| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, June 28, 2006,7:06 PM

Generasi Tanpa Visi dan Komitmen

Komaruddin Hidayat

Ada yang lebih penting dari kontroversi ujian nasional, yaitu bagaimana mendidik anak-anak agar memiliki etos belajar dan kerja keras. Ada kekhawatiran yang cukup beralasan, anak-anak kita tumbuh dalam lingkungan sekolah dan sosial yang semrawut sehingga mereka tidak memiliki visi kebangsaan dan tidak memiliki komitmen kemanusiaan serta etos keilmuan yang kuat.

Beberapa bulan lalu saya berkunjung ke beberapa sekolah di Vietnam dan Turki, dua negara yang rasanya tidak begitu jauh kondisinya ketimbang Indonesia. Setelah berbincang-bincang dengan beberapa murid dan guru, ada kesan yang mengentakkan kesadaran saya mengenai bagaimana mereka memandang masa depan.

"Apakah Anda bangga dengan Vietnam?" "Tentu, kami bangga dengan orangtua kami dan bangsa kami. Kami sanggup mengalahkan tentara Amerika," jawab beberapa murid di sebuah SMA di kota Ho Chi Min.

"Setelah tamat SMA, ke mana mau meneruskan sekolah?" "Kalau bisa, kami mau ke Amerika, sekolah sambil bekerja di sana," tegasnya.

"Bukankah dulu Amerika pernah menyerang Vietnam dan membunuh orangtuamu?" "Itu telah menjadi sejarah masa lalu. Orangtua dan guru kami mengajarkan untuk menatap masa depan. Kami mesti belajar dan bekerja keras dan melupakan masa lalu," jawab murid dan beberapa karyawan sekolah yang saya temui.

Ketika berkunjung ke beberapa sekolah di Turki, jawaban serupa juga muncul. "Apa yang Anda pikirkan tentang Turki dan masa depanmu sendiri?"

Beberapa guru yang umumnya muda belia menjawab, "Kami harus belajar serius dan harus siap berkompetisi dengan negara lain, khususnya Eropa. Kalau tidak, kami tidak akan memiliki masa depan. Bangsa kami tidak akan dihargai. Dulu kami pernah ditakuti dunia. Kini, kami mesti bangkit dengan memajukan ilmu pengetahuan dan ekonomi."

Etos serupa juga akan mudah dijumpai pada siswa-siswa di Jepang dan Korea Selatan. Bahwa, sejak dini mereka sudah memiliki visi global dan tekad serta kesiapan mental untuk belajar dan bekerja keras agar bisa ikut berkompetisi di bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi dalam percaturan global.

Selain karena faktor geografis dan kulturnya, sudah tentu pendidikan yang diterima ikut membentuk karakter mereka dalam menyikapi kecenderungan globalisasi ilmu pengetahuan dan ekonomi yang sarat dengan persaingan.

Terninabobokan

Anak-anak kita sudah lama terninabobokan oleh berbagai slogan dan mitos yang menipu, misalnya Indonesia sebagai negara yang kaya raya, masyarakatnya hidup gemah ripah loh jinawi, religius, rukun, gotong royong, ramah tamah, tepo seliro, tanahnya subur, dan sekian slogan lain yang ternyata tidak ditemui oleh anak-anak dalam kehidupan nyata. Yang terjadi justru sebaliknya.

Dunia pendidikan karut-marut, kompetensi lulusan sekolah tidak jelas standarnya, ujian selalu bocor demi mengejar nilai, dan ketika mencari pekerjaan pun penuh dengan suap dan kolusi.

Mengingat proses pendidikan sampai mencari kerja yang dari hulu sampai hilir dipenuhi tindakan koruptif dan kolutif, amat bisa dimengerti mengapa bangsa ini habis energi, tetapi tak juga keluar dari keterpurukan.

Pendidikan kita telah gagal untuk melahirkan generasi yang memiliki visi dan komitmen. Di antara mereka tentu ada anak-anak cerdas dan bermoral tinggi. Namun, jangan-jangan hanya minoritas jumlahnya.

Baru-baru ini ada survei yang cukup mengagetkan. Ternyata banyak anak kita yang sudah amat akrab dengan situs-situs porno yang diakses lewat internet, telepon seluler, dan VCD yang dijual bebas. Belum lagi yang namanya school bullying atau semacam premanisme.

Sebagai pendidik dan orangtua, saya amat sedih membayangkan jika bangsa ini dikendalikan oleh mereka yang tidak memiliki visi kebangsaan dan globalisme serta tidak memiliki komitmen moral serta tidak memiliki kompetensi keilmuan.

Ketika aktif sebagai Ketua Panitia Pengawas Pemilu, saya terkejut melihat data pendidikan sebagian calon anggota DPR yang hanya memegang ijazah kesetaraan paket C, bahkan ada yang palsu. Apa yang akan terjadi dengan masa depan bangsa dan negara jika para elite politisi tidak memiliki kompetensi keilmuan dan keahlian yang diperlukan dalam tugasnya?

Mutlak perlu

Ujian sekolah itu mutlak diperlukan karena bisa mendorong para siswa belajar lebih serius dan juga berguna untuk mengukur keberhasilan proses belajar. Apakah ujian nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa ataukah digabung dengan ujian akhir sekolah, sah-sah saja diperdebatkan.

Namun, yang kurang diperhatikan adalah bagaimana membentuk kultur sekolah (school culture) yang memiliki komitmen untuk memelihara nilai-nilai unggul (living values) yang menjadi spirit, acuan, dan iklim kehidupan bagi guru, murid, maupun karyawan sekolah. Sebuah komunitas sekolah seharusnya merupakan learning society yang setia menjaga dan menghidupkan nilai-nilai unggul dalam kehidupan sehari-hari, sehingga sekolah merupakan lembaga katalisator yang mampu memfasilitasi siswa menemukan dan mengembangkan bakat dan minatnya dengan disertasi nilai-nilai moral yang luhur.

Kini, kesan yang mengemuka tentang sekolah bagai pusat kursus tanpa standar kompetensi dan moral yang jelas sehingga ketika memasuki perguruan tinggi pun tidak menunjukkan keterampilan belajar (learning skill) serta komitmen moral yang jelas untuk membangun masa depan mereka sendiri.

Padahal, usia anak-anak SMP dan SMA merupakan tahapan formative years yang amat berpengaruh dalam menjalani hidup berikutnya. Pada usia inilah pembentukan karakter seharusnya memperoleh perhatian serius, antara lain militansi cinta ilmu, komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan, serta tertantang untuk hidup mandiri.

Merebaknya kecurangan dalam ujian, kecenderungan menitipkan harga diri pada ijazah, titel, dan nebeng pada prestasi orangtua, semua ini menunjukkan terjadinya krisis kepribadian pada anak-anak kita. Hal ini juga mengindikasikan gagalnya pendidikan kita dalam arti luas, baik dalam lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Jika kondisi ini tidak memperoleh perhatian dan perbaikan serius, segera, dan mendasar, kita semua layak pesimistis melihat nasib Indonesia di masa depan karena baik yang memimpin maupun yang dipimpin sama-sama tidak memiliki kompetensi dan integritas untuk memajukan bangsa.

Semasa Orde Baru, masyarakat telanjur dimanjakan dengan gaya hidup konsumtif dan tidak memiliki etos kerja keras. Kini tiba-tiba kita semua kelimpungan ketika tersadar, semua kemewahan itu dibiayai dengan utang luar negeri dan hasil eksploitasi kekayaan alam. Ketika situasi politik, ekonomi, dan bencana alam mengajak kita harus hidup prihatin dan bersiap menghadapi tantangan persaingan global, pemerintah dan masyarakat kebingungan. Kedaulatan dan kebanggaan sebagai warga Indonesia rapuh.

Prediksi ke depan akan semakin suram jika anak-anak kita tidak memperoleh pendidikan yang bermutu, baik dalam hal ilmu pengetahuan, keterampilan, pembentukan karakter, maupun wawasan kebangsaan serta kemanusiaan.

Ketika dunia merayakan pesta sepak bola sebagai simbol identitas dan kebanggaan serta persahabatan antarnegara, kita tengah galau menghadapi sekian banyak musibah alam dan kontroversi ujian nasional, padahal standar kelulusan yang diterapkan hanya minimal.

Komaruddin Hidayat
Pembina Sekolah Madania/ Anggota BSNP

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home