| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, June 29, 2006,2:37 PM

Republik (Penuh) Bencana

Aloys Budi Purnomo

TAK henti-hentinya republik ini tertimpa bencana. Tsunami di Aceh dan Nias. Gempa tektonik di Yogyakarta dan Jawa Tengah, lalu banjir di Sulawesi Selatan, Gorontalo, Kalimantan, yang menewaskan ratusan orang.

Di Sidoarjo, rakyat harus mengungsi dan gerak ekonomi merugi karena "kebanjiran" lumpur panas. Bencana apa lagi yang bakal terjadi?

Seruan hampa

Atas bencana bertubi-tubi menimpa republik ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak seluruh rakyat melihat dan memahaminya dengan kacamata ilmu pengetahuan (Kompas Cyber Media, 21/6/2006). Maaf, ajakan ini tampaknya ilmiah, tetapi terasa hampa di tengah republik yang penuh bencana.

Apalagi jika seruan itu ditujukan kepada "seluruh rakyat" yang notabene pasti tidak semua memiliki latar belakang keilmuan tentang bencana. Jangankan rakyat, para pakar di bidangnya pun (bisa jadi) kedodoran dalam membaca dan memahami bencana yang terjadi.

Benar, bencana tertentu (gempa tektonik dan tsunami) tidak dapat dicegah, datang bak musibah. Bahkan, ilmu pengetahuan mana pun belum mampu mendeteksi kapan gempa bakal terjadi. Tidak seorang pun tahu! Ia datang bagai pencuri. Merenggut nyawa dan harta!

Kita setuju, bencana tertentu tidak dapat dicegah! Tetapi, bukan tugas rakyat untuk mencermati dan memahami bencana alam dengan kacamata ilmu pengetahuan! Kalaupun ditinjau dari sisi ilmu pengetahuan, akan tampak, berbagai jenis bencana alam terjadi karena faktor kesalahan manusia yang terlalu serakah mengeksploitasi alam untuk kepentingan sendiri.

Alih-alih mengajak seluruh rakyat melihat dan memahami bencana dengan ilmu pengetahuan, mestinya Presiden tegas menggunakan wibawa kepemimpinannya untuk mendorong semua pihak yang bertanggung jawab agar menangani akibat bencana secara bijaksana.

Presiden perlu memberi rambu-rambu untuk menindak tegas mereka yang mengorupsi uang bencana. Berikan rasa aman di tengah kekalutan. Kerahkan kekuatan TNI dan Polri untuk "perang" melawan bencana dan merehabilitasi korban. Secepatnya, wujudkan janji-janji untuk membangun kembali rumah penduduk yang luluh lantak akibat bencana. Apa susahnya, bagi seorang presiden untuk memerintahkan semua itu secara tegas?

Kerakusan manusia

Dalam seruan yang sama, presiden juga mengemukakan, bencana alam, apa pun penyebabnya adalah kehendak Allah SWT. Pernyataan ini perlu dicermati. Semua agama tidak pernah mengajarkan, Allah begitu sadis, apalagi menghendaki bencana alam terjadi bagi umat-Nya.

Dari sisi iman, Allah tidak pernah menghendaki umat-Nya tertimpa bencana. Justru karena itulah, maka ia disebut bencana, bukan penyelenggaraan Tuhan. Apalagi kehendak Allah! Kehendak Allah adalah keutuhan ciptaan, kesejahteraan, keadilan, kasih dan perdamaian.

Secara jujur harus diakui, begitu banyak jenis bencana di republik ini yang mestinya tidak perlu terjadi, kalau saja, elite politik dan penguasa serta oknum pelaku bisnis memiliki nurani.

Kelaparan, busung lapar, banjir, tanah longsor, semburan lumpur panas, dan kekerasan komunal dalam arti tertentu merupakan bencana yang tidak perlu terjadi di republik ini. Bahwa bencana jenis itu masih terjadi, itu adalah kesalahan manusia.

Banjir yang selalu terjadi di republik ini jelas akibat ulah manusia yang rakus dan serakah yang menyebabkan kerusakan hutan, penyebab banjir.

Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sebagaimana dikutip dari World Resource Intitute, luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan amat mencemaskan. Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Pada periode 1985-1997, laju kerusakan hutan tercatat 1,6 juta hektar per tahun. Pada periode 1997-2000 meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun.

Inilah yang membuat sebagian besar kawasan Indonesia menjadi daerah rentan terhadap bencana. Sejak 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat 647 kejadian bencana di Indonesia; 85 persen dari bencana itu merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan. Semua itu pasti bukan kehendak Allah, tetapi akibat kerakusan manusia yang membabat hutan tanpa berpikir panjang akan masa depan alam di Tanah Air kita.

Dalam Centesimus Annus, (1991) mendiang Paus Yohanes Paulus II menegaskan di balik perusakan alam yang bertentangan dengan akal sehat, ada kesesatan antropologis yang sudah tersebar luas. Hal ini membangkitkan pemberontakan alam, yang tidak diaturnya, tetapi diperlakukan manusia secara sewenang-wenang.

Ketidakadilan sosial dan ekologis dan keserakahan manusia telah merusak alam dan lingkungan yang nanti akan menghancurkan kehidupan manusia.

Karena itu, demi masa depan bangsa ini, kini tidak ada jalan lain selain kembali bersahabat dengan alam. Menumbuhkan kecintaan ekologis bagi anak-anak merupakan kebutuhan mendesak yang harus segera dirintis dan diwujudkan! Hanya dengan cara itulah, secara alamiah kita mencegah bencana demi bencana.

Aloys Budi Purnomo Rohaniwan;
Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan, Semarang

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home