| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Friday, June 09, 2006,4:41 PM

Kritik-Diri Kaum Agamawan

Muhamad Ali

Insiden pengusiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) oleh sekelompok orang dalam sebuah diskusi antarumat beragama beberapa waktu lalu dan somasi kalangan agamawan terhadap Gus Dur atas pernyataan yang dinilai menyinggung kredibilitas beberapa organisasi keagamaan harus menjadi pelajaran penting dan kritik diri bagi kalangan agamawan sendiri.

Kritik diri di kalangan agamawan, siapa pun mereka dan apa pun namanya, sebagai manusia penyebar firman Tuhan (des hommes de Dieu), mungkin belum mentradisi. Kalangan agamawan menganggap diri mereka sebagai wakil Tuhan di muka bumi, sebagai pembawa kebenaran-kebenaran absolut. Mereka meyakini posisinya sebagai pewaris para nabi dan perintis agama serta menganggap tugas mereka secara inheren sungguh mulia.

Sulit menerima kritik

Meski sering mengatakan bahwa mereka manusia biasa, tetapi status kesakralan yang menempel sering membuat mereka sulit menerima kritik, apalagi mengritik diri sendiri. Lebih-lebih saat sebagian kalangan agamawan merasa diri sebagai pusat kuasa dan otoritas dalam gerakan-gerakan keagamaan tertentu.

Di pihak lain, masyarakat pengikut agama menganggap, pemimpin agama mereka memiliki karisma yang tak boleh diganggu gugat atau dipertanyakan. Karisma itu bisa berbentuk karisma spiritual, magis, atau moral, tetapi kadang berbentuk karisma pemikiran yang dianggap menguasai bidang agama sehingga harus dituruti apa pun yang dikatakan, diperintah, atau dilarang. Akibatnya, kalangan agamawan merasa, dukungan pengikut menambah status, posisi, dan martabat sehingga enggan mengkritik diri.

Di kalangan pengikut, rasionalitas jarang menjadi tolok ukur saat bersikap terhadap pemimpin. Hubungan pemimpin dan pengikut agama sering merupakan patron-klien, sementara sisa-sisa feodalisme belum hilang. Apalagi psikologi massa sering terkungkung kerangkeng komunalisme, sikap menganggap kelompoknya sebagai paling benar.

Lebih jauh, kondisi lingkungan lokal, nasional, serta global seperti materialisme dan sekulerisme yang dipersepsi sebagai musuh ideologis agama kian meninggikan martabat dan pentingnya penjaga agama adalah keharusan bagi kalangan agamawan di mata pengikutnya. Perang pemikiran dan ideologis menjadikan kalangan agamawan cenderung bersikap defensif dan apologis. Dalam situasi defensif mereka berupaya menjaga status, harkat, dan martabat kepemimpinan agama di mata umat dan pengikut.

Beberapa faktor itu membuat kritik diri (auto-criticism) menjadi sulit. Banyak agamawan belum bisa membedakan antara perbedaan pendapat dan konflik fisik. Mereka belum mampu mengelola perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat sering diikuti kecaman, makian, bahkan anjuran untuk menyerang.

Kalangan agamawan bisa terjebak dosa publik. Mereka tidak ma’sum (terhindar dari dosa). Kalangan agamawan sejatinya mengutamakan dimensi transendental, spiritual, mental, dan moral sebagai esensi agama, ketimbang material, kekuasaan, dan status sosial. Kenyataannya, agamawan bisa korupsi, bisa menyulut konflik, dan bisa arogan.

Mengingat pengalaman sentral agama begitu penting bagi banyak orang, agamawan memiliki status tinggi di masyarakat. Namun, sebagian agamawan bisa terjerumus motivasi pencarian dan pelestarian status. Perang pernyataan di mimbar-mimbar ibadah dan kebaktian, menyalahkan kalangan agamawan lain atau kelompok lain, bisa dimotivasi untuk menjaga status sosial di kalangan pengikutnya.

Kalangan agamawan juga bisa terjebak kepentingan mencapai kekuasaan, baik politik maupun nonpolitik, seperti kekuatan memengaruhi banyak orang. Kekuatan memengaruhi orang banyak bisa menjadi modal sosial kalangan agamawan ketika agama dipahami hanya untuk memperbanyak pengikut (show of force) ketimbang meningkatkan kualitas keberagamaan pengikut (internal conversion).

Mengharap imbalan

Kalangan agamawan juga bisa terjerembab pada keinginan memperkaya diri, keluarga, atau kelompok. Kaum agamawan mengharap imbalan dari fungsi, status, dan karisma di kalangan orang banyak karena memimpin ritual keagamaan, menafsirkan kitab suci agama, mengajarkan ilmu agama, dan seterusnya. Mereka merasa berhak menerima keuntungan material dari umat. Semakin besar status keagamaan mereka, semakin tinggi pula seharusnya imbalan mereka.

Keinginan dan kepentingan status, kekuasaan, serta keuntungan material itu amat mungkin terjadi di kalangan agama. Padahal, para pendiri agama-agama atau nabi-nabi amat peduli terhadap motivasi dan strategi misi-misi agama masing-masing. Motif-motif yang tulus dan sejatilah (genuine motives) yang ditekankan para perintis dan nabi.

Strategi misi agama-agama juga harus dikaji ulang. Pernyataan tanpa bukti, kecaman, makian, dan strategi kekerasan yang intimidatif, vandalistik, dan anarkis harus diganti dengan pendekatan yang mengutamakan hikmah, pengajaran yang santun, dan dialog yang paling baik, apalagi di tengah masyarakat yang amat majemuk secara agama, budaya, dan politik dan di negara hukum seperti Indonesia.

Betapa kalangan agamawan bisa menjadi sumber ketimbang penyelesai berbagai masalah umat dan bangsa. Agama jangan diiringi mentalitas kebencian dan dibela dengan kekerasan. Agama jangan dijadikan alat merusak dan menakutkan yang seharusnya membangun dan menyejukkan. Martabat agama harus dipelihara ketimbang mempertahankan status sosial, pengaruh, dan kepentingan material segelintir manusia yang berkata dan berbuat atas nama Tuhan.

Muhamad Ali
Pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Kandidat Doktor di University of Hawaii, Honolulu

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home