| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, June 21, 2006,12:22 PM

Seperti Rusa Mendamba Air

Sindhunata

Manusia mempunyai kerinduan yang terdalam. Dalam diri setiap manusia, entah dia anak-anak atau orang tua, entah dia sedang jatuh cinta atau merana, entah dia kaya atau miskin, entah dia suci atau pendosa, kerinduan itu selalu menjadi nyala yang tak pernah padam.

Kerinduan itu adalah kehausan akan kebahagiaan dan kedamaian, akan harta yang tak akan binasa. Sesungguhnya, kerinduan itu adalah kehausan mereguk cinta Tuhan yang tiada habisnya.

Begitulah ditulis penyair dan mistikus terkenal Amerika Latin, Ernesto Cardenal, dalam "Buku Cinta". Menurut Cardenal, Tuhan adalah tanah air bagi setiap manusia. Dialah kerinduan akhir yang tersimpan dalam lubuk hati yang terdalam. Di sanalah manusia, siapa pun dia, menyanyikan ratapannya seperti pemazmur: Quemadmodum desiderat cervus ad fontes aquarum, ita desiderat anima mea ad te, Deus, seperti rusa mendambakan sumber air, demikian jiwaku merindukan Dikau, ya Tuhan.

Kata Cardenal, Tuhan bukan hanya monopoli mereka yang suci dan beragama. Yang berdosa dan ateis pun merindukannya. Tuhan sungguh dicari oleh setiap manusia. Hanya soalnya, manusia mencari Dia kebanyakan di tempat di mana Dia paling sedikit bisa ditemukan. Maka, mengutip Agustinus, Cardenal bilang, "Carilah apa yang kamu cari, tapi tidak di tempat di mana kamu mencarinya."

Memberi kedamaian

Jika Tuhan boleh dicari di mana pun, mengapa Dia tidak dicari di dalam bola? Jangan- jangan Dia ada di sana. Di dunia ini banyak penderitaan. Lihatlah, bola menghibur mereka yang susah dan menderita. Di dunia ini banyak meledak pertengkaran dan peperangan. Lihatlah, dalam Piala Dunia kali ini bola memberikan kedamaian dan persatuan. Tidakkah penghiburan, kedamaian, dan persatuan itu adalah anugerah bagi kerinduan manusia yang lelah dengan penderitaan dan muak dengan pertikaian dan peperangan?

Memang sulit membuktikan perkiraan bahwa bola bisa memberikan sesuatu yang justru tidak bisa diberikan oleh agama yang seharusnya memberinya. Namun, dengan samar-samar, kita akan memperolehnya bila kita melihat Argentina dengan Maradona-nya.

Dalam Piala Dunia 2006 ini Maradona hadir sebagai suporter biasa. Lain dengan Franz Beckenbauer, Pele, atau Johan Cruyff yang duduk di tempat VIP, Maradona memilih tinggal di antara para suporter. Ia memakai kaus Argentina, menari dan menyanyi seperti fans lainnya.

Pada malam pembukaan, Maradona sebenarnya diundang sebagai tamu kehormatan, tetapi ia tidak datang. "Saya datang ke Jerman bukan untuk berfoto bersama Pele atau Beckenbauer," katanya. "Untuk apa saya harus bersalaman dengan tuan- tuan terhormat itu?" tambahnya.

Maradona memang anti terhadap politik dunia bola internasional. Jika legenda bola seperti Pele, Cruyff, dan Beckenbauer ikut terjun dalam sirkus komersial bola yang didukung media, Maradona justru tetap menjadi "urakan" dalam dunia bawah. Memang lebih dari legenda bola, Maradona telah menjadi tokoh pemberontak terhadap segala kemapanan.

Buat sementara elite dan intelektual di Argentina, Maradona tak lebih dari seorang idiot. Tapi buat kebanyakan orang, lebih-lebih kaum miskin, ia adalah pemberontak demi kebaikan mereka. Ia dianggap sebagai "yang terpilih". Buat rakyat Argentina, ia adalah El Pibe de Oro, anak emas. Di kota Napoli, ia bahkan dianggap "Mesias". Dan, tulis fans Argentina, "Paus adalah Jerman, tapi ’Tuhan’ adalah Argentina-Diego X".

Maradona memang telah menjadi pahlawan bagi rakyat biasa. Filsuf Gustavo Bernstein bahkan menulis buku berjudul Maradona, Ikonografi Tanah Air. Dalam buku itu disebutkan, Maradona berhak menerima kehormatan seperti Homerus, pujangga klasik yang ternama.

Semua orang tahu akan cacat Maradona. Di kala masih jaya, ia suka main perempuan. Ia juga berselingkuh, sampai mempunyai anak gelap. Dan ia merusak dirinya dengan narkoba. Maradona memang bukan "orang baik". Namun, anehnya, justru pribadi seperti itu telah menjadi idola yang konotasinya nyaris religius, Maradona hampir seperti "Mesias".

Maradona kiranya bisa menjadi fenomen untuk menerangkan apa yang dikatakan oleh Ernesto Cardenal bahwa kerinduan manusia yang terdalam sungguh ada dalam diri setiap manusia. Orang menumpahkan kerinduan yang suci itu dalam diri Maradona, padahal Maradona bukanlah orang suci, justru di mata agama ia mungkin adalah pendosa. Maradona seakan menggugah bahwa benarlah Tuhan bisa ditemukan di mana- mana, baik dalam bola yang amat sekuler maupun dalam diri manusia yang amat tidak suci dan pendosa.

Maradona telah menjadi "roh" yang menguatkan Argentina. "Kami berangkat ke medan laga dengan perasaan lain setelah mendengar kata-katanya yang menguatkan kami," kata Roberto Ayala. Maradona memang mengunjungi Ayala dan kawan-kawannya di kabin menjelang pertandingan melawan Ghana.

"Luar biasa, rasanya saya seperti hendak turun main sendiri. Saya akan membuat hal yang sama setiap kali Argentina mau bertanding," kata Maradona. Maka awas, siapa menghadapi Argentina, dia tidak hanya akan menghadapi Ayala dan kawan- kawannya, tapi juga akan menghadapi "roh Maradona", yang melipatgandakan kekuatan mereka.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home