| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, June 08, 2006,12:30 PM

Penilaian Pendidikan

Doni Koesoema A

Banyak kalangan, seperti orang tua, intelektual, pendidik, anggota parlemen, dan masyarakat, mempertanyakan makna ujian nasional (UN). Alih-alih memecahkan persoalan peningkatan mutu pendidikan, ketika berhadapan dengan disparitas kultur akademis, ketersediaan tenaga guru, sarana dan prasarana pendidikan, dan sebagainya UN malah menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Karena itu, banyak yang mengusulkan UN dihapus.

Namun, yang dihadapi dunia pendidikan bukan persoalan sekadar "nasional" atau "lokal". Sistem penilaian yang dipraktikkan dalam dunia pendidikan, seperti ujian, evaluasi, pemeringkatan, pengisian rapor, dan lainnya, telah lama dipersoalkan keabsahan (validity) dan keandalannya (affidability) sebagai tolok ukur hasil suatu proses pendidikan. Jadi, modus operandi dalam menilai sebuah kinerja pendidikan itu sendirilah yang dipertanyakan.

Docimologi

Berbagai macam ketidakakuratan dan ketidaktepatan dalam menilai hasil pendidikan melahirkan studi khusus yang oleh H Piéron (1963) disebut docimologi (dari kata Yunani, dokimàzo, menilai, dan logòs, diskursus sistematis dan ilmiah). Docimologi merupakan studi kritis, mempelajari masalah seputar tata cara penilaian hasil-hasil suatu intervensi pendidikan.

Tata cara penilaian proses pendidikan biasanya dipengaruhi gambaran manusia macam apa yang menjadi titik pijaknya. Sayang, antropologi UN inilah yang biasanya luput dari bahasan anggota parlemen (politisi) dan birokrat pemerintah saat menghadapi polemik seputar UN.

Dalam kerangka menilai perkembangan peserta didik, misalnya, kian disadari, gambaran manusia mekanis yang diredusir pada kemampuan akademis tak mampu menjawab integritas manusia sebagai pribadi yang dikaruniai aneka macam fasilitas, pikiran, budi, kehendak, emosi, dan lainnya. Model kuantifikasi hasil pendidikan dalam jumlah nilai dianggap terlalu meredusir makna pendidikan dan gambaran tentang manusia yang melatarbelakanginya.

Karena itu, mulai dikembangkan suatu cara penilaian di mana akuisisi ilmu dipahami bukan dalam arti "banyaknya" jumlah gagasan serta pengetahuan yang dapat dipahami dan diterima peserta didik, tetapi sejauh mana pengetahuan itu mengubah sikap dan perilaku yang koheren dengan konsep sebuah sekolah yang mendidik. (JM Prellezo-L Calonghi,1997,1159)

Populisme murahan

Penilaian hasil pendidikan dalam lingkup nasional melalui UN dalam batas-batas tertentu masih bisa dipakai sejauh diterapkan dalam kerangka evaluasi dan perbaikan secara struktural, bukan dalam kerangka evaluasi kinerja individu. Karena itu, banyaknya kritik yang muncul terkait dengan "pemaksaan" pelaksanaan UN 2006 tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapus UN begitu saja. Para politisi yang membabi buta meminta UN dihapus tanpa memberi alternatif bisa jatuh pada sikap populisme murahan.

Sebaliknya, sikap pemerintah yang ngotot agar UN dijalankan tanpa memberi pertimbangan yang valid dan sah, tidak memberi tindak lanjut dalam kebijakan pendidikan post UN, serta tuli atas masukan bisa dicap sekadar bagi-bagi uang. Dana Rp 238 miliar untuk UN bukan jumlah sedikit.

Pendidikan merupakan sebuah intervensi sosial demi tujuan tertentu. Setiap keputusan intervensif di bidang pendidikan harus memerhatikan dan melihat dampak intervensi itu dalam konteks lebih fundamental. Membuat suatu program bagi intervensi pendidikan tetapi tidak mau mempertimbangkan dampaknya merupakan perilaku tidak bertanggung jawab.

Salah satu dampak UN yang paling eksistensial adalah digantikannya makna pribadi menjadi sekumpulan barang produksi yang dapat distandardisasi.

Hilangnya pribadi

UN yang dipakai sebagai tolok ukur kelulusan siswa merupakan program yang tidak menghargai keunikan pribadi. UN telah meredusir kekayaan pribadi menjadi sekadar barang produksi yang bisa distandardisasi. Dalam UN yang diutamakan adalah hasil akhir, bukan proses. Akibatnya, individu kehilangan nilainya sebagai pribadi yang unik dan tak tergantikan (person). Lewat UN, dimensi etis individu tidak diakui lagi.

Selain itu, proses penilaian UN tidak mengacu sekumpulan nilai (set of value), tetapi efektivitas dan efisiensi, yaitu sejauh mana seseorang menggunakan sumber-sumber pengetahuan yang tersedia baginya. Dengan adanya disparitas sumber-sumber pengetahuan yang ada, entah karena keterbatasan dana, sarana, tenaga guru, dan lainnya, UN yang berpretensi membuat "penyamaan" telah menjadi alat untuk menyebarkan ketidakadilan.

Karena pribadi itu unik dan tak tergantikan yang dianugerahi dengan banyak bakat, talenta, dan kreativitas, juga kebebasan dalam mengembangkan diri, penilaian kelulusan yang hanya mendasarkan pada standardisasi akademis merupakan pelecehan atas integritas harkat dan martabat manusia.

Kemampuan akademis memang merupakan batu pijakan (corner stone) bagi dunia pendidikan. Namun, pertumbuhan karakter adalah fondasi bagi hidup seseorang. Pendidikan semestinya memberi tolok ukur penilaiannya pada sikap pdan erilaku yang baik (good doing), bukan sekadar mencetak orang-orang sesuai spesifikasi kuantitatif yang dipaksakan.

Menerapkan kriteria ekonomi lewat efisiensi dan efektivitas bagi tolok ukur sebuah proses pendidikan membuat banyak hal yang bernilai dalam diri pribadi hilang, seperti kesadaran sebagai warga (citizenship), ketulusan dan kejujuran (honesty), rasa hormat, persahabatan, penghargaan atas perbedaan, jerih payah, kerja keras, ketekunan, dan lainnya.

Pribadi dengan kriteria inilah yang kini dibutuhkan agar masyarakat dapat hidup berdampingan dengan damai, tidak gampang berkelahi dan adu otot, tetapi mampu menghargai keragaman dalam kesatuan. Kebhinekaan yang ika inilah senyatanya kekayaan bangsa kita.

Doni Koesoema A
Mahasiswa Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home