| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, June 08, 2006,12:34 PM

Pilkada di Banyak Daerah

Surplus atau Defisit Demokrasi?

Oleh Taufikurrachman Saleh

Mulai 2004 hingga sekarang, berbagai wilayah Indonesia dalam waktu yang berbeda menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Perhelatan itu diadakan dengan ikhtiar menegakkan demokrasi secara penuh dan menyeluruh seperti di negara-negara yang sudah maju. Mulai pembentukan KPUD dan struktur organisasinya sebagai badan penyelenggara pemilihan kepala daerah hingga penyaringan calon kepala daerah dan peraturan-peraturan pilkada dilaksanakan dengan prinsip demokrasi murni.

Tujuannya berjangka luas, yaitu dengan ditegakkannya demokrasi sampai ke akar rumput (melibatkan masyarakat luas), proses good governance yang berpijak pada akuntabilitas dan transparansi dapat tumbuh dan menunjang pembangunan dan perkembangan daerah serta mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Cita-cita mulia tersebut terlihat manis di atas kertas.

Praktiknya bisa berbicara lain. Kenyataannya, ketidakpuasan bermunculan di mana-mana. Aksi penolakan hasil pilkada dan aroma kecurangan mewarnai hampir semua praktik pilkada di seluruh wilayah Indonesia. Tak jarang aksi kekerasan oleh rakyat terjadi akibat respons yang buruk terhadap protes masyarakat yang tidak puas dengan kinerja KPUD.

Pertanyaannya, apakah ada yang salah dengan pilkada? Apakah kita sudah menjalankannya dengan demokratis? Apakah masyarakat kita belum siap dengan demokrasi? Di mana letak kesalahannya?

Hilang Mata Rantai

Negara Barat menggandengkan demokrasi dengan kesejahteraan. Sudah lama mereka menerapkan sistem welfare state, fungsi negara adalah meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Kesejahteraan dan kemakmuran menjadi ukuran keberhasilan pemerintah.

Kebijakan reformasi dijalankan ketika harga melambung tinggi yang mengakibatkan bertambahnya beban kehidupan masyarakat atau adanya peningkatan pengangguran. Pendidikan, budaya (budaya persaingan), dan hukum adalah beberapa faktor penunjang kesejahteraan yang mendapat perhatian utama.

Di sini, terlihat fungsi negara tidak hanya menegakkan demokrasi, tetapi juga menumbuhkan dan menjaga keberadaan sistem ekonomi, hukum, pendidikan, dan budaya yang kukuh dan kondusif bagi penegakan demokrasi.

Amerika Serikat yang dulunya mengandalkan konsep welfare state juga mulai menekankan pada kekuatan ekonomi. Hal itu diwujudkan dengan penetapan fungsi negara sebagai pelindung dan penjaga sistem pasar. Negara hanya melakukan intervensi ketika terjadi market failure. Tidak heran di negara ini, pertumbuhan ekonomi cenderung mengikuti tren kenaikan dan bersifat ekspansif. Hal itu ditandai oleh menjamurnya perusahaan multinasional dan dominasi dolar di pasar mata uang dunia.

Masyarakat yang terdidik untuk menerima dan mencari titik tengah di antara berbagai perbedaan, dengan pijakan hukum yang adil dan berwibawa serta sistem ekonomi yang melindungi persaingan yang adil, menjadi lahan subur bersemainya demokrasi.

Sementara Indonesia, dengan sebagian besar penduduknya berjuang melawan kemiskinan, sistem hukum tidak pasti, sistem pendidikan dogmatis, dan sejarah politik manipulasi selama lebih dari tiga puluh tahun menyisakan sedikit ruang untuk demokrasi.

Tetapi, Indonesia telah berani dan merasa siap menerapkan demokrasi. Meski, yang muncul justru berlawanan dengan konsep demokrasi itu sendiri.

Dengan melihat jalur perkembangan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, Indonesia telah melakukan lompatan berani untuk mengejar ketertinggalannya dalam penegakan demokrasi. Sedemikian beraninya hingga lupa bahwa demokrasi memerlukan kemapanan di bidang pendidikan dan budaya, hukum, dan ekonomi.

Defisit Demokrasi?

Defisit demokrasi adalah praktik demokrasi yang hasilnya justru tidak demokratis. Bentuk-bentuk kecurangan dan manipulasi selama pelaksanaan pilkada adalah buktinya. Misalnya, ada money politics yang melibatkan kerja sama antara KPUD dan pemberian dana untuk memenangkan pihak tertentu melalui penggelembungan suara, penjualan suara oleh masyarakat atau pihak tertentu melalui pemberian uang sebagai ganti atas suara yang mereka berikan pada salah satu calon tertentu, aksi kekerasan dan pemaksaan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang bersikap berseberangan, dan sebagainya.

Calon lama menggunakan kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki untuk mendongkrak suara dengan cara menyogok oknum aparat KPUD. Dosa KPUD tidak hanya itu. Sejumlah kasus seperti yang dilakukan KPUD Jakarta Pusat menunjukkan masih adanya peluang untuk korupsi dana pilkada.

Bahkan, KPU pusat yang menjadi model panutan justru memberikan contoh negatif, yaitu kolusi dengan rekanan sehingga menyebabkan sejumlah pimpinan utamanya ditahan.

Memang, sejak era reformasi, terjadi perubahan pola perpolitikan di Indonesia. Kalau di era Orba dengan pendekatan represif, di era reformasi polanya berganti menjadi penyuapan alias membeli siapa saja, baik oknum aparat pemilu maupun tokoh masyarakat yang menjadi pendukung, dengan imbalan uang para calon kepala daerah.

Calon lama dapat memaksa para lurah dan camat sebagai bawahannya untuk memobilisasi suara warga. Mereka juga bisa memaksa para guru untuk memobilisasi suara siswa yang sudah bisa menggunakan hak pilihnya agar memberikan suara atau tokoh masyarakat untuk memobilisasi suara para pengikut.

Bahkan, pemuda dan pengusaha kecil, menengah, dan besar dapat ditarik melalui program-program pemerintah dengan melibatkan sarana dan dana publik. Para pegawai negeri diancam agar menyalurkan suara mereka kepada salah satu calon kepala daerah.

Warga negara kehilangan kebebasan untuk memberikan suara kepada siapa yang mereka anggap berkualitas. Persaingan tidak lagi adil. Siapa yang memiliki uang banyak akan memenangkan pilkada.

Calon pemimpin yang berkualitas, tetapi tidak memiliki sumber dana dan fasilitas, sulit menunjukkan kemampuan diri dan tidak bisa maju sebagai calon kepala daerah.

Padahal, di AS, kondisi yang sebaliknya justru terjadi. Dalam hal ini, calon pemimpin tidak direpotkan oleh besarnya dana yang harus dikeluarkan untuk membeli suara. Justru mereka -si calon- mendapat sumbangan dana dari kelompok-kelompok masyarakat tertentu sebagai bentuk dukungan yang didasarkan pada track record-nya.

Calon pemimpin baru yang dikenal bersih atau berprestasi memiliki kesempatan yang sama atau bahkan lebih besar untuk memenangkan pemilihan. Ketidakadilan di Indonesia ditunjukkan fakta bahwa lebih dari 90 persen seluruh pilkada dimenangkan penguasa lama (incumbent).

Meski proses pemilihan mereka dijalankan dengan cara demokratis, warna dan nuansanya sangat tidak demokratis. Gejolak-gejolak masyarakat berupa aksi demo, protes, dan tuntutan pengulangan perhitungan suara pada skala yang berbeda-beda marak di tiap-tiap daerah.

Tak pelak, banyak tudingan yang menyatakan bahwa pilkada hanya memboroskan anggaran pemerintah tanpa hasil signifikan. Intinya, pilkada di Indonesia berubah menjadi ajang transaksi ekonomi. Pejabat lama mengeluarkan dana besar untuk mempertahankan jabatan yang pada akhirnya digunakan untuk memperkaya diri dan menutup pengeluaran selama pilkada.


Taufikurrachman Saleh, anggota DPR RI dari FKB

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home