| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, June 20, 2006,12:21 PM

Ketergantungan Pinjaman Luar Negeri

Oleh : Umar Juoro


Indonesia kembali mendapatkan penawaran pinjaman luar negeri dari CGI sebesar 5,4 miliar dolar AS dengan perincian 3,9 miliar dolar merupakan pinjaman proyek yang dimasukkan ke dalam APBN, dan sisanya merupakan hibah non-APBN. Dari kacamata pemerintah, sejak sebelum krisis sekalipun, selalu pinjaman dari CGI ini dianggap sebagai kepercayaan kreditor terhadap pemerintah dan perekonomian Indonesia. Namun dari pandangan pengritik, pinjaman ini dilihat sebagai keberlanjutan dari ketergantungan Indonesia terhadap pinjaman luar negeri.

Sebenarnya rasio total pinjaman terhadap PDB kecenderungannya menurun, saat ini sekitar 50 persen, dan diharapkan terus menurun pada tahun-tahun berikutnya. Jumlah pinjaman luar negeri kecenderungannya juga menurun. Untuk pinjaman luar negeri, sejak masa krisis Indonesia tidak hanya meminjam dari CGI, tetapi juga dari swasta dengan menerbitkan SUN dalam denominasi dolar dengan bunga yang relatif lebih tinggi. Sedangkan pinjaman IMF, yang dikelola BI dan tidak masuk ke dalam APBN, merupakan pinjaman untuk memperkuat cadangan devisa saja. Bagi pihak pemberi pinjaman CGI, mereka menginginkan Indonesia tetap meminjam dari mereka, dan dengan bunga yang lebih rendah dari pinjaman swasta, dan mereka menganggapnya lebih aman untuk APBN. Namun pinjaman dari CGI ini sifatnya adalah spesifik untuk proyek tertentu dan pada umumnya terkait dengan pemberi pinjaman tertentu, baik bilateral maupun lembaga multilateral, seperti Bank Dunia dan ADB. Jika pinjaman tersebut tidak dipergunakan, sebagaimana menjadi permasalahan utama di Indonesia saat ini karena rendahnya daya serap anggaran, maka pihak Indonesia harus tetap membayar fee. Untuk pinjaman ke swasta luar negeri, terserah kepada pihak Indonesia untuk mempergunakannya, tidak terkait dengan spesifik proyek.

Permasalahan pinjaman luar negeri ini sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan sebagai berlanjutnya ketergantungan, jika kita dapat mempergunakannya dengan efektif yang didukung dengan penentuan proyek yang tepat. Namun pengalaman menunjukkan bahwa penggunaan pinjaman luar negeri tidaklah begitu efektif, selain karena rendahnya daya serap, juga terkait dengan spesifik proyek yang kurang terkait dengan proyek lainnya dan perekonomian pada umumnya, serta persyaratan yang terlalu ketat untuk mempergunakan tenaga ahli dan komponen dari kreditor tidak fair bagi pihak Indonesia. Dalam hal efektivitas penggunaan pinjaman luar negeri ini perhatian utama semestinya kita tujukan pada permasalahan tersebut.

Pemberian hibah kali ini pada umumnya terkait dengan bantuan negara kreditor untuk rekonstruksi Yogyakarta dari bencana gempa bumi. Betapapun terkaitnya hibah ini baik komponen proyek maupun tenaga ahli dari kreditor, program rekonstruksi Yogyakarta sangat membutuhkan bantuan tersebut. Kembali penekanannya adalah keefektifan penggunaan hibah tersebut.

Pinjaman CGI pada umumnya terkait dengan proyek-proyek infrastruktur dan pengentasan kemiskinan. Untuk proyek infrastruktur dengan minimnya ketersediaan biaya di dalam negeri, pinjaman ini tentunya sangat membantu. Namun lemahnya kesiapan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif dalam pembangunan infrastruktur, ambil contoh permasalahan pembebasan tanah, dan keengganan para birokrat untuk menjalankan proyek karena ketatnya audit dan gencarnya gerakan antikorupsi, menyebabkan proyak infrastruktur pun mengalami banyak keterlambatan.

Sedangkan proyek pengentasan kemiskinan, termasuk pendidikan dan kesehatan, sebenarnya sumber dana dalam negeri cukup tersedia, dan dapat lebih mengarahkan proyek tersebut pada sasaran yang lebih tepat. Namun lembaga multilateral salah satu tujuan utamanya adalah mengatasi kemiskinan di negara-negara sedang berkembang, begitu pula negara kreditor, secara politis, berkeinginan untuk turut serta dalam proyek pengentasan kemiskinan. Seringkali kita dengar, terutama dari kalangan birokrat sendiri, berkaitan dengan proses sulitnya pencairan pinjaman luar negeri, maka mereka lebih cenderung pada penggunaan dana dalam negeri untuk membiayai proyek-proyek mengatasi kemiskinan.

Dari pertimbangan tersebut, jelas bahwa pinjaman luar negeri dari CGI masih kita butuhkan, terutama dalam mendukung pembangunan infrastruktur. Sedangkan untuk proyek pengentasan kemiskinan, karena pertimbangan politis pihak kreditor, sekalipun pinjaman ini tidak begitu mendesak kita butuhkan, menjadi suatu pertimbangan diplomatis untuk menerimanya. Kembali karena pinjaman tersebut harus dikembalikan, pokok dan bunganya, dan jika tidak dipergunakan tetap harus membayar fee, maka prioritas yang ketat atas dasar efektivitas proyek harus menjadi penekanan.

Pada umumnya tingkat pencairan dana pinjaman luar negeri tidaklah tinggi, berkisar 50-70 persen, atau bahkan lebih rendah dalam masa-masa tertentu. Karena itu dalam menentukan besarnya pinjaman pertama-tama kita harus menyesuaikan kemampuan kita dalam mencairkan pinjaman tersebut. Pinjaman tidaklah, secara makro, sekadar menutupi besarnya defisit. Lebih baik kita mengurangi jumlah proyek yang dibiayai pinjaman luar negeri, daripada menerima pinjaman dalam jumlah besar tetapi kita tidak dapat mempergunakannya dengan efektif.

Jika kita sudah tahu bahwa suatu proyek infrastruktur tidak berjalan lancar karena permasalahan tertentu, misalnya berkaitan dengan pembebasan tanah dan berbagai peraturan, maka sebaiknya proyek tersebut tidak kita masukkan untuk dibiayai oleh pinjaman luar negeri, sampai kita yakin permasalahan tersebut dapat kita atasi secara tuntas. Begitu pula dengan keengganan birokrat untuk menjadi pimpinan proyek, semestinya juga menjadi pertimbangan untuk menentukan priroitas proyek yang dibiayai pinjaman luar negeri. Buat apa kita meminjam dari luar negeri, jika birokrat tidak berani menjalankan proyeknya.

Untuk proyek pengentasan kemiskinan, jika pihak kreditor memang benar-benar ingin berperan serta dalam proyek ini, maka semestinya mereka bersedia untuk memberikan hibah bukan pinjaman dengan bunga, apalagi dengan fee jika dana pinjaman tersebut tidak dipergunakan. Argumentasinya cukup kuat secara politis bagi kreditor bilateral maupun multilateral. Jika pertimbangan komersial dimasukkan, maka hibah pengentasan kemiskinan ini dapat dikaitkan dengan pinjaman untuk infrastruktur dalam prosentase tertentu. Jika tidak maka tidak ada alasan kuat untuk meminjam ke luar negeri dengan bunga, dan fee, bagi proyek pengentasan kemiskinan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home