| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, June 19, 2006,1:32 PM

Ba'asyir dan Blunder Pemerintah

Mohammad Subhi-Ibrahim
Dosen FE UHAMKA/Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Jakarta

Sesungguhnya Abu Bakar Ba'asyir hanya seorang pengasuh Pondok Pesantren al-Mukmin, Ngruki, Solo, dan amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Ba'asyir besar karena media massa mencitrakannya sebagai tokoh radikal penantang hegemoni Amerika Serikat (AS). Tokoh-tokoh populer, seperti Ahmadinejad dari Iran dan Fidel Castro dari Kuba, pun lahir dari rahim konflik dengan AS.

Ba'asyir adalah 'teks' politik yang multitafsir. Ba'asyir dapat dipersepsi sebagai pembela 'Islam', sekaligus juga ancaman bagi citra Islam sebagai agama damai. Yang mengkhawatirkan bukan pada pembacaan terhadap bahasa politik Ba'asyir. Tapi pada pembacaan yang mengakibatkan lahirnya prasangka sosial.

Stigma Negatif
Menurut WA Gerungan, prasangka sosial merupakan sikap atau perasaan orang-orang terhadap golongan lain yang berbeda ras maupun kebudayaannya. Awalnya hanya perasaaan-perasaan negatif dalam memandang kelompok lain. Namun lambat-laun membentuk tindakan-tindakan diskriminatif terhadap kelompok yang prasangkai itu.

Prasangka terkait dengan stereotip. Stereotip adalah gambaran yang melekat pada kacamata kognitif manusia dalam memandang sesuatu. Stereotip terbentuk berdasarkan keterangan-keterangan yang tidak lengkap dan subjektif. Stereotip cenderung dilestarikan karena terkait dengan kepentingan kelompok. Sedangkan faktor personal yang membuat prasangka sosial mewabah adalah sikap intoleransi, kurang dalam identifikasi diri, kurang berdaya cipta, merasa dalam ancaman, serta memupuk khayalan-khayalan. Tampilan nyata prasangka sosial adalah pada munculnya ide 'kambing hitam'.

Dalam kasus Ba'asyir, prasangka sosial itu mengental dikarenakan propaganda media massa. Hal ini tampak pada gejala ketakutan beberapa kelompok masyarakat bila Ba'asyir dibebaskan. Stereotip yang disematkan pada Ba'asyir adalah pribadi keras yang memberi justifikasi religius aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Ba'asyir adalah 'kambing hitam' yang jadi obat penenang rasa ingin tahu publik akan aktor intelektual di balik aksi-aksi terorisme di Indonesia.

Masalahnya, masyarakat sudah terlanjur yakin bahwa persidangan Ba'asyir adalah pesanan dari AS. Inilah blunder pemerintah. Di satu sisi, pemerintah ingin tampil sebagai 'anak manis' dalam gerakan anti terorisme global. Di sisi lain, aksi pemerintah itu menyuburkan prasangka sosial.

Dalam kehidupan berbangsa, prasangka sosial merupakan kanker yang siap menggerogoti modal sosial bangsa. Bagaimana mungkin membangun bangsa yang kuat bila sikap dan sifat saling mencurigai menjadi pola hidup masyarakat? Memang, radikalisme merugikan kepentingan publik. Tetapi pertanyaannya: sudahkah kita melakukan dialog dengan kelompok yang kita anggap radikal tersebut?

Selayaknya Ba'asyir dan komunitasnya tidak diprasangkai atau ditempeli stigma a priori negatif. Ba'asyir harus diberi kesempatan guna membuktikan bahwa dirinya bukan bagian dari kompolotan teroris.

Ba'asyir adalah anak bangsa yang memiliki pandangan politik keagamaan yang berbeda dengan arus utama (mainstream). Jika kita sepakat memimpikan negara demokratis, maka selayaknya pluralitas pemahaman politik, mulai yang paling kanan sampai yang paling kiri, diberikan ruang hidup asalkan melalui koridor konstitusional.

Ba'asyir adalah mitos ancaman, bukan ancaman itu sendiri. Yang berbahaya bukan Ba'asyir, tapi sikap kaku dalam berpegang pada kerangka pikir kelompok kita dan tidak menghormati pemahaman kelompok lain, serta dengan gampang mengkafirkan sesama muslim hanya karena berbeda pikiran dengan kita, lalu menghalalkan darahnya. Atau kita halalkan segala hal-fitnah, kebohongan, tirani, penyalahgunaan kekuasaan-untuk menjatuhkan orang yang tidak sepaham dengan kita.

Melawan radikalisme religius
Harus diakui bahwa walaupun Islam melarang radikalisme, semangat seperti itu tumbuh di sebagian komunitas Muslim. Tentu, ada saja basis teologis yang dipakai untuk pembenaran sikap itu. Namun yang terpenting dilihat adalah, fenomena itu tidak mencuat dari situasi vakum. Ada konteks sosio-politik, ekonomi dan kultural yang membuat radikalisme menjadi subur.

Perlakuan Barat dan Israel terhadap Palestina, contohnya, menciptakan sikap militansi tertentu di kalangan Muslim yang merasa wajib menunjukkan solidaritas mereka pada Palestina. Dalam kasus ini, ketidakmampuan menjegal kekuatan besar mengakibatkan mereka mencari cara survival. Akhirnya bom bunuh diri, menyerang kepentingan-kepentingan, yang mereka anggap musuh, jadi pilihan.

Jelas, tidak seluruh tindakan itu dibenarkan, sebab bisa berakibat buruk bagi orang yang tidak terlibat dalam konflik. Singkatnya, radikalisme tidak lepas dari konteks yang melahirkanya. Memerangi radikalisme dan eksreminisme tidak cukup hanya mengutuk, memenjarakan atau mengisolasi para aktornya. Jauh lebih penting adalah menghilangkan konteks yang mendasari lahirnya radikalisme. Wa Allahu a'lam.

Ikhtisar
* Dalam kasus Abu Bakar Ba'asyir, prasangka sosial mengental dikarenakan propaganda media massa.
* Ba'asyir adalah 'kambing hitam' yang jadi obat penenang rasa ingin tahu publik akan aktor intelektual di balik aksi-aksi terorisme di Indonesia.
* Blunder pemerintah, di satu sisi ingin tampil sebagai 'anak manis' dalam gerakan antiterorisme global, di sisi lain menyuburkan prasangka sosial bahwa persidangan dan penahanan Ba'asyir adalah pesanan AS.
* Selayaknya Ba'asyir dan komunitasnya tidak ditempeli stigma atau apriori negatif. Ba'asyir, yang dijadikan mitos ancaman, harus diberi kesempatan untuk membuktikan bukan bagian dari kompolotan teroris.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home