| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, June 20, 2006,12:29 PM

HAM dan Politik Luar Negeri RI

Anak Agung Banyu Perwita

Tanggal 19 Juni 2006, Dewan HAM PBB atau Human Rights Council melakukan sidang perdana di Geneva. Dewan HAM ini merupakan hasil reformasi PBB yang mengubah Komisi HAM menjadi Dewan HAM PBB.

Sebagai salah satu negara dari 170 negara anggota PBB yang mendukung pembentukan dewan ini, Indonesia memiliki kepentingan nasional untuk memajukan pencapaian HAM di Tanah Air. Bagaimana keterkaitan isu HAM dan politik luar negeri Indonesia?

Dalam konteks global, fokus utama pencapaian keamanan manusia (human security) telah menuntut aneka perubahan agenda pembangunan (nasional dan internasional). Penyebabnya, isu yang sedang marak di suatu negara akan menjadi hirauan bagi aktor negara dan nonnegara lainnya.

Dengan demikian, semua pihak dituntut "menaati" agenda global dalam menyusun prioritas kebijakan nasional dan politik luar negerinya.

Prioritas kebijakan

Beberapa prioritas kebijakan yang kini menjadi agenda global adalah penyebarluasan demokrasi, perlindungan HAM, pencegahan dan penyelesaian konflik komunal, ketidakamanan ekonomi akibat pasar bebas, dan menurunnya daya dukung lingkungan hidup.

Semua agenda itu merupakan produk globalisasi yang kini melanda dunia. Karena itu, diplomasi dan politik luar negeri RI juga dituntut kemahirannya dalam memainkan peran dalam menghadapi isu-isu global itu.

Kendati prinsip "Bebas-Aktif" tetap menjadi roh politik luar negeri, sosok dan instrumen politik luar negeri RI cenderung akan berubah seiring perkembangan domestik dan eksternal yang terjadi di lingkungan kita. Selain itu, sosok politik luar negeri RI juga harus bersifat proaktif sekaligus adaptif terhadap keterkaitan berbagai persoalan domestik dan internasional.

Maka, politik luar negeri kita akan memunculkan sosok perimbangan antara komitmen pemenuhan kebutuhan penegakan HAM, misalnya, dan kewajiban nasional dalam mengatur hubungan luar negeri RI yang lebih sehat dan dinamis. Meminjam konsep yang diberikan Rein Mullerson, Indonesia perlu mengedepankan human rights diplomacy sebagai bagian penting dari total diplomacy yang dicanangkan Menlu Hasan Wirajuda dan istrumen politik luar negeri "Bebas Aktif" yang dianut RI.

Penggunaan human rights diplomacy menjadi tak terhindarkan di tengah perubahan konstelasi politik global. Sementara itu, pelaksanaan diplomasi HAM hanya dapat dilaksanakan secara efektif bila suatu negara memiliki catatan penegakan HAM yang relatif baik dan tinggi. Untuk meningkatkan pencapaian HAM, negara harus melakukan banyak perbaikan, seperti di bidang pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan bidang-bidang kehidupan sosial lainnya.

Sementara itu, kita tahu, rendahnya pembangunan di berbagai bidang, terutama disebabkan tingkat korupsi yang merajalela yang terjadi dalam suatu negara. Alhasil, catatan penegakan HAM yang amat rendah akan menjadi penghalang utama penggunaan diplomasi HAM baik di forum multilateral dan bilateral.

Peningkatan diplomasi HAM

Secara lebih spesifik, peningkatan diplomasi HAM mensyaratkan beberapa hal.

Pertama, menjamin komitmen pelaksanaan demokrasi, penegakan hukum, dan penghormatan HAM di dalam negeri. Selain itu, komitmen ini harus disertai tingkat pembangunan ekonomi yang merata, kesadaran sejarah, toleransi terhadap beragam kemajemukan dan segala hal yang terkait ikatan primordial. Kedua, upaya serius yang dilakukan pemerintah dalam mencari dan menyelesaikan akar masalah pelanggaran HAM yang pernah terjadi.

Kedua hal itu merupakan syarat mutlak pembuatan dan pelaksanaan diplomasi HAM secara efektif guna mencapai kepentingan nasional di berbagai forum internasional.

Postur politik luar negeri RI di masa depan harus mencerminkan kemampuan menyampaikan pesan ke dunia internasional bahwa Indonesia selalu menjalankan kebijakan berimbang dalam penciptaan keamanan, demokrasi, penghormatan HAM, dan kesejahteraan rakyat. Responsivitas politik luar negeri yang tinggi terhadap berbagai perubahan domestik dan internasional menjadi prasyarat utama pencapaian kepentingan nasional.

Secara konseptual, para pembuat keputusan politik luar negeri RI patut lebih saksama mengombinasikan disruption from below atau segala masukan (kritik) dari masyarakat luas mengenai isu (HAM) dan pelaksanaan politik luar negeri dengan derailment from above yang bermakna sebagai beragamnya kepentingan para aktor pemerintah dalam pembuatan dan pelaksanaan politik luar negeri.

Sebaliknya, ketidakmampuan negara mengombinasikan kedua pendekatan itu akan melahirkan boomerang effect yang semakin melemahkan diplomasi HAM Indonesia di kancah internasional. Dalam hal ini, diplomacy and human rights are not substitutes for one another. Dengan demikian, elemen diplomasi, pembangunan ekonomi, demokratisasi, dan penegakan HAM akan saling memengaruhi pembuatan dan pelaksanaan politik luar negeri yang menyeluruh guna mencapai tujuan pembangunan nasional.

Anak Agung Banyu Perwita Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home