| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Monday, June 12, 2006,1:31 PM

Malin Kundang

Toto Sugiarto

Rontoknya usulan penggunaan hak angket yang diajukan 60 anggota DPR untuk menyelidiki pelanggaran dalam penunjukan ExxonMobil Ltd sebagai pemimpin operator lapangan minyak Blok Cepu merupakan afirmasi telah lenyapnya kekuatan penyeimbang di negeri ini. Gedung wakil rakyat terlihat telah kembali menjadi tempat para tukang stempel.

Kondisi ini amat mengkhawatirkan. Kehidupan bernegara yang baru sewindu mengecap nikmatnya demokrasi harus terseret kembali ke bentuk kekuasaan yang hampir absolut. Demokrasi hanya tinggal prosedur yang kosong substansi. Tidak ada lagi kekuatan yang benar-benar mau dan mampu mengawasi segala keinginan dan hasrat penguasa.

Paternalistik

Anggota DPR terlihat hanya menjalankan apa yang diperintahkan pucuk pimpinan partai. Kondisi ini tentu membuat wakil rakyat menjadi hanya seperti alat. Wakil rakyat terlihat telah kehilangan roh kebebasannya.

Di sisi lain, jika isu bahwa setiap usulan hak angket hanyalah permainan untuk mendapatkan uang adalah benar, dapat dikatakan bahwa langkah para wakil rakyat hanya ditentukan oleh pimpinan partai dan uang.

Mental seperti ini tanpa disadari berakibat pada berjalannya sistem otoriter dalam setiap mekanisme partai politik. Demokrasi hanya ada dalam hubungan antarpartai politik. Dalam "ruang antara" ini, setiap partai berada pada posisi yang sama dan sederajat. Namun, jika sudah masuk ke dalam partai politik, mekanisme yang berjalan adalah otoritarianisme. Dengan ancaman kehilangan jabatan dan uang, elite partai menjadi hegemon bagi anggotanya. Kondisi ini kiranya dapat dimasukkan ke dalam kategori democracy derailed (demokrasi yang tergelincir).

Akibat mental paternalistik yang dominan dalam kehidupan partai politik, demokrasi menjadi keropos. Ibarat partai politik sebagai tulang dan "ruang antara" berbagai partai politik sebagai sendi, maka demokrasi saat ini hanya ada pada sendi. Sedangkan dalam tulangnya sendiri tidak berisi demokrasi. Akibat lanjutannya, demokrasi menjadi tertatih-tatih dan tidak mampu mengembangkan dirinya. Pendeknya, demokrasi di negeri ini mengalami kekeroposan.

Demokrasi yang keropos amat berbahaya bagi masa depan kehidupan bernegara. Demokrasi yang keropos akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang pucat terhadap spirit demokrasi itu sendiri. Pemimpin yang "bermuka pucat" tersebut mengerti teori-teori demokrasi, namun berhenti pada tataran ide bahwa dirinya mengerti. Dia tidak akan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi dalam setiap kebijakannya, termasuk pada saat melangkah untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pemimpin yang lahir dari demokrasi keropos ini paham bahwa untuk mempertahankan kekuasaan diperlukan cara-cara nondemokratis. Untuk tetap berkuasa, dia paham bahwa dirinya harus dekat dengan pemimpin partai yang akan mengusungnya di pemilu yang akan datang. Dia paham bahwa di dalam partai politik berlaku otoritarianisme dan oligarki. Dia juga paham bahwa dirinya harus menebar uang kepada setiap elemen penting partai. Keluar, dia akan berteriak demokrasi, namun ke dalam (partai politik) dia akan berbisik oligarki dan uang. Di sinilah, demokrasi akan tetap menjadi cangkang proseduralisme.

Substansi tertutup

Hubungan rakyat dengan wakilnya di DPR yang terputus menjadi seperti apa yang dikatakan Leibnitz sebagai monade, substansi yang sepenuhnya tertutup bagi dunia luar. DPR menjadi seperti gedung tak berpintu dan tak berjendela. Segala aspi- rasi rakyat tidak bisa disampaikan. Rakyat hanya bisa berkerumun di depan gedung tertutup dan berpagar tinggi itu, hanya bisa berteriak-teriak, sia-sia.

Anggota DPR yang terlahir dari rakyat tidak lagi peduli terhadap yang melahirkannya. Rakyat yang merupakan ibu kandungnya, yang antara lain sedang menghadapi masalah akan kehilangan sumber daya alam Blok Cepu, tidak lagi dipedulikan.

Melihat berbagai tindakan anggota DPR yang semakin memprihatinkan ini, saya jadi teringat cerita Malin Kundang. Semoga hati nurani dan daya pikir para anggota DPR yang terhormat ini, tidak "membatu". Sebab, jika hati nurani dan daya pikir mereka "membatu", "membatu" pulalah demokrasi di negeri ini.

Toto Sugiarto Peneliti pada Soegeng Sarjadi Syndicate

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home