| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, June 20, 2006,12:19 PM

Menyoal Good Governancedan Reformasi Birokrasi

R Siti Zuhro
Peneliti LIPI dan The Habibie Center

Good governance dan reformasi birokrasi kembali menjadi diskursus menarik. Dua bidang penting itu dituntut untuk direalisasikan setelah lama mengalami stagnasi.

Pergantian kepemimpinan nasional pasca-reformasi 1998 belum mampu menghadirkan tata pemerintahan yang baik dan wujud konkret reformasi birokrasi. Masyarakat luas pun mulai cemas, kecewa, tampak apatis, dan skeptis terhadap kondisi memburuknya kinerja pemerintah, di mana korupsi menjadi berita day to day.

Pelayanan terhadap masyarakat tidak menunjukkan peningkatan signifikan. Demikian pula dengan kesejahteraan masyarakat. Bahkan jumlah masyarakat miskin di Indonesia bertambah sejak 1998-2006. Pada tahun 2005, jumlahnya sudah mencapai sekitar 60 juta orang.

Reformis lalai?
Pertanyaannya, mengapa keterbukaan politik yang terjadi sejak 1998 tidak berdampak positif terhadap meningkatnya kinerja pemerintah dan penciptaan good governance? Apakah ini disebabkan oleh lalainya kelompok reformis mendesakkan reformasi kelembagaan atau mereka menganggap bahwa reformasi birokrasi bisa berlangsung dengan sendirinya tanpa upaya-upaya atau dorongan-dorongan kekuatan dari luar birokrasi?

Hal ini krusial dikaji mengingat gagasan good governance dan reformasi birokrasi bukan hal baru untuk Indonesia. Hal ini bahkan sempat disosialisasikan di era Orde Baru. Dan ide-ide tersebut tidak hanya makin diminati, tapi juga menjadi tuntutan masyarakat pascakejatuhan Soeharto. Tuntutan untuk merealisasikan good governance dan reformasi birokrasi makin nyaring diteriakkan belakangan ini karena perubahan yang dijanjikan tak kunjung datang. Kehidupan masyarakat tak mengalami perbaikan, bahkan cenderung makin merosot. Lantas, apa yang bisa diharapkan dari pemerintah sekarang ini bila kekecewaan, kecemasan, dan, keputusasaan warga negara tidak direspons secara tangkas.

Adakah kesadaran penuh dari kita semua bahwa negeri yang kita cintai ini sedang sakit? Sakit yang sudah lama dan belum ada obat mujarabnya. Lebih dari itu, bukankah negeri ini benar-benar dalam keadaan tidak normal? Untuk mengatasi kondisi itu, diperlukan solusi yang tidak biasa. Karena mustahil menyelesaikan masalah kompleks dengan cara-cara seolah-olah negeri ini normal.

Dalam kenyataannya banyak hal yang harus diurai dan memerlukan langkah-langkah strategis baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Hal-hal penting yang perlu difokuskan pemerintah saat ini adalah, pertama, menciptakan secara serius good governance dengan mengupayakan akuntabilitas dalam pemerintahannya.

Kedua, apakah pemerintah mampu menciptakan stabilitas dan meredam kekerasan. Ketiga, apakah pemerintah efektif dalam melaksanakan tugasnya, kompeten, dan melayani --dan ini bisa dirasakan oleh masyarakat. Keempat, apakah pemerintah mampu membuat peraturan yang kondusif bagi pasar. Kelima, penegakan hukum oleh aparatnya, dan menjaga hukum agar tetap independen dan tidak memihak. Keenam, kontrol terhadap korupsi, supaya tidak terjadi penyalahgunaan atau penyelewengan kekuasaan yang merugikan rakyat.

Asumsinya, perbaikan governance akan berdampak positif terhadap peningkatan standar kehidupan masyarakat dan dapat mengurangi jumlah kemiskinan. Asumsi ini belum juga terwujud karena era transisi saat ini gagal mengkonkretkan enam unsur penting yang tercantum dalam kriteria good governance.

Bila saja secara bertahap satu demi satu unsur penting tersebut direalisasikan, negeri ini tak semestinya terpuruk seperti ini. Kondisi carut-marut pun tak seharusnya berkesinambungan sampai delapan tahun (1998-2006), dan tampaknya bisa jadi lebih panjang dari periode ini.

Lantas bagaimana Indonesia bisa keluar dari era transisi yang tak kunjung pasti ini? Jawabnya adalah perlu reformasi kelembagaan dan perlunya kepemimpinan yang tangguh, yang berani membuat terobosan sesuai dengan kebutuhan mendesak masyarakat. Kesungguhan, tekad, dan komitmen pemimpin nasional sangat diperlukan.

Selain itu konsisten terhadap kebijakan yang dibuat dan perlunya program yang berkesinambungan supaya hasil konkretnya bisa dirasakan untuk jangka panjang. Artinya, diperlukan komitmen dari rezim ke rezim untuk melanjutkan program reformasi birokrasi, sehingga good governance tidak hanya berlaku untuk satu periode atau lima tahun saja, tapi berkesinambungan dan berlangsung terus untuk jangka panjang seiring jalannya proses demokratisasi. Bila harapan tersebut dikaitkan dengan kebijakan terkini pemerintah untuk mereformasi birokrasi, adakah prospek cerah bagi terciptanya birokrasi yang profesional, netral, akuntabel, dan melayani masyarakat?

Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi, pada 7 Juni 2006, mengumumkan akan mereformasi birokrasi melalui lima RUU. Dikatakannya bahwa RUU ini disiapkan untuk menata sistem manajemen berbasis kinerja yang meliputi kelembagaan, tata laksana, sumber daya manusia, budaya kerja dan hubungan teknologi. Kelima RUU itu adalah RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Pelayanan Publik, RUU Etika Penyelenggaraan Negara, RUU Kementerian Negara, dan RUU Kepegawaian Negara.

Bila lima RUU tersebut berhasil disahkan dan diterapkan, apakah birokrasi Indonesia akan mengalami perubahan yang signifikan? Birokrasi Indonesia mengalami perubahan dari periode ke periode. Masalahnya, perubahan tersebut tidak selalu berdampak positif bagi perkembangan birokrasi, dan justru melanggengkan sifat birokrasi patrimonial yang sarat dengan patron-klien. Pengalaman politisasi birokrasi di era Orde Baru, misalnya, menjadikan institusi ini tidak netral dan tidak professional. Sedangkan di era transisi, peran birokrasi tampak kabur meskipun relatif tidak terpolitisasi sebagaimana era sebelumnya. Peran birokrasi yang kabur atau tidak jelas tersebut berpengaruh negatif terhadap capaian-capaian pemerintah.

Efektivitas dan efisiensi pemerintah yang semestinya makin membaik setelah diterapkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sejak tahun 2001, ternyata masih menghadapi kendala di tataran empirik. Tujuan desentralisasi untuk mensejahterakan dan melayani rakyat belum dapat terwujud. Ini karena kunci keberhasilan desentralisasi yang salah satunya adalah mereformasi birokrasi mulai dari tingkat pusat sampai daerah belum terlaksana.

Padahal, good governance yang mensyaratkan lima hal di atas tak akan terwujud bila reformasi birokrasi tak dilaksanakan. Artinya, ada korelasi positif antara keduanya, tak mungkin masing-masing dilakukan secara parsial. Sebaliknya, diperlukan langkah konkret dan utuh dalam mengupayakan kedua bidang tersebut.

Oleh karena itu, dikeluarkannya kelima RUU --yang notabene sudah in line dengan keenam kriteria/prasyarat good governance-- merupakan langkah awal yang baik. Selanjutnya, bila kelima RUU tersebut sudah disahkan, perlu ada political commitment dan konsistensi baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat untuk bahu-membahu menyukseskan UU tersebut.

Komisi kepegawaian
Hal lain yang tak kalah pentingnya juga adalah bagaimana agar Kantor Menpan tidak harus menanggung beban berat sendirian dalam memperbaiki birokrasi publik. Dengan kata lain, permasalahan birokrasi semestinya tak hanya membebani Kementerian PAN. Dan untuk ini, solusinya adalah perlu dibentuk Komisi Kepegawaian Negara (Civil Service Commission) yang independen yang tugasnya merumuskan dan mengawasi semua kebijakan berkaitan dengan birokrasi.

Amanat pembentukan Komisi Kepegawaian Negara tersebut tercantum dalam Pasal 13 (3-6) UU No 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Namun, sejak ditetapkannya UU No 43/1999, komisi tersebut tak kunjung terbentuk. Karena itu pula, semua beban di letakkan di Kantor Menpan.

Meskipun terlambat, perlu dibuat terobosan baru yang memungkinkan berdirinya Komisi Independen Kepegawaian Negara. Pendirian komisi ini bukan berarti menciptakan beban (keuangan) baru bagi negara, sebaliknya justru meringankan karena pengurusnya hanya terdiri dari tiga sampai lima orang yang adalah pegawai negeri sipil/birokrat sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU tersebut.

Harapan terhadap eksisnya Komisi Kepegawaian Negara dimaksudkan agar ada pembagian tugas yang jelas antara badan yang merumuskan, badan yang melaksanakan program, dan badan yang mengawasi. Jangan ada tumpang-tindih seperti yang terjadi selama ini (merumuskan, melaksanakan, sekaligus mengawasi).

Selain itu, antara Kantor Menpan dan Komisi Kepegawaian Negara diharapkan bisa saling menumbuhkan proses check and balance. Lebih dari itu, eksisnya dua lembaga ini juga diharapkan bisa mendorong terwujudnya akuntabilitas, peningkatan partisipasi dan pelayanan publik, transparansi, dan kredibilitas pemerintah. Poin-poin inilah yang akan menandai wujud konkret reformasi birokrasi dan good governance di Indonesia.

Ikhtisar:
- Tuntutan untuk merealisasikan good governance dan reformasi birokrasi makin nyaring diteriakkan belakangan ini karena perubahan yang dijanjikan tak kunjung datang.
- Bila saja secara bertahap langkah-langkah strategis untuk mewujudkan good governance diselesaikan satu per satu, Indonesia tak akan terpuruk seperti saat ini.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home