu mencapai Rp 70 triliun.

Dana-dana menganggur ini mencerminkan rendahnya pemanfaatan sumber-sumber dalam negeri untuk investasi. Terdapat pula pemanfaatan utang luar negeri yang kurang optimal. Penyerapan tambahan utang luar negeri pada tahun 2006 diperkirakan 30 persen. Penyerapan seluruh akumulasi utang luar negeri terus turun dari 70 persen tahun 1999 menjadi sekitar 50 persen tahun 2003.

Penyerapan utang luar negeri yang rendah ini pada saat yang sama juga diiringi penyerapan anggaran pemerintah secara umum pada tingkat 32% dan belanja modal 15% sampai bulan Juni 2006.

Artinya anggaran pemerintah sulit diharapkan memicu pertumbuhan ekonomi. Padahal sangat dibutuhkan saat pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah dan kemampuan swasta terbatas, antara lain karena tingginya suku bunga.

Potensi pertumbuhan

Seandainya seluruh dana menganggur di perbankan dan milik pemerintah dapat diinvestasikan dalam satu tahun, secara teoretis pertumbuhan ekonomi dapat ditambah 4,5 persen. Atau, jika dibagi dalam dua tahun, dampaknya adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi paling tidak 2,2 persen per tahun. Sesedikit apapun sumbangannya penggunaan dana menganggur ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sangat diperlukan untuk menyerap angkatan kerja baru dan pengangguran yang kini mencapai 11 juta orang. Untuk itu diperkirakan pertumbuhan per tahun minimal 7 persen beberapa tahun ke depan.

Salah satu sebab rendahnya penyerapan anggaran di daerah adalah duplikasi pengeluaran pembangunan pemerintah pusat dan daerah. Efisiensi penggunaan dana investasi juga harus ditingkatkan dan selanjutnya daerah harus berusaha mendapatkan sendiri sumber dana investasinya, misalnya melalui penerbitan obligasi daerah. Alokasi anggaran seharusnya didasarkan pada kinerja pemerintah dalam memenuhi standar yang telah ditentukan. Pada saat ini tidak terdapat sistem yang dapat memonitor kinerja atau keluaran (output) pemerintah sehingga terbuka kemungkinan misalokasi dana. Dampaknya selain pemborosan dana, juga tidak tercapainya standar produksi jasa pemerintah yang diinginkan masyarakat.

Pola pengeluaran pemerintah yang umumnya lambat di paruh pertama setiap tahun dan meningkat menjelang akhir tahun sangat tidak kondusif. Di satu sisi pada saat pengeluaran rendah maka berbagai proyek tidak dijalankan atau dikerjakan dengan pendanaan dari pemasok. Hal ini tentunya meningkatkan biaya proyek itu sendiri dan rawan penyelewengan. Sebaliknya pada saat dana sedang dikucurkan, pelaksanaan berbagai proyek dilakukan tergesa-gesa yang berpotensi menurunkan kualitasnya sekaligus menyulitkan pemantauan keuangan.

Salah satu cara terbaik untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan anggaran multi-tahun, di mana kelebihan dana otomatis dibawa ke tahun berikutnya. Kerangka waktu pendanaan proyek optimal jika disamakan dengan kerangka pengerjaan fisik proyek.

Perkembangan terakhir

Upaya pemerintah untuk memilih beberapa komoditas unggulan, dengan memberikan beberapa insentif, sudah tepat. Hanya dengan fokus, kemajuan dapat dicapai. Lebih dari sekedar insentif, ada baiknya jika unit-unit pemerintah yang relevan dengan komoditas unggulan tersebut bekerja sama untuk mengupayakan kegiatan intensif pada setiap lini dalam proses produksinya.

Thailand misanya, sejak bertahun-tahun lalu pemantauan suatu komoditas unggulan, katakan pepaya, dari supermarket di Tokyo (pasar utama komoditas ini) sampai ke lahan produksinya di Thailand. Dengan perhatian pada setiap titik produksi ini, seluruh jalur produksi, transportasi sampai pemasaran dapat dioptimalkan.


Dalam situasi di mana pengangguran tinggi sekaligus pemakaian kapasitas produksi juga tinggi, sangat dibutuhkan investasi agar pertumbuhan dapat ditingkatkan. Saat industri dan konsumen masih bergulat menyesuaikan diri dari kenaikan harga bahan bakar minyak tahun lalu dan masih tingginya suku bunga, maka stimulus fiskal sangat diharapkan. Sayangnya hal ini belum terealisir. Padahal ketersediaan dana di dalam negeri sangat besar dan segaligus pemanfaatan pinjaman luar negeri juga masih kurang.

Terlepas dari stimulus fiskal secara langsung, Indonesia sebenarnya punya sumber dana yang sangat cukup di dalam negeri untuk menunjang investasi dan pertumbuhan. Untuk memanfaatkannya dibutuhkan strategi yang jelas, dan cepat karena makin lama pertumbuhan yang lambat maka pembentukan ekspektasi akan makin menyulitkan peningkatan pertumbuhan itu sendiri. Karena untuk melakukan investasi dibutuhkan cukup banyak pemilik modal yang mau mengambil risiko, sementara makin lama harapan mereka dikecewakan makin takut pula mereka untuk mengambil risiko. Akibatnya akan dibutuhkan insentif yang makin lama makin besar untuk menggerakkan investasi, dengan ongkosnya serta risikonya makin besar pula.

Alangkah sayangnya kalau Indonesia tidak dapat mengambil kesempatan melakukan terobosan di tengah ketersediaan dana. Sementara bangsa-bangsa lain lari makin cepat, Indonesia tidak boleh tertinggal.*

Kahlil Rowter, Chief Economist CIMB-GK Securities Indonesia

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home