| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, June 29, 2006,2:36 PM

Bahaya Liberalisasi Keuangan

Revrisond Baswir

Liberalisasi keuangan adalah bagian integral dari liberalisasi ekonomi. Secara khusus, tujuan liberalisasi keuangan adalah untuk meningkatkan peranan pasar dan untuk mengurangi peranan negara dalam penyelenggaraan jasa-jasa keuangan. Sebagaimana dikemukakan McKinnon (1973), tujuan liberalisasi keuangan adalah untuk membebaskan penyelenggaraan jasa-jasa keuangan dari 'represi keuangan.'

Secara terinci, liberalisasi keuangan mencakup enam aspek sebagai berikut. Pertama, deregulasi tingkat suku bunga. Kedua, peniadaan pengendalian kredit. Ketiga, privatisasi bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan milik negara. Keempat, peniadaan hambatan bagi bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan swasta, termasuk asing, untuk memasuki pasar keuangan domestik. Kelima, pengenalan alat-alat pengendalian moneter yang berbasis pasar. Dan keenam, liberalisasi neraca modal (Singh, 2000).

Berdasarkan ke enam aspek tersebut, dapat disaksikan betapa luasnya cakupan yang terkandung dalam liberalisasi keuangan. Artinya, jika dilihat berdasarkan keempat agenda Konsensus Washington, liberalisasi keuangan tidak hanya mencakup kebijakan anggaran ketat dan penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, dan liberalisasi perdagangan. Ia mencakup pula pelaksanaan privatisasi BUMN.

Peniadaan pengendalian kredit, misalnya, berkaitan secara langsung dengan peniadaan kredit bersubsidi bagi kredit sektor pertanian dan atau usaha kecil menengah (UKM). Privatisasi bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan milik negara jelas berkaitan dengan pelaksanaan privatisasi BUMN. Sedangkan peniadaan hambatan bagi bank asing untuk memasuki pasar keuangan domestik, secara tidak langsung berkaitan dengan liberalisasi perdagangan.

Dengan tujuan dan cakupan yang sangat luas tersebut, munculnya bahaya yang sangat besar di balik pelaksanaan liberalisasi keuangan sulit dihindarkan. Walau diskusi mengenai bahaya liberalisasi keuangan ini belakangan cenderung disederhanakan dengan memunculkan masalah pentahapan dalam pelaksanaan liberalisasi, terkandungnya bahaya sistemik di balik pelaksanaan liberalisasi keuangan bagi negara-negara sedang berkembang tidak dapat diabaikan.

Secara singkat, bahaya liberalisasi keuangan bagi negara-negara sedang berkembang dapat ditelusuri pada tiga hal sebagai berikut. Pertama, liberalisasi keuangan cenderung memicu meningkatnya instabilitas keuangan di negara-negara sedang berkembang. Bahkan, sebagaimana dialami oleh negara-negara Asia Selatan dan Tenggara pada saat terjadinya krisis moneter 1997/1998, liberalisasi keuangan dapat bermuara pada terjadinya krisis ekonomi, sosial, dan politik secara bersamaan.

Hal itu erat kaitannya dengan terjadinya perceraian (decoupling) dan semakin dominannya kegiatan ekonomi di sektor keuangan daripada di sektor riil. Perceraian dan dominasi kegiatan ekonomi di sektor keuangan jelas sangat erat kaitannya dengan maraknya transaksi-transaksi keuangan yang bersifat spekulatif di sektor ini. Dengan demikian, bagi negara-negara sedang berkembang, liberalisasi keuangan harus diwaspadai sebagai prakondisi bagi terjerumusnya perekonomian mereka ke dalam perangkap transaksi-transaksi keuangan spekulatif yang memicu instabilitas tersebut.

Kedua, liberalisasi keuangan cenderung menyebabkan semakin menganganya kesenjangan ekonomi antar sektor, antar wilayah, dan antar golongan pendapatan di negara-negara sedang berkembang. Ini erat kaitannya dengan logika 'uang mengikuti bisnis' yang menjadi logika dasar sektor keuangan. Artinya, liberalisasi keuangan cenderung mendorong meningkatnya peredaran uang di tempat-tempat di mana uang dapat dengan mudah dilipatgandakan. Ketiga, sejalan dengan bahaya yang kedua itu, liberalisasi keuangan cenderung menyebabkan semakin merosotnya kemampuan negara dalam memelihara integritas dan kedaulatan bangsa. Di satu sisi, instabilitas keuangan dan kesenjangan ekonomi jelas merupakan ancaman serius bagi suatu bangsa untuk mempertahankan integritas dan kedaulatannya.

Di sisi lain, keterbatasan dan ketidakberdayaan negara dalam mengendalikan keadaan, tidak hanya cenderung mendorong munculnya kebutuhan permanen untuk melayani para pelaku pasar uang. Sebaliknya, ia cenderung menjadi pemicu semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap negara.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home