| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, June 12, 2006,1:33 PM

Saatnya Duduk Bersama

Erros Djarot

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa ternyata masih sangat fasih dijabarkan dalam berbagai pidato para elite-pemimpin politik di negeri ini. Mereka yang tengah menjabat maupun yang kontra pemerintahan sekarang, semuanya tampil mengesankan sebagai pakar saat berpidato menguraikan butir-butir Pancasila. Namun anehnya, sila Persatuan yang pada awal tawaran Bung Karno justru ditempatkan pada urutan teratas, menjadi sila yang ternyata paling rapuh dihayati oleh para elite-pemimpin politik itu sendiri.

Untuk dapat duduk bersama saja sepertinya sangat berat dilakukan. Padahal, duduk bersama merupakan prasyarat paling minim dalam kaitan upaya menciptakan persatuan yang mengajarkan rakyat Indonesia untuk dapat kembali bersatu demi terbangunnya konsolidasi kekuatan nasional.

Lewat kenyataan ini, semakin mengentalkan keyakinan saya bahwa pendekatan dan pemaknaan yang serba seremonial-simbolik merupakan perilaku yang sudah lama berkarat dan membudaya dalam hidup keseharian mereka. Itulah sebabnya pada saat mereka diperhadapkan pada pemaknaan dan penyikapan di wilayah substansi, terkesan kuat adanya kepribadian ganda (split personality); sebuah penyakit budaya yang kuat menggejala dalam kepribadian para elite-pemimpin di negeri ini. Sebagai akibat, jurang yang sudah begitu lebar antara das Sollen (harapan—yang seharusnya) dan das Sein (kenyataan—realisasinya), seolah menjadi bukan permasalahan.

Dilema kebudayaan

Ancaman terhadap pluralitas (Bhinneka Tunggal Ika) yang telah sampai pada bentuk ancaman serius bagi keutuhan ideologi negara (Pancasila), pun sepertinya dimaknai sebagai hanya sebuah peristiwa politik-kebudayaan yang biasa-biasa saja. Seolah, selama tidak mengancam keutuhan kekuasaan politik mereka, semua dianggap menjadi sah dan wajar-wajar saja. Atas nama demokrasi (baca: liberal) dan reformasi (baca: tanpa arah), seolah semuanya bisa dilakukan!

Tidaklah mengherankan bila ada kelompok yang selalu mengatasnamakan kaum mayoritas dengan leluasa berperilaku anarkis menyerang dan merusak komunitas warga lainnya yang dianggap bertentangan dengan keyakinan dan nilai-nilai yang dianut kelompok mereka.

Yang paling menyedihkan adalah dibiarkan dan dipeliharanya nafsu politik kelompok yang secara sistemik membangun kinerja politik yang bertujuan menciptakan Negara dalam Negara. Pancasila yang tak terpisahkan dari UUD 1945 sebagai batang tubuh yang menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara, seperti tak digubris. Dalam kenyataan telah bermunculan "negara-negara" kecil di berbagai daerah (kabupaten/kota) yang memberlakukan "hukum lain" di luar hukum positif yang berlaku. Nah, apakah Indonesia yang amburadul seperti ini yang diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 kepada pengelola bangsa ini?

Agaknya para pemimpin kita baru mampu sebatas memiliki keberanian merumuskan seputar masalah imperialisme kebudayaan yang melulu diartikan dan tertuju semata hanya pada ancaman yang datang dari negara-negara barat, khususnya Amerika. Tidakkah imperialisme kebudayaan yang datang dari Timur Tengah dan China bermuatan daya jebol yang sama potensialnya dalam kaitan ancaman terhadap eksistensi kepribadian-kebudayaan bangsa kita? Dalam kaitan ini peristiwa ritual keagamaan dan nilai-nilai keagamaan berikut praktiknya dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada kaitannya dengan masalah yang saya ajukan sebagai dilema kebudayaan ini.

Dengan kata lain, nilai-nilai keagamaan yang bersifat universal wajib diterima dan dimaknai sebagai pengayaan yang memberi nilai tambah pada kebudayaan bangsa. Hanya saja simbol-simbol keagamaan yang menyertakan identitas budaya impor dan yang cenderung menghilangkan identitas kita sebagai bangsa yang memiliki kejelasan akar budaya dan kepribadian, harus lah dengan tegas kita nyatakan sebagai infiltrasi budaya yang negatif dan perlu disikapi secara tegas.

Jangan hanya karena simbol-simbol ini diusung oleh kaum mayoritas—yang menggunakan agama demi kepentingan politiknya—seluruh aparat pemerintah termasuk pemimpin tertinggi di negeri ini menjadi ciut nyali untuk mengambil sikap tegas. Hal yang tidak patut dilakukan oleh pemimpin yang mengaku dirinya sebagai nasionalis Indonesia sejati!

Kesepakatan politik final

Dari sejumlah catatan di atas, dapat disimpulkan bahwa hilangnya keberanian para pemimpin kita untuk duduk bersama dan bersikap tegas, utamanya disebabkan karena besarnya muatan kepentingan pribadi maupun kelompok yang erat kaitannya dengan kepentingan menyempit, yakni; kekuasaan (jangka pendek)! Penyebab berikut bisa jadi dikarenakan menurunnya sense of crisis and urgency para pemimpin di negeri ini.

Lunturnya Nasionalisme (yang humanis) juga merupakan faktor penyebab yang tidak kalah pentingnya. Itulah sebabnya, sungguh sangat memilukan hati ketika menyaksikan para pemimpin saling bertepuk dada membanggakan dirinya sebagai nasionalis sejati—di tengah kekalahan kaum nasionalis yang nyata-nyata seperti sekarang ini. Pertanyaannya, nasionalisme yang seperti apa dan yang mana yang mereka anut dan pahami? Pancasila yang mana dan versi siapa yang mereka hayati selama ini?

Oleh karena itu, saatnyalah para elite—pemimpin negeri duduk bersama. Setidaknya melakukan redefinisi dan reaktualisasi tentang nasionalisme, demokrasi, pluralisme, dan seterusnya—dalam konteks Indonesia hari ini dan ke depan. Tentunya tetap dalam satu kesepakatan bahwa Pancasila, substansi UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Merah Putih, dan NKRI merupakan kesepakatan politik nasional yang bersifat final!

Erros Djarot Budayawan

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home