| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, June 11, 2006,9:15 PM

Perjuangan Menegakkan Multilateralisme

Rakaryan Sukarjaputra

Perjuangan negara-negara anggota Gerakan Nonblok atau GNB masih belum selesai meski perang dingin telah usai lebih dari satu dekade lalu. Di saat perjuangan memerdekakan diri dalam arti sesungguhnya masih belum tercapai, khususnya di bidang ekonomi, "musuh" baru telah datang dan semakin menghantui, yaitu unilateralisme.

Suara perlawanan yang semakin keras atas kecenderungan menguatnya unilateralisme itulah yang dalam beberapa tahun belakangan ini terus disuarakan GNB. Sebagai sebuah anomali di tata kehidupan warga dunia yang semakin mengglobal dan saling bergantung, kecenderungan unilateral yang ditunjukkan beberapa negara adidaya itu memang jelas-jelas menafikan keberadaan miliaran anggota masyarakat dunia lainnya, untuk ikut menentukan arah kehidupan di planet milik kita bersama ini.

Untuk melawan unilateralisme itulah, GNB bertekad semakin memperkokoh multilateralisme sebagai pedoman dasar tata pergaulan internasional. Perjuangan untuk menegakkan multilateralisme terus disuarakan dalam pertemuan-pertemuan GNB, baik Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) GNB 2003 di Malaysia maupun KTT GNB 2006 September mendatang di Havana, Kuba.

Sebagaimana hasil rumusan akhir pertemuan para menteri Biro Koordinasi GNB di Putrajaya, Malaysia, 27-30 Mei lalu, yang merupakan pertemuan untuk menyiapkan bahan-bahan bagi KTT GNB 2006, persoalan unilateralisme merupakan ancaman serius dalam pandangan GNB. Unilateralisme tidak bisa dipandang remeh karena sifatnya yang mengabaikan hukum-hukum internasional dan instrumen hukum internasional, serta kewajiban-kewajiban lain yang muncul dari hukum internasional. Unilateralisme juga membuat kesepakatan masyarakat dunia sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak lagi dihormati sehingga mengancam peran serta fungsi lembaga dunia tersebut.

Untuk melawan unilateralisme itulah, satu-satunya pilihan adalah memperkuat dan semakin menegakkan multilateralisme. Dalam kaitan ini GNB tidak berjuang sendirian karena bahkan Sekjen PBB Kofi Annan pun sudah sejak lama mendorong perlunya reformasi di badan dunia PBB untuk semakin memperkuat badan itu sebagai wadah multilateralisme. Dorongan untuk penguatan multilateralisme pun mendapat momentum baru, dengan kegagalan Amerika Serikat dan sekutunya baik di Irak maupun di Afganistan.

Mengancam anggota GNB

Tindakan unilateralisme yang dimotori Amerika Serikat bersama sekutu-sekutunya di Eropa memang merupakan ancaman nyata bagi negara-negara anggota GNB. Sebelum diinvasi AS dan sekutunya, Irak adalah anggota GNB. Kini, ancaman unilateralisme itu juga mengancam Iran yang juga anggota GNB.

Meski demikian, sebagai sebuah forum negara-negara yang merasa senasib dan satu aspirasi, GNB tidak bisa berbuat lebih dari sebatas menyuarakan keprihatinan melalui berbagai forum dan saluran yang ada. Inilah yang sering dinilai sejumlah kalangan pengamat sebagai kelemahan utama GNB yang cenderung no action. Ketika Irak diserang, misalnya, banyak negara anggota GNB yang cenderung diam, bahkan sejumlah negara GNB ikut membantu AS dan sekutunya dengan menyediakan tempat mereka untuk pijakan penyerangan.

Sebagai sebuah forum yang sudah berumur empat dekade, GNB memang masih memiliki sejumlah persoalan internal, baik di antara negara anggota satu dengan negara anggota lainnya maupun internal di sebuah negara anggota yang berskala internasional. Persoalan tragedi kemanusiaan di sejumlah negara anggota GNB di benua Afrika, misalnya, terus berlangsung tanpa keterlibatan yang berarti dari GNB untuk mengatasinya. Konflik antarnegara anggota GNB pun masih ada meski para pemimpin GNB terus menyerukan pentingnya kesatuan dan kohesivitas GNB dalam berbagai pertemuannya.

Wajarlah bila Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda dalam kesempatan pidatonya pada pertemuan Menteri Biro Koordinasi GNB di Putrajaya menekankan agar GNB yang beranggotakan 114 negara mentransformasikan kekuatan besarnya jumlah anggota itu menjadi kekuatan kualitatif. "Kita harus memastikan penggunaan penuh kekuatan ini untuk memastikan bahwa mayoritas keseluruhan terbesar umat manusia ini diperhatikan di PBB dan forum lainnya," ujarnya.

Sayangnya, sebagaimana juga disampaikan Hassan, GNB terus berhadapan dengan sejumlah masalah karena ketidakmampuan mencapai kesepakatan dalam sejumlah isu yang penting sehingga tidak mampu membangun sebuah posisi yang kuat.

Oleh karena itulah, Menlu RI itu menyerukan agar GNB melakukan reformasi dalam proses pengambilan keputusan dan prosedur-prosedurnya sehingga GNB bisa mencapai kesepakatan dan semua negara anggota berkomitmen melaksanakannya.

Kelompok 77

Meski GNB sebagai sebuah forum memang tidak sangat memprioritaskan pada suatu aksi bersama, gerakan ke arah mengangkat negara-negara anggota dari marginalisasi di bidang ekonomi terlihat semakin nyata melalui Kelompok 77.

Di bidang ekonomi ini sudah cukup banyak inisiatif kerja sama yang dilaksanakan, bahkan dengan bergabungnya China dengan Kelompok 77, kerja sama ekonomi di antara negara-negara sedang berkembang dan bahkan beberapa di antaranya masih terbelakang itu kini semakin hidup. Kerja sama Selatan-Selatan yang pada era 1980-an begitu populer dan sering disuarakan kini tengah dibangkitkan kembali.

Walau demikian, harus diakui bahwa dalam hal pendanaan untuk pembangunan, Kelompok 77 pun belum bisa berbuat banyak. Sebagian besar negara GNB, termasuk negara-negara dalam Kelompok 77, masih menggantungkan pembiayaan untuk pembangunannya dari dana pinjaman negara-negara maju (Barat).

Dalam kondisi seperti itu, jelas tidak mudah bagi negara-negara GNB untuk bersikap lebih "kritis" terhadap negara-negara maju, apalagi menunjukkan penentangan secara terbuka.

Pada akhirnya, sebagaimana disampaikan sejumlah diplomat GNB yang bertemu di Malaysia, akhir Mei lalu, jangan berharap ataupun bermimpi GNB akan menjadi suatu organisasi yang kuat dan mempunyai posisi tawar yang tinggi di panggung internasional.

"Ini kan hanya sebuah gerakan moral sehingga tidak ada ikatan apa pun terhadap negara-negara anggotanya. Jadi sepenuhnya bergantung pada kesadaran dan kemauan negara anggota melaksanakan kesepakatan yang sudah dibuat. Meski begitu, pertemuan-pertemuan GNB ini masih penting untuk selalu mengingatkan bahwa kita, negara yang masih tertinggal, tidak sendirian. Kita masih punya harapan untuk berkembang, melalui upaya bersama, tukar-menukar pengalaman, dan saling berkomunikasi," ungkap seorang diplomat senior dari Tanzania.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home