| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Thursday, June 29, 2006,2:34 PM

Menimbang 'Bonus' Haircut

Jult M Lumban Gaol
Auditor Ahli Madia BPKP

Bank-bank milik negara saat ini sedang dipusingkan tumpukan non performing loan (NPL). Pada Bank BNI, misalnya, hasil audit yang baru-baru ini dipublikasikan dalam situs BPK, menunjukkan banyak kredit kelas kakap yang macet walaupun sebelumnya direstrukturisasi --bahkan dengan cara yang mirip praktik plafondering. Begitu juga pada bank-bank BUMN lainnya.

Menurut data BI, jumlah kredit ekstrakomptabel tahun 2005 mencapai Rp 84,8 triliun atau 65,5 persen dari total kredit macet perbankan nasional senilai Rp 129,5 triliun. Pada Bank Mandiri saja mencapai Rp 22,6 triliun atau atau hampir sama dengan jumlah shareholder's equity-nya tahun 2005, yang berdasarkan data situs bank itu hanya Rp 23,4 triliun.

Untuk mengatasi masalah besar itu, seperti diberitakan media massa (Republika dan Trust), kalangan bank BUMN mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 14/2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Diharapkan PP yang lebih fleksibel tetapi memberi kewenangan lebih besar kepada direksi bank BUMN untuk memberi pengurangan kewajiban (haircut).

Janggal
Di tengah gencarnya usaha pemerintah memerangi korupsi, usulan revisi atas PP No 14 yang baru dibuat tahun 2005 itu agak janggal. Soalnya, berdasarkan UU No 49 Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, kekayaan dalam bentuk piutang BUMN adalah kekayaan negara. Piutang BUMN juga adalah piutang negara. Karena itu, penyelesaian kredit macet pada bank-bank BUMN (seharusnya) tunduk pada ketentuan dalam PP No 14/2005.

Misalnya, penghapusan secara bersyarat (termasuk write off) yang bernilai di atas sepuluh hingga seratus miliar rupiah adalah kewenangan presiden. Bahkan yang bernilai di atas seratus miliar harus dengan persetujuan DPR. Begitu juga pelelangan agunan kredit dengan recovery rate di bawah 100 persen --jika aparat penegak hukum cukup jeli-- tidak tertutup kemungkinan merupakan indikasi korupsi sesuai dengan ketentuan dalam UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kenyataannya memang banyak piutang bank BUMN yang bernilai di atas Rp 10 Miliar yang di-write off bukan atas penetapan presiden, melainkan diputus sendiri oleh pihak bank. Begitu juga hasil lelang agunan dengan recovery rate di bawah 100 persen bahkan konon hanya sekitar 25 persen, yang berarti merugikan keuangan negara (indikator utama korupsi), tetapi debitur atau penanggung utang tidak diadili dengan dugaan korupsi. Praktik yang hanya merujuk pada UU Perbankan seperti ini tidak akan berlangsung aman dari incaran penyidik dalam waktu lama. Karena itukah perlu revisi aturan?

Jika latar belakang keinginan revisi adalah untuk mempertegas ketundukan bank BUMN pada PP No 14/2005 dan untuk mengeliminasi cara 'kucing-kucingan' dalam penyelesaian kredit macet, agaknya tidak ada yang perlu dipertanyakan. Namun, masalahnya, jika tujuan revisi adalah untuk mengakomodasi opsi haircut untuk debitur penunggak kredit, maka usulan revisi patut dipertanyakan.

Tidak mencerminkan rasa adil bila negara malah memberi bonus (haircut) kepada para debitur 'nakal' yang gagal melaksanakan kewajiban kontraktualnya kepada bank milik negara. Seberapa hebat peranan konstruktif (kalau bukan destruktif) penunggak kredit dalam pembangunan nasional sehingga harus dibujuk-bujuk untuk membayar utangnya dengan mempertaruhkan uang negara puluhan triliunan rupiah?

Secara kebetulan pula, keinginan revisi itu bersamaan waktunya dengan gerakan pemberantasan korupsi yang mulai menunjukkan 'taringnya' hingga ke bank-bank milik negara. Sehingga ada kesan, seolah-olah di balik keinginan revisi itu ada upaya menghindar dari jerat hukum karena sekarang, penyidik (jaksa, polisi, atau KPK) tidak lagi berkecenderungan memandang kasus kredit macet hanya dari sisi hukum privat.

Selain itu ada pertanyaan lain. Seperti disinggung di atas, non performing loan pada bank-bank BUMN tahun 2005 ada sejumlah Rp 84,8 triliun. Jika misalnya diberi haircut 50 persen atau Rp 42,4 triliun, untuk kepentingan siapakah itu? Mungkinkah ada pertimbangan ekonomi atau politik yang tidak dapat didiskusikan karena merupakan 'rahasia negara'?

Window dressing
Masalahnya, ketika kepengurusan bank-bank BUMN dibersihkan dari oknum-oknum yang dipandang harus diganti bahkan diadili, mengapa kini malah muncul ide melonggarkan sistem pengawasan perbankan dengan usulan yang sangat sensitif praktik KKN? Seolah-olah pemolesan kinerja bank (window dressing) lebih penting dari upaya pencegahan korupsi?

Kebijakan pemberian haircut memang dapat mempercepat proses window dressing sekadar mengesankan bahwa pada bank bersangkutan hanya ada performing loan dan ini memang dapat menambah kredibilitas bank. Pemberian haircut bukan pula hal yang baru di Indonesia, karena dengan nama lain telah banyak diberikan BPPN. Bahkan secara tidak langsung dilakukan pula lewat mekanisme lelang PUPN walaupun terbatas pada pelelangan 'sampah' agunan bank milik negara.

Namun, jika peluang pemberian haircut dilegalkan dan dimasukkan ke dalam sistem dengan mengadopsi opsi haircut dalam peraturan resmi, dan itu ada di sebuah negeri yang telanjur menyandang predikat negeri terkorup di dunia, rasanya ide itu perlu dipikir ulang dan dikritisi lebih jernih. Selain rawan praktik KKN dan moral hazard, juga mengandung aspek gambling (ditelikung debitur).

Pengelola kredit yang benar, yang independen (karena tidak punya vested interest), dan yang tidak terikat moral hazard, pastilah mengetahui persis kemampuan keuangan debitur sehingga pada dasarnya tidak perlu membujuk-bujuk debitur untuk menunaikan kewajibannya dengan umpan haircut. Di luar itu, tentulah wanprestasi yang dilakukan debitur tidak tertutup pula kemungkinan bersama-sama dengan pejabat bank. Kalaupun debitur harus melarikan diri dari Indonesia karena memang beriktikad tidak baik, maka itu bukan urusan pengelola kredit lagi. Serahkan saja kepada penegak hukum.

Berbeda masalahnya jika pengelola kredit pada bank telah kehilangan wibawa karena terlalu 'mesra' dengan debitur. Bagi oknum seperti ini, kebijakan haircut hanya akan menambah ruang gerak KKN dan menyuburkan frauds dalam pengelolaan kredit. Dunia usaha di Indonesia masih sangat luas dan terbuka untuk menampung kucuran kredit dari bank-bank milik negara, tetapi sudah terlalu penuh sesak jika harus menampung ide-ide kolusif-diskriminatif dalam pengelolaan kredit bank.

Namun okelah. Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan Menteri BUMN tentulah menyadari tingginya risiko KKN dalam pengelolaan kredit. Mungkin saja ada pertimbangan lain yang lebih strategis memajukan pembangunan ekonomi dan mengefektifkan pemberantasan korupsi. Dan karena itu pula, misalnya, para menteri dan Gubernur BI kelak harus ''memaklumi'' keinginan pengelola bank-bank milik negara untuk mengabulkan revisi PP No 14/2005 dengan membuka peluang bagi direksi bank BUMN memberi hadiah (haircut) kepada penunggak kredit.

Tapi, ide itu sebaiknya diwacanakan dululah. Sekurang-kurangnya dikonsultasikan dulu secara mendalam kepada pihak BPK dan KPK dalam rangka perumusan mekanisme investigasi atau spesial audit mendalam kepada pengelola kredit bank BUMN dan kepada debitur penunggak kredit yang akan diberi hadiah (haircut) atas 'prestasi'-nya kooperatif menyelesaikan masalahnya sendiri.

Misalnya, haircut boleh dipertimbangkan setelah terlebih dahulu dilakukan audit investigatif yang mendalam terhadap debitur dan pengelola kredit bank. Itu untuk meyakinkan bahwa akar masalah kredit macet bukan praktik korupsi, bukan dampak frauds, dan bukan pula tekanan moral hazard. Dengan lain perkataan, haircut (misalnya: satu hingga lima persen) dapat dipertimbangkan jika kredit macet bukan buah dari pohon korupsi.

Namun inipun, penulis ragu-ragu, terutama setelah membaca laporan BPK atas pengelolaan kredit pada Bank BNI. Karena itu, penulis tetap berpendapat bahwa revisi peraturan untuk melegalkan opsi haircut hanyalah kebijakan mundur memperluas wilayah praktik korupsi pada bank-bank milik negara. Semoga penulis salah.

Ikhtisar:

- Kalangan bank BUMN mengusulkan revisi PP No 14/2005 agar PP lebih fleksibel dan memberi kewenangan lebih besar kepada direksi bank BUMN memberi pengurangan kewajiban (haircut).

- Di tengah gencarnya usaha pemerintah memerangi korupsi, usulan revisi atas PP itu agak janggal.

- Jika tujuan revisi sekadar untuk mengakomodasi opsi haircut untuk debitur penunggak kredit, usulan revisi patut dipertanyakan. Lain halnya jika untuk mengeliminasi praktik kucing-kucingan.

- Ide itu sebaiknya diwacanakan dulu dan dikonsultasikan dengan BPK dan KPK.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home