| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, June 19, 2006,1:22 PM

Pamer Kebajikan di Tengah Tragedi

AM Saefuddin
Cendekiawan Muslim

Serentak dan seperti terkomando, sejumlah tokoh langsung mendatangi Yogyakarta yang tertimpa musibah besar: Gempa bumi yang meruntuhkan ribuan rumah dan bangunan lainnya, serta menelan korban lima ribu jiwa lebih. Bencana yang memilukan ini pun sempat menggerakkan Presiden memindahkan kantor pemerintahannya, meski untuk sementara waktu.

Kunjungan para tokoh nasional ini dapat dipahami sebagai kepedulian dan keprihatinan mendalam. Hal-hal yang bersifat psikologis ini memang merupakan kebutuhan. Tapi, yang jauh lebih dibutuhkan adalah hal-hal yang bersifat material seperti pangan, obat-obatan, pakaian, air bersih, dan aliran listrik yang sempat terhenti akibat kerusakan gardu dan lainnya.

Fakta di lapangan menunjukkan, para pengunjung yang terdiri dari birokrat tertinggi, tokoh politik, aktivis kemasyarakatan, dan lain-lain, datang bersama 'oleh-oleh' yang dibutuhkan itu. Tapi yang perlu kita kritisi lebih jauh, dalam memanjakan atau memberikan perhatian khusus terhadap para korban, haruskah disertai dengan sikap pamer kebajikan? Ini layak kita lontarkan sejalan dengan kehadiran para tokoh nasional ke Yogyakarta sembari menyandang identitas dirinya dan atau kelompoknya (partai).

Perlu kita catat dengan tegas, identitas dan/atau simbol yang melekat pada dirinya dan/atau kelompoknya merupakan upaya membangun citra positif di mata publik, terutama masyarakat Yogyakarta, yang gaungnya akan meluas ke wilayah lain. Model bantuan seperti ini dapat dinilai sebagai upaya mengeksploitasi penderitaan para korban bencana untuk kepentingan sempit dirinya dan/atau kelompoknya. Masya Allah, mengapa penderitaan mereka dijadikan komoditas politik?

Pembacaan seperti itu boleh jadi berlebihan. Tapi, dalam kamus politik, pembangunan citra --sebagai investasi politik-- adalah bagian integral dari prinsip yang harus dilakukan. Pembacaan seperti ini semakin valid sejalan dengan ambisi menanjakkan karier politik, sementara tingkat kompetisinya juga semakin ketat. Maka, di manapun terdapat celah untuk mempromosikan diri dan membangun citra positif harus dimanfaatkan secara produktif.

Haruskah dilihat?
Empati, apalagi disertai tindakan nyata untuk menolong para korban adalah sikap dan tindakan terpuji. Tapi, haruskah memperlihatkan diri? Penyerahan bantuan dengan membawa rombongan mengandung makna lain, yaitu ingin dan berusaha dilihat oleh banyak pihak, para korban, dan publik lebih luas. Bahkan tak sedikit di antara pemberi bantuan menyertakan pula tim media untuk menggapai publisitas yang lebih luas.

Dalam perspektif keagamaan, kesertaan rombongan dalam berbuat kebajikan --secara langsung atau tidak langsung ingin dilihat, minimal oleh para penerimanya-- sangat dekat dengan nuansa pamer, sekaligus promosi diri, untuk kepentingan karier politiknya ataupun partainya. Dalam konteks Alquran, tindakan pamer atau promo diri terkategori riya' (Albaqarah: 264). Sungguh disesalkan jika tokoh atau elite yang melakukannya adalah seorang Muslim dan terkategori beriman (taat).

Kita tahu, sebagian firman Allah itu menginformasikan, siapapun yang berbuat kebajikan karena ingin dipuji orang lain, kebaikannya bagai debu yang langsung bersih ketika angin menerpa atau air hujan membasahinya. Maka, berdasarkan perspektif ayat ini, bantuan mereka sungguh tidak bernilai di mata Allah, sekalipun bermanfaat bagi para korban. Sebagai insan beragama, tentu kita mengharapkan keridhaan-Nya, yang lebih sekadar investasi politik. Inilah yang kurang dihayati.

Bagi bangsa ini yang masih dilanda krisis multidimensi dan praktis perlu pertolongan-Nya, menjadikan sikap tulus dalam membantu dan tanpa pemer haruslah dijadikan model solusi. Harapannya, kerelaan-Nya akan memberikan banyak hal bagi bangsa dan negara ini tanpa limitasi.

Di sisi lain, salah satu Hadits menyatakan,''Tangan kiri jangan sampai tahu ketika tangan kanan memberikan sesuatu''. Substansi sabda Rasul ini jelas, ketulusan dan tidak boleh ada pamrih ketika kita beramal saleh.

Seperti halnya Alquran surah Albaqarah ayat 264, kita dapat mencatat, sabda Rasul di atas--dalam kaitan bencana atau lainnya-- kian diabaikan. Mengabaikan dua sumber utama itu menggiring kita bertanya lebih jauh di mana kualitas keberimanan Apakah tererosi kepentingan sesaat? Jika perubahan kualitas keberimanan ini harus terjadi, maka kita dapat memahami mengapa kepentingan Muslim mudah dimainkan sedemikian rupa, dan akhirnya tereduksi nilai-nilainya.

Dalam kaitan ini, sudah saatnya para pejabat tinggi negara memberi keteladanan tentang ketulusan dalam mengartikulasikan sikap empati kemanusiaannya. Demi membumikan cinta-Nya kepada bangsa dan negara ini, seorang pemimpin perlu mencegah adegan kepedulian yang bernuansa promosi diri dan/atau kelompoknya. Untuk itu, Presiden sendiri pun perlu memberikan pembelajaran keteladanan yang atraktif: menyegerakan kiriman bantuan dan dipastikan sampai ke alamat sebelum mengunjungi korban. Yang juga penting, hindari janji atau komitmen di tengah para korban. Realisasi janji atau komitmen perlu waktu. Sebelum terealisasi, selama itu pula para korban ngedumel. Bukan tidak mungkin, di antara mereka mengumpat. Dan umpatan mereka bukanlah sekadar kekesalan, tapi dicatat oleh Yang Maha Mendengar. Umpatan mereka berkategori doa makbul, karena jalur komunikasi dengan Yang Di Atas relatif tak berbatas.

Akhir kata, pamer kebajikan sudah saatnya diakhiri. Jika para pemimpin dan elite mencintai bangsa dan negeri ini, serta sadar akan tanggung jawabnya, maka menghentikan pamer kebajikan di tengah para korban haruslah menjadi landasan dan model kebijakan, bukan mempertahankannya. Insya Allah, kemanfaatan akan berdatangan di hadapan kita. Sikap seperti itulah yang perlu kita bangun agar cepat keluar dari kemelut yang sudah berkepanjangan ini. Allah tempat bergantung. Campur tangan-Nya karena keridlaan-Nya adalah sumber segala pembenahan. ''Bersama Allah, kita bisa''.

Ikhtisar
- Setiap terjadi bencana, tokoh politik, birokrat, aktivis kemasyarakatan berdatangan ke daerah bencana, membawa berbagai macam 'oleh-oleh'. Tapi kehadiran mereka disertai identitas dan simbol.
- Identitas dan simbol yang mereka bawa merupakan upaya untuk membangun citra untuk investasi politik. Mereka mengeksploitasi penderitaan para korban bencana untuk kepentingan sempit diri dan kelompoknya.
- Penyerahan bantuan yang mereka lakukan kepada publik pun dilakukan dengan cara demonstratif. Misalnya dengan membawa rombongan dalam jumlah banyak, bahkan mengikutsertakan media agar mendapat publisitas.
- Seharusnya para pemimpin dan pejabat memberikan keteladanan ketulusan dengan membantu rakyat secara tulus, sesuai kewajibannya.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home