| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, June 08, 2006,12:32 PM

Menjaga Puluhan Ribu Pulau Penuh Harta

Sutta Dharmasaputra

Demikian penggalan puisi karya Nasruddin Anshory Ch berjudul "Doa Anak Negeri". Nidalla Djohansah, anggota Komisi II DPR, membacakan puisi itu begitu menginjakkan kaki di Pulau Nipah, salah satu pulau terdepan di Provinsi Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura.

Sebelum itu, 500 peserta Lokakarya Nasional yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat, agama, pemuda, dan mahasiswa juga memancangkan prasasti dan bersumpah di sana. "Takkan satu titik pun hilang dari peta bumiku, takkan satu pulau pun hilang dari negeriku, akan kujaga kebhinnekaan bangsaku, Indonesia."

Terik matahari siang itu, deburan ombak laut, serta deru Pesawat F-16 milik pasukan tempur Singapura yang berputar-putar di angkasa mengawasi kunjungan ke Nipah. Direktur Jenderal Departemen Dalam Negeri Sudarsono pun dengan bangga meresmikan prasasti Bhinneka Tunggal Ika yang terukir di batu granit hitam itu pada 24 Mei 2006 lalu. Namun, sejauh mana sumpah itu benar-benar akan "sakti mandraguna"?, waktu pulalah yang akan membuktikannya.

Prasasti itu sendiri bukan barang baru di Nipah. Tidak sampai 10 meter telah berdiri tegak prasasti lain. Ukurannya jauh lebih tinggi dan besar. Yang menandatanganinya pun tidak kepalang, Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 Februari 2004. Panglima TNI, Kepala Polri, Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Gubernur Riau, dan sejumlah petinggi lain turut secara simbolik menanam pohon bakau di samping kiri-kanan prasasti. Tetapi, kini kondisinya tidak lagi terawat. Pohon bakau itu sudah hilang entah ke mana. Yang tersisa cuma kotak-kotak pasir bertuliskan nama para pejabat. "Jadi seperti nisan makam saja ya…," ucap seorang peserta lokakarya menyayangkan.

Membangun memang lebih mudah daripada memelihara, begitu kata orang bijak. Memelihara Pulau Nipah juga tidak jauh beda. Bila badai dan ombak pasang datang, sebagian pulau ini tenggelam. Sebaliknya ketika matahari bersinar terik, tanahnya "terbakar" sehingga menjadi gersang. Tak heran kalau pulau ini tak berpenghuni.

Selain tantangan alam, tantangan juga datang dari tangan-tangan manusia. Selain merusak ekosistem laut dan pulau-pulau kecil terluar, kegiatan penambangan dan ekspor pasir laut ke Singapura dari Riau telah juga mengubah garis batas laut antara Indonesia dan Singapura. Dengan bertambahnya wilayah daratan Singapura, secara otomatis menambah wilayah laut Singapura dan mengurangi wilayah Indonesia.

Berdasarkan data Kolonel Johansyah dari Badan Intelijen Negara, tercatat ada 37 perusahaan penambang pasir di Riau. Meski sudah dilarang, kegiatan penambangan pasir ini tetap berlangsung karena mendapat izin dari pemerintah daerah setempat demi meningkatkan pendapatan asli daerah.

Singapura, yang hanya berjarak beberapa mil dan memiliki kekuatan tempur andal, tidak jarang melanggar batas-batas kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saat peresmian prasasti di Nipah, dua pesawat F-16 Singapura pun melintas di atasnya. "Itu pesawat Singapura, mungkin karena kita ada di sini," ucap Wakil Gubernur Kepulauan Riau Muhammad Sani.

Untuk menjaga kedaulatan, sejak beberapa bulan lalu, sejumlah marinir TNI AL ditempatkan di sana meski dengan peralatan dan prasarana seadanya. Akibat minimnya air tawar, untuk minum dan mandi saja mereka harus mengandalkan air kubangan dan air hujan.


Pulau Nipah hanyalah satu dari 98 pulau terluar di wilayah NKRI. Jumlah keseluruhan pulau yang ada di negeri ini tercatat 17.504 pulau, mulai dari Sabang sampai Merauke, mulai dari Pulau Miangas sampai Pulau Dana.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Seandainya dikelola dengan benar, betapa kayanya negara ini. Bila dibandingkan dengan Singapura yang luasnya sebesar Batam, berapa ribu kali lipat kekayaan negeri ini. Tapi, yang terjadi di sekarang justru sebaliknya.

Kondisi masyarakat di pulau terluar, sebagaimana disampaikan Gubernur Akademi Angkatan Laut Mayor Jenderal Nono Sampono, sangat memprihatinkan. Mereka hidup miskin. Tingkat pendidikan dan kesehatannya pun rendah. Mereka pun terputus secara geografi dan sosial budaya, minim sarana transportasi, informasi, dan telekomunikasi. Secara sosial budaya, mereka lebih dekat dengan masyarakat negara tetangga.

Dari 17.000-an pulau di negeri ini, menurut catatan Menteri Dalam Negeri Moh Ma’ruf, masih 9.634 pulau yang belum diberi nama dan masih ada 12.000 pulau belum berpenghuni.

Menurut ahli hukum laut Dimyati Hartono, sebab musabab dari semua ini adalah penerapan paradigma pembangunan yang salah. Selama ini orientasi pembangunan cenderung ke darat, land based oriented, bukan archipelagic based oriented, berorientasi kepulauan. Padahal, kondisi obyektif NKRI bukan merupakan sebuah benua atau daratan yang luas, melainkan memiliki konfigurasi teritorial nasional berupa sebuah negara kepulauan.

Dalam negara kepulauan, eksistensi laut justru dianggap vital. Selain untuk integrasi wilayah, transportasi, dan sumber daya alam, laut juga vital bagi pertahanan dan keamanan.

Pada masa lampau, Gubernur Akademi Angkatan Laut Mayor Jenderal Nono Sampono berkeyakinan, bangsa Indonesia sangat menghargai laut. Terbukti, ada sebanyak 10 relief di Candi Borobudur yang merupakan peninggalan abad ke-7 dan ke-8 yang menggambarkan kapal layar. Sebelum dijajah Belanda, bangsa ini juga memiliki armada niaga dan perang yang besar dan kuat. Tetapi, setelah ada monopoli perdagangan antarpulau dan jalur perhubungan laut diputus, maka hubungan antarsuku bangsa pun jadi terputus. Armada niaga dan perang pun dikecilkan. Kini budaya bahari semakin hilang.

Padahal, luas wilayah negeri ini 5.193.250 kilometer persegi. Luas laut 3.166.163 kilometer persegi, sedangkan luas daratan 2.027.087 kilometer persegi. Indonesia juga memiliki garis pantai 80.791,42 kilometer, kedua terpanjang setelah Canada.

Potensi sumber daya kelautan Indonesia pun sangat tinggi, yaitu lebih dari 2.000 spesies ikan, lebih dari 80 genera terumbu karang (17,95 persen dunia), 850 jenis sponge, padang lamun dan kimia terbanyak di dunia, serta hutan mangrove (30 persen dari luas hutan bakau dunia). Adapun potensi nonhayati laut di antarnya, memiliki sekitar 40 cekungan minyak dan gas bumi, 3 buah air laut kepulauan Indonesia yang menghubungkan Laut China Selatan, Laut Sulawesi, dan Samudra Pasifik di Samudra Pasifik, di sebelah utara dengan Samudra Hindia dan Laut Arafuru/Laut Timor di selatan. Sebanyak 95 persen pelayaran perdagangan di Asia Pasifik pun melewati perairan Indonesia dan 72 persen melewati Selat Malaka.

Perairan Indonesia juga memiliki 60 cekungan besar dengan minyak dan gas di lepas pantai. Dari 60 cekungan migas itu, 70 persen berada di laut dan 9,1 miliar barrel cadangan minyak bumi juga berada di laut. Namun, baru 11 cekungan yang dikelola (cadangan minyak mencapai 1,93 miliar barrel, cadangan gas bumi 107,5 triliun kaki kubik).

Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan total sumber daya minyak bumi di perairan laut Indonesia adalah 40,1 miliar barel, gas bumi 217,7 triliun kaki kubik, sedangkan cadangan emas dan perak berserakan dari Sumatera hingga Papua.

Hasil perikanan di laut seluas 5,8 juta kilometer persegi itu sendiri menyimpan 6,26 juta ton ikan dan dapat dimanfaatkan nelayan 5,01 juta ton ikan per tahun. Namun anehnya, pendapatan negara bukan pajak dari sektor kelautan yang diperoleh Indonesia jauh tertinggal dari negara maritim lain, seperti Jepang (54 persen), China (49 persen), Korea (37 persen), dan Indonesia (18 persen).

"Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Belanda yang visinya maritim memang tidak ada yang kere seperti kita," ucap Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Slamet Soebijanto.

Salah satu rekomendasi Lokakarya adalah pemerintah harus melakukan perubahan orientasi kebijakan pembangunan dari land based oriented ke archipelagic based oriented.

Peraturan presiden

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar. Perpres itu mengatur pengelolaan 98 pulau terluar. Koordinasinya dilakukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Adapun wakil ketua terdiri dari Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri Dalam Negeri. Anggotanya 13 menteri terkait, Panglima TNI, Kepala Polri, dan Kepala Badan Intelijen Negara. Pemerintah daerah pun dilibatkan termasuk dalam penyediaan anggaran.

Dari 98 pulau terluar, ada 12 yang jadi prioritas, yaitu Pulau Rondo, Sekatung, Nipah, Berhala, Marore, Miangas, Marampit, Batek, Dana, Fani, Fanildo, dan Brass. Seperti diketahui, Pulau Rondo yang berbatasan dengan India rawan pencurian ikan. Di Pulau Berhala yang berbatasan dengan Malaysia banyak terjadi perompakan. Nipah sendiri berbatasan dengan Singapura. Miangas, Marore, dan Marampit dengan Filipina, sedangkan Pulau Dana dengan Timor Leste, dan Batek dengan Australia.

Pemerintah menargetkan inventarisasi pulau-pulau tak bernama akan selesai tahun 2007, lalu diajukan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Seperti halnya prasasti, sebuah pulau tidak cukup hanya dengan sebuah nama. Yang lebih penting adalah adanya peradaban di sana. Jatuhnya Pulau Sipadan-Ligitan ke tangan Malaysia adalah contohnya. Di sinilah penting keterlibatan semua elemen bangsa.

Puisi berjudul "Doa Anak Negeri" itu mengusik semua anak negeri yang selama ini telah alpa. Kita hidup di pulau penuh harta, tapi selalu menutup mata, tidak menjaga dengan segala upaya. Akhirnya, puluhan ribu pulau hanya menjadi buruan perompak bermata satu, berkaki satu, tapi bernafsu seribu. Untuk lebih memasyarakatkan pola pikir kepulauan, Nono yang pernah berenang melintasi Selat Sunda mengusulkan agar sejak dini, anak Indonesia diajarkan berenang seperti anak-anak di Jepang. Jangan cuma mengajar anak menggambar dua gunung dan satu matahari di tengahnya serta sawah dan ladang bawahnya, tapi juga menggambar kekayaan terumbu karang di laut.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home