| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, June 28, 2006,7:14 PM

Hubungan Militer Indonesia-AS

A Malik Haramain

Beberapa pekan lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta normalisasi hubungan militer Indonesia-Amerika Serikat yang sudah berjalan penuh dapat berlangsung permanen (Kompas, 7/6/2006). Harapan itu disampaikan Presiden saat menerima kunjungan Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld.

Harapan ini bisa dipahami mengingat, pertama, hubungan kerja sama bidang pertahanan kedua negara memang dinamis. Kecenderungan ini bisa dilihat dari pengalaman, saat Presiden Soekarno menyatakan perang dengan Belanda untuk pembebasan Irian Barat, AS tidak memenuhi permintaan RI. Penolakan ini disebabkan sikap politik AS lebih berpihak ke Belanda sebagai bagian dari NATO.

Tahun 1970 sampai 1980-an peralatan persenjataan AS mulai masuk Indonesia. Namun, karena kerusuhan Dili, November 1991, AS mengeluarkan kebijakan menghentikan pasokan alat pertahanan ke Indonesia. Kebijakan ini diperkuat kebijakan embargo militer Pemerintah AS terhadap Indonesia pascajajak pendapat di Timor Timur tahun 1999.

Pada tahun 2001, meski embargo militer AS belum dicabut, hubungan militer Indonesia-AS sempat membaik. Ini terlihat dari komitmen George W Bush mengeluarkan dana segar 400 juta dollar AS untuk mendukung pendidikan masyarakat sipil Indonesia di bidang pertahanan melalui kegiatan perluasan pelatihan dan pendidikan militer internasional (expanded international military education and training).

Kedua, AS perlahan-lahan mendominasi pasokan alutsista ke Indonesia. Memang, pascakemerdekaan, Indonesia lebih banyak memakai peralatan dari Belanda, lalu Frigat dari Rusia mulai masuk. Memasuki 1970-an, alutsista dari AS masuk dan mendominasi peralatan persenjataan RI. Meski Perancis, Korea Selatan, Australia, dan Belanda tetap menjadi langganan. Pasokan AS terlihat dari F-5E/F Tiger II dan Bronco. Dominasi Paman Sam terus berlanjut dengan masuknya F-16 Fighting Falcon akhir 1989.

Ketiga, kerja sama peralatan persenjataan dalam faktanya lebih banyak ditentukan dinamika hubungan politik luar negeri suatu negara, termasuk antara Indonesia dan AS. Masuknya peralatan Rusia pada 1960-an banyak dipengaruhi sikap politik Presiden Soekarno yang cenderung konfrontatif dengan AS dan lebih dekat ke Rusia dan China.

Ketika AS menutup akses alutsista ke Indonesia tahun 1990-an, Indonesia mendatangkan pesawat Sukhoi MK-30 dan helikopter M1-17 dari Rusia. Bahkan, Indonesia mendapat kemudahan dari Pemerintah Rusia dengan tidak membeli pesawat satu skuadron (seharusnya pembelian pesawat minimal satu skuadron).

RI-Singapura

Hubungan militer Singapura- Indonesia hari ini juga mengalami masalah. Komisi I DPR meminta pemerintah menghentikan sementara Military Cooperation Agreement. Desakan ini sebagai reaksi atas sikap Singapura yang menghambat (buying time) pembahasan perjanjian ekstradisi untuk penanganan korupsi. Sikap parlemen ini juga dilandasi kekecewaan perilaku Singapura terhadap Pulau Nipah.

Upaya melakukan perubahan kerja sama militer dengan AS merupakan langkah strategis. Pascaberakhirnya Perang Dingin, AS menjadi kekuatan militer utama yang belum tertandingi. Namun, upaya normalisasi itu tetap harus disikapi dengan kritis mengingat, pertama, hubungan militer dengan AS tidak boleh mengganggu independensi sikap politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Sudah bukan rahasia lagi, hubungan AS dengan negara lain penuh kepentingan dan konsesi.

Saat ini AS sedang menggalang aliansi dengan sejumlah negara dalam memerangi terorisme. Perubahan sikap politik AS terhadap Indonesia juga amat dipengaruhi agenda itu. Karena itu, meski Indonesia juga berkomitmen memerangi terorisme, agenda ini tidak harus (hanya) menuruti kemauan AS dan aliansinya. Ketidakpuasan Pemerintah Australia terhadap dibebaskannya Abu Bakar Ba’asyir adalah contoh intervensi negara lain terhadap pemberantasan terorisme di dalam negeri.

Kedua, dalam pasokan alutsista, sudah saatnya Indonesia tidak tergantung pada satu negara, termasuk hanya pada AS. Ini penting sebagai upaya penguatan sikap politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Selain itu, secara pragmatis harga alutsista dari negara lain seperti Korea, Rusia, dan China lebih murah ketimbang AS, Inggris, dan Perancis.

Ketiga, kerja sama pengadaan alutsista TNI juga harus disesuaikan dengan anggaran pertahanan. Meski AS telah mencabut embargo militer terhadap Indonesia, tetapi belum didukung anggaran pertahanan yang kuat. Anggaran pertahanan kita 70 persen lebih untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran non-alutsista. Pencabutan embargo militer AS juga belum ditindaklanjuti dengan penerbitan export license sehingga tetap menghambat pembelian alutsista.

Sebagai konsekuensi dari keterbatasan anggaran pertahanan, Departemen Pertahanan mengeluarkan kebijakan minimum essential force. Kebijakan ini berorientasi pada penentuan skala prioritas pengadaan alutsista tanpa memengaruhi kekuatan pertahanan secara signifikan. Anggaran kita belum mampu memenuhi kebutuhan pertahanan di daerah perbatasan. Pembangunan 11 batalyon di perbatasan dan rawan konflik baru mencapai 44,7 persen.

Keempat, ketergantungan alutsista pada negara lain harus dikurangi dan lebih mengandalkan industri persenjataan strategis dalam negeri. Pemerintah harus berani mengambil kebijakan (proteksi) bagi pengembangan industri strategis dalam negeri seperti PT PAL, PT Dahana, PT Pindad, dan PT Dirgantara Indonesia. China telah menawarkan kerja sama, tetapi hingga kini belum terwujud. Karena itu, transfer teknologi menjadi keniscayaan.

Normalisasi hubungan dan kerja sama militer dengan AS tetap perlu, tetapi yang lebih penting adalah menentukan prioritas program pengadaan alutsista, memenuhi kebutuhan di daerah perbatasan, dan meningkatkan anggaran pertahanan.

A Malik Haramain
Staf Ahli Komisi I DPR

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home