| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, June 20, 2006,12:27 PM

Dilema Indonesia di Dewan HAM

Usman Hamid

Untuk pertama kalinya Dewan HAM PBB bersidang di Geneva, 19-31 Juni 2006. Banyak kalangan meyakini, pembentukan Dewan HAM adalah tonggak penting dalam membangun prospek yang lebih baik bagi penegakan HAM di dunia.

Itulah optimisme yang pernah mengemuka saat bangsa-bangsa di dunia membentuk organisasi supranegara; Komisi HAM dan PBB. Namun, sejarah menunjukkan kenyataan berbeda. Idealisme manusia setiap masa diikuti kontradiksi tindakan pemenuhannya. Walhasil, piagam, deklarasi, dan traktat PBB menjadi kesepakatan yang diabaikan, seperti terlihat dalam penggalan sejarah dunia hingga pasca-Perang Dunia II dan perang dingin.

Optimisme terakhir yang perlu dicatat, keadaan tahun 1990-an yang dipandang sebagai the age of rights. Harapan dan optimisme masa itu menguat dengan bertambahnya instrumen HAM, terbentuknya pengadilan internasional Rwanda dan bekas Yugoslavia, ditangkapnya diktator Cile, Augusto Pinochet, dengan jurisdiksi universal, dan berlakunya International Criminal Court (ICC). Kini, zaman hak itu sedang bertarung dengan perubahan politik baru pasca-11 September 2001.

Apakah perubahan baru dunia saat ini memungkinkan idealisme Dewan HAM menjadi kenyataan? Bagaimana posisi Indonesia di Dewan HAM ke depan?

Sebagai bagian reformasi PBB, Dewan HAM dibentuk menggantikan Komisi HAM. Sebuah kelompok kerja membahas intensif bagaimana memperkuat efektivitas Komisi HAM (1998-2000). Hasilnya, sebuah laporan komprehensif tentang perbaikan Komisi HAM (2002). Perjalanan reformasi PBB selanjutnya tertuang dalam laporan Sekjen PBB, Strengthening the United Nations (2002), Eminent Persons Report on Civil Society Relations (2004), High Level Panel Report Toward a More Secure Future (2004), laporan Sekjen In Larger Freedom (Maret 2005), Explanatory Notes (Mei 2005) dan 2005 World Summit Outcome (September 2005). Secara khusus, Komisi HAM dinilai mengalami dua masalah. Pertama, defisit kredibilitas keanggotaan, politisasi, selektivitas, dan standar ganda. Kedua, efisiensi dan efektivitas penegakan fungsi-fungsi dan dalam merespons masalah HAM.

Tak mudah menjawab pertanyaan itu, apalagi mengingat reformasi Dewan Keamanan PBB belum usai. Dalam seminar Partisipasi Aktif Indonesia dalam Dewan HAM PBB yang diadakan Departemen Luar Negeri RI, 14-15 Juni, saya kemukakan, Indonesia akan menghadapi dilema dalam menegakkan integritas Dewan HAM termasuk integritas dirinya. Dilema ini menyangkut sejauh mana Indonesia dan anggota Dewan HAM mampu mengatasi aneka masalah pokok Komisi HAM.

Menegakkan integritas

Pertama, negara-negara anggota Dewan HAM harus mau menegakkan prosedur HAM terhadap negara sekutu atau negaranya sendiri. Sekadar contoh untuk Indonesia, dalam sidang ke-60 dan ke-61 Komisi HAM, Indonesia tak mendukung resolusi menyikapi pelanggaran HAM di Belarus, Kuba, dan Korea. Bahkan, Indonesia abstain saat resolusi mengirim pelapor PBB hendak ditujukan kepada Amerika Serikat. Indonesia kehilangan kesempatan untuk berani bersikap menyeimbangkan kekuatan yang selama ini timpang. Sikap ini berbeda dengan wacana publik domestik yang memprotes kebijakan luar negeri AS yang standar ganda. Ini pula yang membuat aktivis HAM kerap bertentangan dengan wakil pemerintah.

Sebagai negara terpilih dengan suara besar, Indonesia bisa menjadi pemain kunci untuk memastikan semua prosedur HAM ditegakkan tanpa pertimbangan politik. Ini bukan ilusi. Selain perkembangan domestik HAM dan demokrasi, juga dalam relasi luar negeri. Contoh, resolusi Komisi HAM terhadap Myanmar diikuti sikap konsisten Indonesia saat Myanmar menolak membebaskan Aung San Suu Kyi. Menlu Hassan Wirajuda menyatakan, "Sesungguhnya tak ada satu negara pun bisa mengklaim pelanggaran HAM berat merupakan urusan domestik." Ke depan, sikap Indonesia harus tegas, mendukung investigasi pelanggaran HAM, dimana pun. Indonesia perlu mendukung usulan pelapor PBB menutup kamp-kamp tahanan AS yang kian ramai diperbincangkan.

Mengakhiri politisasi

Dalam jangka panjang, Indonesia perlu mendorong Dewan HAM meletakkan aneka masalah HAM yang amat serius (kasus Guantanamo) ke ICC. Indonesia harus memperbaiki polarisasi negara yang terbelah ke dalam blok-blok politik Timur dan Barat yang kini menjadi blok Utara, seperti Eropa, Kanada, dan AS serta Selatan seperti Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dinamika negara-negara akan menentukan keberhasilan Dewan HAM.

Blok politik terlihat dalam komitmen terhadap ICC. ICC hanya didukung dua dari 13 negara Asia, Jordania dan Korea Selatan. Amerika Latin, tinggal dua negara yang belum mendukung ICC; Kuba dan Guatemala. Perbedaan juga terlihat antara negara-negara Eropa yang mendukung ICC dengan AS.

Mengakhiri blok politik mensyaratkan agar sidang diisi pembahasan hak sipil dan politik yang kerap didukung blok barat/utara dengan hak ekonomi, sosial dan budaya yang didukung negara-negara sosialis/komunis. Ini diakui dan menjadi paramater keberhasilan Indonesia di Dewan HAM. Untuk ini ada sejumlah resolusi yang dibuat pada sidang ke-61 sebagai modal awal; resolusi HAM dan kemiskinan; hak atas pendidikan; akses pengobatan penyakit pandemik dan lainnya.

Lepas dari capaian Komisi HAM, jadwal satu kali pertemuan Komisi HAM setiap tahun (tiga pekan bersidang), tak cukup untuk membahas dan merespons masalah HAM yang kompleks. Karena itu, Dewan HAM dijadwalkan bertemu setidaknya tiga kali setahun dengan masa sidang 10 pekan. Ini harus diikuti penambahan waktu kerja anggota yang duduk dalam Dewan HAM, dari yang paruh waktu menjadi penuh waktu. Mereka yang berperan sebagai wakil pemerintah harus diganti dengan ahli HAM yang independen.

Banyak hal yang harus dikemukakan, namun catatan ini diharap mendorong Dewan HAM untuk tidak lagi didominasi pertimbangan politik negara yang mengabaikan nasib korban pelanggaran HAM.

Usman Hamid Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home