| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Sunday, June 11, 2006,9:18 PM

Masalah Visi Bersama

Soetrisno Bachir

Gelombang reformasi yang mengakhiri kekuasaan presiden Soeharto sudah berlangsung delapan tahun silam. Sejak saat itu, bangsa Indonesia sudah dua kali menyelenggarakan pemilu legislatif yang paling demokratis dalam 50 tahun terakhir, serta berhasil menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya. Sejak tahun lalu, bangsa Indonesia juga memilih kepala daerah secara langsung.

Sejauh ini proses politik-pemilu, pilpres, dan pilkada tersebut berjalan relatif aman, dalam arti tidak sampai menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Bahwa masih ada kekurangan dan kelemahan di sana-sini, tentu tak bisa dihindari. Ini masih dalam batas-batas kewajaran, mengingat bangsa kita pada hakikatnya memang masih dalam taraf ''belajar berdemokrasi''.

Setidaknya, Indonesia kini tercatat sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Apalagi bangsa kita pun berhasil membangun kelembagaan politik lain guna menopang proses politik demokratis. Seperti pembentukan Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, KPK, pemisahan TNI-Polri, penghapusan peran politik militer, penghapusan SIUPP, dan yang tentu menjadi landasan semuaamandemen konstitusi.

Akan tetapi, yang masih menjadi tanda tanya besar adalah mengapa prestasi yang cukup gemilang di bidang politik itu tidak serta merta membawa dampak positif bagi kondisi umum bangsa dan negara Indonesia? Mengapa bangsa dan negara kita sepertinya tak juga beranjak dari keterpurukan sosial-ekonomi sebagai akibat krisis moneter 1997?

Bahkan, bangsa dan negara kita sepertinya menghadapi sebuah lingkaran setan problematika yang tak jelas ujung pangkalnya. Bencana demi bencana baik yang disebabkan karena faktor alam maupun manusia sepertinya datang silih berganti menimpa bangsa dan negara kita.

Kini bangsa kita bagaikan terjebak dalam sebuah lorong gelap, tak tahu bagaimana harus keluar guna mendapatkan secercah cahaya dan udara segar. Tapi, benarkah demikian? Tulisan ini mencoba menawarkan sejumlah alternatif solusi bagi masa depan yang lebih baik untuk bangsa dan negara kita.

Visi yang jelas
Jika kita becermin pada negara-negara lain, khususnya negara-negara tetangga di kawasan ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, mereka masing-masing memiliki kejelasan visi mau dibawa kemana negara mereka. Malaysia, misalnya, secara serius mempersiapkan visi 2020 selama dua tahun.

Malaysia memilih 120 tokoh yang mewakili semua elemen bangsa untuk menyusun visi Malaysia 2020. Misalnya visi tentang negara industri berbasis teknologi informasi (IT). Malaysia kelihatan memang menuju negara industri yang mengedepankan teknologi IT, seperti membuat chips untuk mengganti produk-produk Jepang, AS, atau Taiwan yang mahal. Sekarang Malaysia menjadi produsen industri chips terbesar di ASEAN, bahkan mungkin di Asia.

Di samping itu, Malaysia memiliki visi yang jelas di sektor pariwisata, yang menjadi penghasil devisa besar. Dan ini sudah terbukti sukses ketika mereka berhasil menarik sekitar 18 juta wisatawan pada tahun 2005. Di sektor pendidikan dan kesehatan, Malaysia juga jauh lebih maju dibanding Indonesia.

Hampir di segala sektor, bangsa Indonesia belum memiliki visi bersama. Apakah Indonesia akan menjadi negara industri, pariwisata, atau services. Apakah kita mau seperti Singapura, Malaysia atau Thailand. Malaysia mengandalkan keindahan alam dan ketenteraman guna menarik wisatawan. Sektor pariwisata Malaysia terus berkembang. Thailand mengandalkan agrobisnis dan wisata yang kadangkala dikenal sebagai 'surga kaum laki-laki'. Agrobisnis Thailand juga sudah jauh melebihi Indonesia. Begitu pula di sektor industri perakitan mobil, Thailand mengalami kemajuan yang sangat pesat.

Di sektor pariwisata, kita sebenarnya bisa menjadi nomor satu di dunia, karena wilayah Indonesia yang besar dan alamnya indah. Tapi, kita tidak mempunyai program yang jelas, misalnya bagaimana menarik wisatawan asal Timur Tengah yang-setelah tragedi di Amerika, 11 September 2001, mengalami kesulitan bepergian ke Eropa atau Amerika. Justru Malaysia dan Thailand yang berhasil menarik mereka.

Ada yang salah
Sepertinya ada something wrong di negara kita. Bukan karena bangsa kita bodoh, sebab di sini banyak orang pandai. Pemimpin Indonesia juga bukan orang yang bodoh. Bukankah SBY juga seorang doktor? Kombinasi SBY-JK ini sebenarnya sebuah perpaduan yang luar biasa.

SBY seorang yang hati-hati, konseptual, intelektual, sedangkan JK seorang entrepreneur, bisnisman yang teruji, dan organisatoris. JK adalah pengusaha yang mempunyai visi dan pekerja keras. Tapi kombinasi yang bagus ini kemungkinan juga akan gagal karena belum ada visi bersama dalam membangun bangsa dan negara Indonesia.

Jika bangsa kita ingin lepas dari berbagai problematika yang bagaikan lingkaran setan ini, maka bangsa kita harus memiliki kesamaan visi tentang masa depan Indonesia. Visi bersama ini harus berbasis pada natural resources base. Misalnya untuk perikanan, kita mempunyai lautan yang bisa menghasilkan devisa miliaran dolar kalau kita mempunyai visi bersama.

Indonesia merupakan negara agraris, tapi justru masih mengimpor beras, gula, jagung, kedelai, dan buah-buahan. Jika kita mempunyai visi bersama, kita bisa seperti Thailand. Mereka bisa mengekspor beras, buah-buahan, dan lain-lain. Negara kita jauh lebih subur dibanding Thailand.

Kemudian mining (tambang), yang sedang dikritik dan disorot tajam oleh sejumlah tokoh nasional. Visi kita tentang tambang ini mau kemana? Ada yang terkesan anti-investor asing. Padahal di sektor pertambangan diperlukan modal besar dan investasi asing, tapi yang menjadi pertanyaan bagaimana pengamanannya? Misalnya, setelah 10 tahun produksi harus didivestasi ke perusahaan-perusahaan nasional, kemudian diberlakukan pajak progresif. Yang penting harus ada visi bersama menuju ke sana.

Berikutnya, visi bagaimana mensejahterakan rakyat. Ini harus menjadi prioritas, terutama yang bersumber pada natural resources base. Apakah mau kelautan, pertanian (agrobisnis), pertambangan, atau pariwisatanya. Bangsa kita memiliki sumber daya alam yang begitu melimpah, tapi belum memiliki kesamaan visi akan dibawa kemana kekayaan alam kita. Padahal untuk membayar utang luar negeri, dari sektor pertambangan saja sudah lebih dari cukup. Dari tambang emas, misalnya, ini jika dikelola dengan benar dan visi yang jelas, maka akan dapat menghasilkan ratusan ribu dolar per hari.

Sayangnya, justru perusahaan-perusahaan asing seperti Freeport dan Newmont yang menikmati hasil pertambangan kita. Jika kekayaan alam kita dikelola dengan visi yang jelas, akan dapat dipetik tiga manfaat sekaligus. Pertama, bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Kedua, bisa dipergunakan untuk membayar utang luar negeri. Ketiga, bisa menambah pendapatan bagi bangsa kita. Sayangnya, sampai saat ini natural resources base kita tidak dikelola dengan visi yang jelas.

Di sektor industri, kita juga belum memiliki visi yang jelas. Seharusnya kita membangun visi bagaimana mengembangkan industri besar dengan tidak menggusur industri kecil, tapi saling mendukung. Selama ini, keberadaan industri besar justru membunuh industri kecil. Industri yang besar dibunuh oleh industri yang lebih besar lagi, dan seterusnya.

Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tak mungkin akan menjadi semacam 'bom waktu' yang setiap saat dapat meledak. Sebab, setiap industri yang mati pasti akan menambah banyak jumlah pengangguran. Padahal pemerintah belum mampu membuka lapangan kerja baru. Dalam jangka 25 tahun ke depan, visi bersama untuk memakmurkan rakyat harus menjadi prioritas utama. Para elite seharusnya mempunyai kesepakatan untuk mensejahterakan seluruh rakyat. Mereka sudah saatnya mengedepankan kepentingan bangsa dan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Indonesia bisa belajar pada keberhasilan negara-negara lain, seperti Malaysia, karena kita memiliki kultur yang relatif sama. Atau belajar dari RRC dan India, karena kedua negara ini juga memiliki jumlah penduduk yang sangat besar, namun berhasil tampil sebagai kekuatan baru di Asia. Dengan kata lain, sangat tidak tepat alasan kultur Melayu atau besarnya jumlah penduduk dijadikan 'kambing hitam' ketidakmampuan Indonesia tampil sebagai negara maju.

Ikhtisar:

- Prestasi gemilang Indonesia di bidang politik tak serta merta membawa dampak positif bagi kondisi umum bangsa dan negara Indonesia.
- Hampir di segala sektor, Indonesia belum memiliki visi bersama.
- Jika bangsa kita ingin lepas dari berbagai problematika, bangsa kita harus memiliki kesamaan visi tentang masa depan Indonesia. Visi bersama ini harus berbasis pada natural resources base.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home