| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, June 09, 2006,4:44 PM

Khazanah Keberagamaan Buya Syafi’i

Oleh M. Hasibullah Satrawi

Pada 6 Juni 2006 lalu, Prof Dr Syafi’i Ma’arif meluncurkan buku otobiografinya di Aula Widyatama, Wisma Antara, Jakarta. Sederet tokoh penting hadir dalam acara itu, antara lain, mantan Presiden Megawati, Jakob Oetama, Akbar Tandjung, Bagir Manan, Taufiq Kiemas, Mari Elka Pangestu, Rosihan Anwar, Malik Fadjar, Kardinal Julius Darmaatmadja, dan Moslem Abdurrahman.

"Lintas batas". Istilah ini mungkin cocok untuk melukiskan hadirin malam itu, yang membeludak dari berbagai macam latar belakang, baik agama, status sosial, usia, jabatan, maupun lainnya.

Mereka tertegun oleh aura dan karisma tokoh yang dikenal dengan sebutan Buya Syafi’i itu. Mereka seakan hendak menyampaikan sepatah kata -kepada Buya Syafi’i- yang sejak lama terpendam, tertahan, dan tak terungkapkan; Engkau Adalah Guru Bangsa.

Berpangkal Nurani

Secara konseptual, tak terhitung jumlah anak bangsa yang mempunyai kesadaran tinggi dan cita-cita mulia untuk Indonesia kita. Namun, sangat terbatas orang yang mampu menerjemahkan kesadaran kebangsaannya dalam kehidupan riil. Lebih sedikit lagi, seorang profesor-doktor berwawasan kebangsaan dan kemanusiaan yang masih setia kepada kampung "sedaun kelor"-nya.

Apalagi yang bersangkutan lulusan luar negeri serta sudah mengenal luas dunia dan kedap-kedip kehidupan. Rasanya, sejumlah jari tangan terlalu banyak untuk menghitung tipe orang seperti yang terakhir ini. Buya Syafi’i Ma’arif adalah bagian dari yang sangat sedikit itu.

Bagi Buya Syafi’i, keterbatasan desa tidak menjadi alasan untuk tidak menyempurnakan bangunan bangsa dan menegakkan misi kemanusiaan. Bagi mantan ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah itu, intelektualitas, atau bahkan modernitas tidak identik dengan kota-kota besar yang gemerlapan. Sebab, pangkal sejati semua itu adalah nurani. Kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan nurani.

Bagi Buya Syafi’i, menghibur mereka yang dirundung derita tak harus dengan "kilauan" permata. Senyuman tulus dan empati tinggi juga cukup membalut luka mereka.

Bagi Buya Syafi’i, membangun bangsa tak harus dengan gagasan mapan melangit yang sering sukar dicerna. Satu bisikan nurani yang disertai perbuatan riil cukup berarti untuk menghadapi berbagai problema bangsa.

"Maaf, Bapak Ibu yang terhormat, kami tidak menyediakan hidangan makan malam. Yang ada hanyalah makan ringan." Itu adalah pesan Buya Syafi’i Ma’arif. "Tak seharusnya kita berfoya-foya (dengan makanan mewah) di saat saudara-saudara kita di Jogjakarta dilanda bencana dan tak sedikit di antara mereka yang kelaparan." Begitulah Direktur Eksekutif Ma’arif Institut Radja Juli Antoni mengisahkan pikiran dan perbuatan Buya Syafi’i dalam sambutannya malam itu.

Agama Bangsa

Bagi saya, tanggal 7 Maret adalah hari yang sangat bersejarah karena mendapatkan bimbingan dan arahan langsung dari Buya Syafi’i. Hari itu, Buya jadi pembicara dalam Forum Pertemuan Kelompok Ahli (PKA) Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang diadakan Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Departemen Luar Negeri (Deplu) Indonesia. Saya dan beberapa kawan muda diminta jadi pembahas dalam pertemuan itu.

Dalam orasinya, Buya menyitir satu ayat Alquran yang mencerminkan kondisi riil umat Islam saat ini. Ayat itu berisi pengaduan Nabi (mengenai umatnya) kepada Tuhan. Nabi berkata, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya umatku telah meninggalkan Alquran" (Qs 25: 30).

Emosi dan semangat perjuangan Buya tampak kuat mengalir bersama ayat Alquran yang dibacanya itu. Dengan ayat tersebut, Buya telah membeberkan setumpuk persoalan bangsa -terutama menyangkut kehidupan umat beragama- yang sangat serius.

Namun, Buya tak pernah menyerah. Hal itu sudah menjadi salah satu ciri sosok dan perjuangan Buya. "Kita harus mencintai negeri ini dengan tulus meskipun saat ini keadaannya kacau dan ruwet. Salah satunya dengan kritikan yang sopan," begitu Buya menghunus semangatnya malam itu.

Bagi Buya, keberagamaan tidak harus membuat seseorang eksklusif, apalagi ekstrem. "Langit ini untuk semua orang, termasuk mereka yang tidak beragama," begitu Buya menyikapi permasalahan cukup krusial saat ini (Kompas, 08/06).

Sebagaimana dimaklumi, eksklusivisme keberagamaan masih menjadi permasalahan serius bagi kita. Bukan saja karena eksklusivisme itu bertentangan dengan fakta kemajemukan di Indonesia. Lebih dari itu, karena eksklusivisme bertentangan dengan nilai-nilai agama. Terlalu tipis jarak antara eksklusivisme dan ekstremisme. Tak satu agama pun yang mengamini keduanya.

Cukup banyak doktrin yang mengecam praktik eksklusivisme dan ekstremisme. Islam dengan tegas melarang perbuatan itu. Dalam Islam, mereka yang eksklusif dan berlaku ekstrem (dosanya) ditengarai setara dengan mereka yang membunuh semua makhluk manusia.

Sebaliknya, doktrin-doktrin yang terkait dengan inklusivitas, moderat, dan cinta kasih tak terhitung jumlahnya. Dalam doa setelah salat, contohnya, ditengarai ungkapan; Tuhan adalah perdamaian, dari-Nya perdamaian diturunkan dan kepada-Nya perdamaian akan dikembalikan. Maka, hidupkanlah kami (wahai Gusti) di tengah-tengah perdamaian dan masukkan kami ke dalam surgamu yang merupakan singgasana perdamaian.

Bahkan, dalam tradisi umat Kristiani, Tuhan diyakini telah menurunkan orang yang sangat disayangi (Nabi Isa) untuk menebus dosa-dosa manusia. Hingga mereka hidup dalam damai.

Namun, diakui atau tidak, tak sedikit golongan yang menampilkan "wajah lain" dari agama. Juga harus diakui, mereka itu adalah saudara-saudara kita seiman dan sebangsa. Di sini, keberadaan Guru Bangsa seperti Buya Syafi’i Ma’arif dengan gagasan-gagasannya yang segar menenteramkan mutlak dibutuhkan.

M. Hasibullah Satrawi, aktivis Muda NU, alumnus Al-Azhar Kairo, Mesir, peneliti di P3M di Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home