| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, June 19, 2006,1:40 PM

Indonesia dan Gejolak Pasar Keuangan

Mirza Adityaswara

Setelah terus menerus meningkat sejak perombakan kabinet Oktober tahun lalu, pasar keuangan Indonesia turun drastis sejak 15 Mei. Pada titik terburuknya, rupiah melemah 8 persen menjadi Rp 9.520, imbal hasil (yield) surat utang negara meningkat dari 11,5 persen ke 13,1 persen dan indeks bursa saham sempat jatuh hingga 19 persen ke level 1.245.

Fenomena ini juga terjadi di negara lain. Mata uang Brazil jatuh 14 persen, Turki jatuh 22 persen, Afrika Selatan jatuh 12 persen. Indeks bursa saham Brazil jatuh 16 persen, Turki jatuh 21 persen, dan bursa saham Afrika Selatan jatuh 17 persen. Mata uang India karena ada capital control hanya jatuh 3 persen, tetapi indeks bursa sahamnya jatuh 26 persen.

Sebenarnya kejatuhan harga berbagai aset keuangan memang hanya menunggu waktu karena pada prinsipnya tidak ada harga aset yang naik terus melebihi fundamental ekonomi. Pasar keuangan Indonesia meningkat tajam sampai pertengahan Mei, padahal pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan kredit, penjualan mobil dan motor, dan penjualan semen sampai April masih menunjukkan pelemahan.

Pelemahan ini semoga bersifat sementara karena pada prinsipnya tidak ada harga aset yang turun terus melebihi fundamental ekonomi. Jumat minggu lalu situasi agak membaik, rupiah menguat ke Rp 9.300, indeks bursa saham meningkat 5 persen ke 1.309, dan yield obligasi negara membaik ke 12,9 persen.

Salah satu faktor yang dianggap penyebab kejatuhan pasar keuangan adalah kekhawatiran akan inflasi Amerika Serikat dan kebingungan atas arah kebijakan moneter Gubernur Bank Sentral AS, Mr Bernanke. Pernyataannya mengenai arah suku bunga AS dianggap tidak menentu, berubah-ubah. Pasar khawatir suku bunga Amerika akan naik lebih tinggi dari yang diperlukan, sehingga dapat menurunkan pertumbuhan ekonominya dan ekonomi negara berkembang.

Peran investor asing

Di pasar saham dan pasar obligasi negara Indonesia, kepemilikan investor asing masih sangat dominan. Per akhir Mei 2006, nonresiden (investor asing) memiliki sekitar Rp 48 triliun obligasi negara atau setara 12 persen dari total obligasi negara di pasar domestik (belum termasuk di pasar obligasi dollar). Sejak awal Oktober 2005 sampai pertengahan Mei 2006, dana investor asing yang masuk ke pasar saham Indonesia mencapai sekitar Rp 17 triliun.

Di satu sisi, kita membutuhkan investor portofolio karena belum masuknya investor asing menanamkan modalnya untuk jangka panjang. Investor asing ikut membiayai defisit anggaran pemerintah dalam bentuk pembelian surat utang negara, baik rupiah maupun dollar.

Dana masyarakat di perbankan sebagian besar bersifat jangka pendek, sehingga tidak bisa dipakai membiayai kredit skala besar yang biasanya bersifat jangka panjang. Investor institusi di dalam negeri seperti dana pensiun, asuransi dan reksa dana hanya memiliki dana sekitar Rp 200 triliun atau sekitar 6 persen dari PDB, jumlah yang sangat kecil untuk membiayai seluruh kebutuhan ekspansi perekonomian.

Di sisi lain, investor portofolio (saham) ikut menaikkan nilai perusahaan termasuk BUMN. Kenaikan harga saham BUMN akan menaikkan nilai kekayaan negara. Begitu pun sebaliknya, penurunan harga saham BUMN berarti terjadi penurunan nilai kekayaan negara. Kenaikan harga saham BUMN bermanfaat mengurangi dilusi saham pemerintah jika BUMN itu memerlukan tambahan modal untuk ekspansi. Banyak kalangan ingin kepemilikan negara tidak terdilusi. Akan tetapi dalam situasi anggaran yang ketat, rasanya sulit bagi pemerintah memberikan tambahan modal kepada BUMN yang memerlukan ekspansi usaha, seperti jalan tol, konstruksi, semen, transmisi gas, perbankan dan sebagainya. Oleh karena itu, agar investor tetap meminati saham BUMN, pemerintah harus ikut menjaga penatalaksanaan BUMN. Setelah dua tahun terhenti, akan lebih baik jika pemerintah kembali mendorong program privatisasi melalui pasar modal di kuartal- IV.

Globalisasi dunia

Dominannya investor asing di pasar modal Indonesia di lain pihak memberi kepusingan tersendiri. Risiko keluarnya aliran modal berdampak pada stabilitas rupiah dan suku bunga. Inilah nasib negara kecil dengan sistem devisa bebas di tengah globalisasi dunia. Di sekolah dasar kita belajar bahwa Indonesia negara besar, tetapi di kancah pasar keuangan dunia, Indonesia adalah negara kecil. Apakah kita mempunyai kekuatan melawan globalisasi dunia yang tercermin dalam berbagai bentuk organisasi dan kesepakatan internasional? Kenyataannya, tidak banyak yang bisa kita lakukan. Justru kita harus bisa memanfaatkan globalisasi dunia.

Akan tetapi untuk menghindari efek negatif dari globalisasi kita harus disiplin. Kita harus disiplin kebijakan moneter, disiplin anggaran, menjaga governance perbankan dan terus memupuk kekuatan dalam negeri, sambil secara konsisten mengurangi utang. Termasuk dalam hal ini, pinjaman luar negeri oleh sektor swasta non-eksportir harus kita waspadai.

Dalam masa sulit seperti sekarang, penyelenggara negara di pusat maupun daerah harus semakin giat membuat kebijakan yang propertumbuhan ekonomi. Perlambatan ekonomi yang kita alami sekarang memerlukan stimulus dan gebrakan.

Pembahasan berbagai undang undang ekonomi seperti UU pajak, UU penanaman modal, seharusnya mendapat prioritas. Bahkan, jika anggaran negara memungkinkan, diperlukan kembali pemberian tax holiday atau pembebasan pajak dan percepatan penurunan tarif pajak.

Di bidang tenaga kerja, harus ada keseimbangan, antara kepentingan mereka yang sudah memiliki pekerjaan dengan mereka yang masih menganggur. Akan tetapi semua gebrakan itu harus tetap menjaga prinsip tata kelola yang baik, termasuk menjaga prinsip pengelolaan perbankan yang baik.

Kebijakan BI

Menghadapi gejolak pasar keuangan, Bank Indonesia tampaknya menghentikan sementara penurunan suku bunga. Di tengah tren kenaikan suku bunga Amerika, serta suku bunga negara berkembang yang lain (Korea, India, Thailand, Turki, Afrika Selatan), memang sebaiknya BI menunda penurunan bunga. Akan tetapi setelah nanti pasar keuangan lebih stabil, BI harus kembali menurunkan suku bunga, karena masih ada ruang untuk penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia atau SBI sebanyak 2 persen. Mengapa hanya 2 persen? Untuk menjaga stabilitas rupiah, selisih suku bunga Indonesia dan Amerika harus dibuat menarik, yaitu tak kurang dari 5-6 persen. Saat ini selisihnya 7,5 persen.

Bagaimana dengan utang Dana Moneter Internasional atau IMF sebesar 7,5 miliar dollar AS, apakah perlu dibayar lebih cepat? Secara prinsip, di kuartal I-2006, pasar bisa menerima jika pemerintah membayar pinjaman IMF lebih cepat. Sayangnya, saat ini pasar sedang bergejolak. Percepatan pembayaran tersebut ditunda ke kuartal-IV.(*)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home