| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, July 17, 2006,11:16 AM

Aceh Menjelang "Merdeka"

Toto Sugiarto

Ketidakpuasan yang ditunjukkan beberapa kelompok masyarakat sipil di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh atau UU PA mengkhawatirkan beberapa kalangan.

Ketidakpuasan ini ditengarai sebagai awal pembangkangan politik babak baru. Namun, ada sisi positif dari ketidakpuasan itu.

Secara politis, ekspresi masyarakat sipil Aceh itu menggembirakan. Dari sisi politik kita melihat masyarakat Aceh, khususnya simpul-simpulnya seperti organisasi masyarakat dan mahasiswa, mampu menunjukkan partisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti masyarakat umumnya, masyarakat Aceh mampu keluar dari pola patron-client era Orde Baru.

"Judicial review"

Fenomena ini membenarkan pandangan, isi politik negara demokrasi seperti Indonesia adalah konflik. Dalam negara demokrasi, tiap individu memiliki kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat, dan ini sering menimbulkan benturan kepentingan.

Namun, konflik di negara demokrasi bukan kekerasan fisik. Sebab, taraf peradaban masyarakat di negara demokrasi relatif tinggi. Suatu masyarakat akan sampai pada kondisi demokrasi jika individu di dalamnya memiliki rasionalitas memadai.

Pada masyarakat beradab, politik berisi konflik verbal antarkepentingan dalam koridor hukum. Konflik seperti inilah yang berpotensi muncul di Aceh pascapemberlakuan UU PA.

Rencana salah satu simpul masyarakat Aceh—yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM)—untuk melaporkan ketidakpuasannya kepada AMM patut dipuji. Dengan tindakannya itu, GAM menunjukkan kepada publik dirinya adalah ormas yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Tindak lanjut atas laporan itu, AMM diharap dapat memfasilitasi GAM guna melakukan judicial review.

Berlandaskan konstitusi

Pekerjaan yang menanti kelompok masyarakat sipil di Aceh adalah meneliti apakah UU PA yang merupakan hasil ekstraksi MOU Helsinki sesuai konstitusi. Ini perlu dilakukan karena tiap undang-undang di manapun harus berlandas pada konstitusi.

Pertanyaan tokoh GAM yang juga pimpinan SIRA M Nazar, (Kompas, 10/6) yang mempertanyakan mengapa MOU Helsinki tak disebut sebagai landasan hukum RUU PA, kiranya merupakan tilikan menarik.

Pemerintah dan wakil rakyat, yang wajib menyosialisasikan UU PA, perlu menjernihkan masalah itu. Persoalan yang harus dijernihkan antara lain: bagaimana kita mendudukkan MOU Helsinki dalam permasalahan ini, apakah MOU dikenal dalam sistem hukum RI dan bagaimana kedudukannya terhadap undang-undang; apakah MOU dapat dijadikan landasan hukum suatu undang-undang.

Lalu, di manakah letak konstitusi RI, UUD 1945 hasil amandemen keempat, dalam sistem hukum RI terutama dalam konteks proses ekstraksi MOU Helsinki menjadi UU PA.

Beberapa hasil ekstraksi yang tertera dalam pasal-pasal seperti pemberlakuan syariat Islam, pengelolaan bersama (pemerintah pusat dan Aceh) sumber daya migas; dibolehkannya partai politik lokal dan calon independen dalam pilkada di Aceh, perlu diteliti kesesuaiannya dengan konstitusi. Jika ditemukan ketidaksesuaian, perlu diteliti, apakah ketidaksesuaian itu masih dapat diterima dengan alasan provinsi paling barat Indonesia itu merupakan daerah istimewa.

HAM

Dengan landasan kewajiban menghormati supremasi hukum, perlu dipertimbangkan kembali pasal yang mengatur pelanggaran hak asasi manusia (HAM). UU PA berpotensi meloloskan para penjahat HAM masa lalu dari gugatan hukum karena sifatnya tidak berlaku surut.

Prinsipnya, tiap produk hukum hanya bisa diterima dan dilaksanakan jika sesuai prinsip HAM. Pasal dalam UU PA yang berpotensi meloloskan penjahat kemanusiaan jelas bertentangan dengan prinsip itu. Di kemudian hari, pasal itu perlu diubah.

Undang-undang hasil revisi harus bisa menjerat para pelanggar HAM, bahkan sampai 30 tahun ke belakang saat mulai terjadi letupan konflik di Aceh. Proses ke arah itu memerlukan waktu. Karena itu, UU PA yang telah disahkan perlu didukung pelaksanaannya sambil dipikirkan pasal-pasal yang perlu direvisi.

"Merdeka"

UU PA yang menempatkan Aceh sebagai daerah yang memiliki otonomi luas perlu dicermati substansi dan pelaksanaannya. Dialog dan debat publik yang bersifat dialektis dalam menyoroti masalah ini perlu terus dilakukan. Segenap elemen masyarakat sipil, termasuk institusi yang akan dibentuk seperti Lembaga Wali Nanggroe, perlu berpikir dan bertindak progresif demi perbaikan tatanan di kemudian hari. Dengan demikian, diharapkan dapat tercapai tatanan yang akan mendekatkan Aceh ke arah kesejahteraan dan keadilan.

Jika telah tiba waktunya, pasal-pasal yang layak direvisi seperti pasal mengenai pelanggar HAM perlu ditinjau kembali. Peninjauan kembali ini dilakukan semata-mata demi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara di provinsi yang dijuluki Serambi Mekkah itu.

Akhirnya, dengan disahkan dan diimplementasikannya UU PA dan diteruskan dengan proses dialektis terhadap undang-undang itu, kita dapat mengatakan bahwa Aceh sedang memasuki saat-saat menjelang merdeka, merdeka dari penindasan, diskriminasi, dan ketidakadilan.

Toto Sugiarto
Peneliti pada Soegeng Sarjadi Syndicate

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home