| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Wednesday, June 28, 2006,7:04 PM

Bahaya Sekularisasi Pancasila

Bustanuddin Agus
Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Andalas Padang

Dalam tulisannya di Republika, Rabu (14/6), Bapak KH Ma'ruf Amin, ketua MUI Pusat, mengungkap Maklumat Keindonesiaan yang digagas dalam simposium nasional bertema ''Restorasi Pancasila'' di Fisip UI pada 30-31 Mei 2006 yang dibacakan oleh Todung Mulya Lubis. Maklumat itu menegaskan Pancasila bukanlah agama dan tak satu agama pun berhak memonopoli kehidupan yang dibangun berdasarkan Pancasila.

Maklumat menegaskan keluhuran sosialisme dan keberhasilan material yang diraih kapitalisme. Maklumat ini juga mengungkap kemauan sebagian tokoh bangsa ini untuk menarik Pancasila ke arah sekuler. Maklumat ini, dari tulisan Ma'ruf Amin, dapat dipahami karena mereka kurang paham sejarah dan hubungan Pancasila dengan agama, termasuk dengan ajaran Islam.

Usaha menjauhkan Pancasila dari agama, khususnya Islam, telah dilaksanakan dengan intensif oleh Orde Lama dan Orde Baru. Ketika Soekarno berkuasa, Pancasila pernah diperas jadi Trisila (Ketuhanan, Kebangsaan, dan Gotong Royong), terus menjadi Eka Sila (Gotong Royong), dan ditampilkan dalam Nasakom (nasionalisme, agama dan komunisme). Soekarno menyatakan dalam dadanya ditemukan ketiganya. Padahal sosialisme berasal dari komunisme yang merupakan ajaran sekularisme ekstrem yang tidak mentoleransi agama dan orang beragama, walaupun secara pribadi.

Di zaman Orde Baru, Pancasila dijadikan asas tunggal dalam pembangunan dengan tafsiran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Tidak boleh ada tafsiran lain, dan tidak boleh ada yang bertentangan dengan asas tunggal, termasuk dalam pembangunan sosial budaya. Partai politik, ormas, sampai budaya mau ditunggalkan.

Tapi pada dasawarsa terakhir dari kekuasaannya, Soeharto mulai mengisi Pancasila dengan ajaran Islam, seperti dengan menerima perbankan syariah, menyetujui berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslimin se-Indonesia (ICMI), dan mengeluarkan UU Peradilan Agama serta UU Zakat. Di era reformasi, gerakan untuk menarik Pancasila ke sekuler juga tidak kalah gencarnya dan diungkap secara terbuka.

Deisme
Sebagai rumusan the Founding Fathers, Pancasila tampaknya tidak akan diganti oleh kekuatan politik yang berkuasa dalam lintas sejarah Indonesia. Fatwa MUI di Ponorogo akhir Mei 2006 menegaskan kembali perlunya Pancasila dan NKRI jadi prinsip negara Indonesia ini. Pancasila tiada lain adalah rumusan Indonesia untuk kehidupan kenegaraan yang islami. Rumusan itu ditegaskan pasal demi pasal UUD 1945. Walaupun tujuh kata Piagam Jakarta ditiadakan dalam Pembukaan, hukum Islam tetap diakui sebagai salah satu sumber hukum nasional karena telah hidup di tengah masyarakat Indonesia.

Tapi karena rumusan yang sangat padat, ada saja usaha menafsirkan dan menarik-nariknya ke arah sekuler sebagaimana di ungkap di atas. Pancasila telah ditarik ke Nasakom, juga dijadikan senjata memisahkan yang pro dan yang anti pemerintah. Kalau kekuatan politik yang berkuasa adalah nasionalisme sekuler, Pancasila juga dijadikan senjata untuk melawan nasionalisme religius.

Kalau kebebasan berpendapat dan berkepercayaan yang berkuasa sudah rada kebablasan seperti dewasa ini, Pancasila juga ingin dijadikan garda pluralisme yang sekuler. Ia diumumkan sebagai alat untuk melawan paham religius. Pasalnya paham, termasuk Islam, yakin bahwa keselamatan dan kemakmuran manusia hanya akan tercapai kalau pembangunannya berpedoman kepada ajaran Pencipta alam dan manusia, yaitu wahyu dan agama-Nya. Paham ini bertentangan dengan sekularisme.

Adakah Ketuhanan Yang Maha Esa tanpa agama? Ada memang, dan telah berkembang di Barat sejak gerakan Renaissance dan Aufklarung sampai dewasa ini. Tapi ketuhanan itu hanyalah sekadar mengakui adanya wujud di luar alam nyata ini. Tuhan dianggap tidak ada kaitannya dengan hukum, ekonomi, politik, dan sains, dan lain-lain. Tuhan mereka telah pensiun, bahkan telah mati, seperti yang dinyatakan oleh Nietszche (1844-1900).

Tuhan begini adalah tuhan yang diciptakan manusia, bukan yang menciptakan manusia dan alam. Tuhan begini dikenal oleh mahasiswa yang menghafal teori sosiologi agama Emile Durkheim (1885-1917) dan membaca filsafat Nietszche dan Karl Marx. Beginilah paham ketuhanan penganut deisme.

Dalam sekularisme dan pluralisme, paham ketuhanan deisme, paham tuhan telah mati, dan paham theisme, sama saja: Asal paham ketuhanan tersebut tidak dibawa-bawa dalam urusan bermasyarakat. Sebenarnya, sekularisme dan pluralisme menentang paham deisme dan agama. Nottingham (1985:26-30) dan Juergensmeyers (1998:26-30) mengatakan kedua isme ini adalah agama, yaitu agama sekuler.

Paham ketuhanan begini dikatakan pula oleh yang mendakwakan perestorasi Pancasila, sebagai tidak lain dari ideologi sosialisme yang luhur dan kapitalisme yang telah berhasil. Padahal ideologi sosialisme dan kapitalisme hanyalah ideologi ekonomi atau ideologi materialisme yang bercabang kepada dua cara yang berbeda dalam urusan harta. Keduanya menafikan kepercayaan kepada Tuhan dan agama. Penilaian itu jelas subjektif, mengkhianati perjuangan para pahlawan yang telah menumpahkan darah mereka untuk merebut kemerdekaan. Sungguh amat berbeda, bahkan kontradiktif, dengan paham ketuhanan (theisme), apalagi tauhid.

Theisme
Theisme adalah paham ketuhanan yang diajarkan agama. Theisme adalah paham ketuhanan religius. Tidak ada ajaran agama apapun yang mengajarkan Tuhannya tidak berpengaruh dalam kehidupan manusia, apalagi telah mati. Ketuhanan religius atau theisme adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, Yang Maha Menunjuki, Yang Maha Pendidik penghuni alam semesta (Rabbul'alamin). Tuhan dalam ajaran setiap agama adalah Yang Maha Hadir dalam kehidupan manusia, Yang Maha Menolong hamba-hamba-Nya, Yang merupakan asal segala sesuatu, Yang memiliki segala sesuatu dan kepada-Nya segala sesuatu akan kembali, dan seterusnya.

Nyatalah bahwa keimanan seseorang yang beragama terhadap Tuhan adalah keimanan kepada Dzat Yang Maha Aktif, tidak sekadar kepercayaan kepada yang pasif, pensiun, bahkan telah mati. Di samping itu, Tuhan yang dipercayai itu adalah sumber energi, kebenaran, dan sumber kepuasan, kecintaan, atau kebahagiaan dalam segenap aktivitas dan perjuangan hidup ini.

Hadirnya Tuhan Yang Maha Esa yang aktif dan sumber energi ini dalam sanubari setiap orang, apalagi pemimpin dan para elite, penting untuk melestarikan dan melipatgandakan perjuangan untuk merealisasi kemanusiaan yang adil dan beradab, untuk melestarikan persatuan bangsa, untuk melaksanakan musyawarah dalam hikmah kebijaksanaan dan perwakilan, dan untuk menegakkan keadilan sosial bagi segenap rakyat Indonesia.

Tanpa didorong oleh kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tercantum dalam sila pertama itu, pelaksanaan sila-sila yang lain berikutnya akan menjadi komoditi politik belaka dan akan membodohi rakyat banyak. Hasbunallah, ni'mal maula wa ni'mal wakil.

Ikhtisar
* Setelah Pancasila ditarik ke Nasakom dan menjadi alat politik untuk memisahkan yang pro anti pemerintah, kini hendak ditarik ke arah sekuler.
* Kini Pancasila ingin dijadikan garda pluralisme sekuler, diumumkan sebagai alat untuk melawan paham religius.
* Adakah Ketuhanan Yang Maha Esa tanpa agama?

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home