| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, June 07, 2006,12:23 PM

Kearifan Membaca Pertanda Alam

Oleh Syamsul Arifin

WAKTU dua tahun terasa begitu sempit untuk melupakan musibah tsunami yang melanda Aceh pada 2004. Peristiwa itu sulit dihapus dalam memori kolektif bukan hanya oleh orang Aceh, tetapi oleh kita semua. Efek tsunami tersebut begitu dahsyat. Infrastruktur di Aceh luluh lantak. Sampai saat ini, rekonstruksi terus dilakukan. Biaya yang dianggarkan pun mencapai triliunan.

Yang paling menyayat hati tentu korban manusia. Entakan gelombang tsunami menyapu sekitar 200 ribu manusia. Air mata mengalir tak terbendung, meratapi kepergian orang-orang tercinta. Ungkapan bijak, bahwa 200 ribu nyawa itu telah menjadi syuhada, terasa menyejukkan hati. Namun, hasrat hati manusia untuk bersedih tidak bisa dihalangi. Ratapan, histeria, lalu menjadi hal yang manusiawi dan alamiah.

Trauma Aceh belum berlalu, musibah kembali mengentakkan kita. Kini Jogja yang luluh lantak tidak kuat menahan entakan gempa bumi berkekuatan 5,9 pada skala richter. Hampir mirip dengan Aceh, infrastruktur di Jogja banyak yang hancur. Ribuan nyawa pun melayang. Tangis histeria memecah eksotika Jogja. Semua orang kaget.

Stigma Teologi Dosa

Apakah rangkaian musibah di tanah air berimpit dengan dosa manusia? Dengan kata lain, apakah musibah seperti bencana alam tidak lebih sebagai bentuk hukuman Tuhan terhadap dosa manusia. Logika demikian kerap muncul ketika bencana alam terjadi.

Adakah kesalahan logika tersebut? Hubungan antara dosa dan bencana sering disinggung dalam kisah nubuat (kenabian). Dalam Islam, misalnya, ada kisah tentang hancurnya Saba’, sebuah negeri makmur yang berubah menjadi melarat karena dosa-dosa penduduknya. Juga ada kisah tenggelamnya manusia akibat mengingkari ajaran Nabi Nuh. Masih banyak cerita nubuat lainnya yang menyingkap keterkaitan dosa dengan bencana. Semua kisah nubuat itu selalu diingat kembali ketika bencana muncul.

Logika dosa-bencana seakan memperoleh kebenaran empiris ketika badai Katrina mengempaskan Mississipi di Amerika Serikat (AS) pada 25 Agustus 2005. AS harus menanggung kerugian sekitar USD 80 miliar atau sekitar 800 triliun. Sebuah majalah berita mingguan yang terbit di Jakarta tidak segan-segan menyebut badai Katrina sebagai karma menyusul ulah tentara AS yang tidak senonoh baik di Penjara Abu Ghraib, Iraq, maupun di Penjara Guantanamo, Kuba. Tentu, kejahatan perang AS sewaktu menginvasi Iraq dianggap pula berkaitan dengan karma yang ditanggung negeri adidaya itu.

Butuh Kearifan

Dosa nyaris tidak bisa dipisahkan dari manusia. Hanya orang-orang pilihan yang dinyatakan bebas dosa. Pada saat manusia melakukan dosa, dia sebenarnya telah mengambil posisi paradoks dengan Tuhan. Tetapi, apakah dosa bisa dijadikan satu-satunya penjelasan dalam memahami bencana alam?

Penggunaan logika dosa-bencana sebaiknya didasarkan kepada prinsip kehati-hatian, setidaknya untuk menghindari dua hal. Tanpa disadari, manusia, kata Erich Fromm, bermetamorfosis menjadi Tuhan. Manusia melakukan tindakan tertentu yang seharusnya menjadi otoritas Tuhan.

Klaim bahwa manusia lain telah melakukan dosa sehingga pantas mendapat karma sering dilakukan manusia tanpa didasari kehati-hatian. Ini hal pertama yang perlu dihindari.

Hal kedua yang bisa dihindari adalah tindakan suka mengambinghitamkan korban. Seperti dalam ungkapan peribahasa kita, sudah jatuh, ditimpa tangga pula. Penderitaan korban bencana alam seperti yang dialami masyarakat Jogja demikian berlapis-lapis. Mereka bukan hanya kehilangan harta dan orang-orang yang dicintai. Mereka juga harus menanggung trauma yang tentu sulit dihapus begitu saja. Apakah kita masih tega memberikan beban dosa kepada mereka? Biarlah hal itu menjadi misteri Tuhan.

Setiap masyarakat memiliki kearifan lokal. Salah satu sikap yang bijak adalah mengembalikan bencana alam kepada kearifan lokal masyarakat. Sebagai bagian dari kearifan Jawa, masyarakat Jogja tentu bisa menguak makna di balik bencana yang dialaminya.

Di kalangan masyarakat Jawa, ada kearifan yang tersirat dalam ungkapan: Wong Jawa nggoning rasa dan Wong Jawa nggoning semu. Kedua ungkapan itu menjelaskan kepekaan rasa dan kecerdasan orang Jawa dalam memaknai sasmita atau pertanda. Kepekaan dan kecerdasan orang Jawa dalam membaca pertanda berkaitan dengan sikap kosmologisnya yang cenderung ingin bersatu dengan alam.

Bencana alam adalah pertanda. Dalam teologi Islam, bencana alam adalah sinyal kesementaraan. Kerusakan alam adalah sunatullah yang ingin memberikan pertanda proses kehidupan. Kehidupan akan bergerak pada satu titik akhir, yakni Tuhan.

Dalam keadaan demikian, tidak ada pilihan bagi manusia kecuali meleburkan dirinya kepada Tuhan. Dalam kearifan Jawa, doktrin teologi itu tersirat dalam ungkapan: pamore/manunggaling/jumbuhing kawula Gusti.

Hanya dalam penyatuan dengan Tuhan, manusia menemukan kepasrahan. Inilah subjektivitas yang memiliki makna tinggi.

Kata para filsuf, musibah adalah realitas objektif. Penderitaan adalah realitas subjektif. Musibah adalah dunia di luar diri kita. Penderitaan adalah picture in our head.

Semoga saudara-saudara saya di Jogja menemukan kearifan di balik musibah yang dihadapinya.


Dr Syamsul Arifin MSi, kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat Unmuh Malang

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home