| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, June 19, 2006,1:43 PM

Kebijakan Moneter Bukan "Panacea"

Adrianus Mooy

Di sekolah menengah kita belajar, untuk mencari nilai dua variabel, dibutuhkan dua persamaan. Secara umum, jumlah persamaan harus sama dengan jumlah variabel. Jadi, satu persamaan saja tidak dapat memecahkan nilai dari banyak variabel.

Di dalam ilmu kedokteran, tidak ada satu obat mujarab (panacea) yang dapat menyembuhkan segala penyakit. Dalam ilmu ekonomi pun demikian, tidak ada satu kebijakan yang ampuh untuk memecahkan aneka masalah atau untuk mencapai banyak tujuan.

Itu sebabnya mengapa koordinasi antarkebijakan mutlak diperlukan. Dalam bidang ekonomi makro, ada dua kebijakan pokok yang dimiliki pemerintah atau otoritas, yaitu kebijakan fiskal dan moneter yang bersama-sama dapat dipakai untuk memecahkan berbagai masalah dan mencapai berbagai tujuan karena masing-masing kebijakan mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Kebijakan moneter amat efektif untuk mengatasi inflasi yang disebabkan kelebihan permintaan (demand-pull inflation), tetapi hanya bisa mendukung dalam hal pertumbuhan, pemerataan, dan bila inflasi disebabkan oleh kenaikan biaya produksi (cost-push inflation).

Sebaliknya, kebijakan fiskal lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan dan kesempatan kerja serta mengatasi kemiskinan dan inflasi yang sifatnya cost-push.

Meski berada di tangan dua otoritas yang independen, tetapi keduanya harus terkoordinasi, baik pada tahap penyusunan kebijakan maupun pelaksanaannya sehingga dapat saling mendukung dan saling mengisi.

Koordinasi perlu dilakukan secara cepat dan teratur melalui suatu forum yang kecil. Dulu koordinasi dilakukan melalui Dewan Moneter, tetapi setelah Bank Indonesia (BI) menjadi independen, tidak jelas forum apa yang digunakan sehingga di lapangan terkesan masing-masing berjalan sendiri-sendiri dan efeknya pun menjadi tidak optimal.

Sebagai contoh, sekitar Agustus/September lalu, saat rupiah melemah, BI menyerap likuiditas melalui SBI pada pagi hari untuk menopang rupiah. Pada hari yang sama, Departemen Keuangan (Depkeu) melepaskan likuiditas lagi ke pasar dalam jumlah yang besar untuk membeli kembali SUN yang ditawarkan di pasar dengan harga rendah karena pemiliknya membutuhkan likuiditas.

Depkeu mengatakan, hal itu menguntungkan Depkeu dan pemiliknya mau menanam kembali dananya dalam deposito dengan bunga lebih tinggi. Benar, Depkeu untung sebagai perusahaan, tetapi sebagai otoritas, sasaran menstabilkan rupiah bisa tak tercapai karena pemilik bisa saja membeli dollar lagi sehingga kebijakan BI untuk memperkuat rupiah tak efektif.

Urgensi permasalahan

Secara berangsur Indonesia mulai keluar dari krisis 1997, namun masih ada banyak masalah yang harus diatasi. Ada masalah stabilitas (inflasi yang masih tinggi dan nilai tukar rupiah yang lemah dan tidak stabil), masalah pertumbuhan (laju pertumbuhan PDB yang rendah), dan masalah pemerataan (angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi). Tetapi tingkat urgensi masalah sudah bergeser. Memahami tingkat urgensi masalah akan membantu dalam memilih kebijakan maupun dalam menjalankan koordinasi antarkebijakan.

Setelah krisis, masalah yang mendesak adalah stabilitas. Tanpa stabilitas, kita tidak dapat membangun. Tetapi setelah kita mencapai inflasi 5 persen dan kurs 1 dolar AS = Rp 8.400, satu hingga dua tahun lalu, maka urgensi persoalan bergeser ke pertumbuhan dan pemerataan khususnya kesempatan kerja.

Bahkan, akhir-akhir ini dengan angka pengangguran yang kian meningkat, urgensi persoalan kian bergeser ke kesempatan kerja. Sesekali timbul apa yang kita namakan shock inflation seperti saat harga BBM dinaikkan. Namun itu bukan masalah permintaan, tetapi masalah biaya produksi yang memengaruhi supply dan pertumbuhan.

Pilihan kebijakan

Penggeseran urgensi permasalahan menuntut penggeseran dari bobot penekanan pada kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi ke kebijakan fiskal guna mendorong kesempatan kerja dan pertumbuhan. Sifat koordinasi kebijakan juga bergeser, kebijakan fiskal harus lebih berperan secara aktif.

Dalam kenyataannya, penekanan pemerintah masih pada inflasi dan kebijakan masih pada kebijakan moneter, seolah kebijakan moneter adalah panacea untuk semua penyakit/masalah, termasuk untuk pertumbuhan dan kesempatan kerja. Penekanan masalah yang keliru dan ketergantungan yang berlebihan pada kebijakan moneter akan menimbulkan masalah baru.

Ketika harga BBM dinaikkan, inflasi meningkat tinggi, tetapi itu karena biaya produksi meningkat dan pengambilan keputusan bertele-tele. Kenaikan harga BBM terutama untuk kepentingan APBN. Jadi, adalah tugas kebijakan fiskal untuk memberi kompensasi berupa insentif guna menekan kembali biaya produksi. Kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga hanya dapat membantu sementara untuk menekan inflasi.

Bulan Mei lalu BI diminta menurunkan suku bunga karena inflasi sudah terkendali, tetapi pada saat yang sama Federal Reserve AS meningkatkan suku bunga. Jadi, ketika BI mengumumkan ada ruang untuk menurunkan suku bunga, terjadilah pelarian modal sehingga rupiah kembali tertekan dan BI terpaksa mengurungkan niatnya.

Ini suatu pengumuman, tindakan, atau sinyal keliru pada saat yang keliru. Pantas Soros mengatakan, "Jangan salahkan saya. Saya hanya memanfaatkan kelemahan kebijakan saudara- saudara."

Di sini kita lihat keterbatasan kebijakan moneter dengan hanya satu instrumen, suku bunga. Suku bunga tinggi dapat menekan inflasi, modal jangka pendek masuk, cadangan devisa meningkat untuk sementara, rupiah menguat, tetapi sektor riil tertekan. Bila suku bunga diturunkan untuk menolong sektor riil, modal jangka pendek akan lari, rupiah tertekan lagi, dan cadangan devisa menurun.

Kita juga bertekad akan membayar utang kepada IMF, padahal ekspor belum meningkat secara berarti sehingga cadangan devisa pasti akan turun. Hal ini akan membuat BI kian sulit menurunkan suku bunga karena modal jangka pendek akan lari dan cadangan devisa menurun lagi. Dengan kata lain, sektor riil akan terus tertekan.

Jadi, kalau hanya mengandalkan kebijakan moneter, pilihan BI menjadi serba salah dan kebijakan moneter terkesan didikte faktor luar terutama hot money.

Di manakah kebijakan fiskal?

Kita lalu bertanya, di manakah peranan kebijakan fiskal? Kebijakan fiskal terkesan hanya utak- atik anggaran untuk menyeimbangkan pengeluaran dengan penerimaan demi menjaga defisit anggaran pada tingkat yang rendah tanpa melihat apa dampaknya terhadap perekonomian, baik negatif maupun positif.

Apakah tidak ada yang dapat dilakukan oleh kebijakan fiskal guna mendorong pertumbuhan dan kesempatan kerja? Sebenarnya banyak yang dapat dilakukan pada segi penerimaan maupun pengeluaran guna mendukung kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi, termasuk ekspor dan menekan inflasi. Misalnya, menyederhanakan sistem pajak dan menurunkan tarif pajak secara berarti, bahkan bila perlu, menggunakan flat-tax system dengan hanya satu tarif.

Pengalaman menunjukkan, hal ini pasti akan memberi insentif bagi sektor riil sekaligus meningkatkan penerimaan negara dan pengeluaran negara. Tarif pajak diturunkan, tetapi rasio pajak terhadap PDB akan meningkat karena orang akan terdorong melapor semua penghasilannya dengan tarif rendah.

Ada banyak kasus di mana orang sebenarnya membayar pajak lebih besar tetapi tidak semuanya masuk ke penerimaan negara. Setelah ekonomi mulai tumbuh dengan layak, tarif pajak dapat dibuat lebih adil. Sementara itu, keadilan diusahakan melalui pembebasan pajak dan pengeluaran negara.

Dari segi pengeluaran, ada yang bisa dilakukan. Keadaan infrastruktur fisik maupun sosial saat ini amat parah, dan ini tugas pemerintah. Meningkatkan pengeluaran negara untuk perbaikan infrastruktur (di luar pembangunan jalan tol oleh swasta) akan menciptakan kesempatan kerja, membantu sektor riil, membantu menurunkan biaya produksi, dan menekan inflasi.

Pinjaman pemerintah seharusnya hanya digunakan untuk pembangunan, di mana sebagian dapat dicadangkan untuk perbaikan infrastruktur dan untuk membantu golongan miskin.

Kini tidak jelas pinjaman di dalam negeri dan di pasar modal luar negeri dipakai untuk apa. Dulu defisit anggaran hanya dibiayai pinjaman luar negeri dan seluruhnya dipakai hanya untuk pembangunan. Jadi, ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh kebijakan fiskal sesuai keunggulannya.

Secara singkat, berdasarkan urgensi permasalahan, bilamana masing-masing institusi menjalankan kebijakannya sesuai keunggulannya dan terkoordinasi, kita akan lebih mampu dengan tepat dan cepat mengatasi berbagai masalah yang kita hadapi.

Adrianus Mooy Mantan Gubernur Bank Indonesia

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home