| HOME | WRITING | IND-CLIPPING | ENG-CLIPPING | MUSIC |
Tuesday, June 27, 2006,1:40 PM

Generasi Penjual Rujak

Doni Koesoema, A

Sari tidak lulus ujian nasional atau UN tingkat SMA tahun lalu. Nilai Bahasa Inggris jatuh. Tiga bulan ia ikut kursus persiapan ujian perbaikan. Setelah lulus, ia ingin mencari pekerjaan untuk membantu keluarga. Namun apa daya, ijazah tidak dapat segera diterima. Sari lalu berjualan rujak. Inilah kisah tragis anak bangsa yang menjadi korban UN.

Sari tidak sendirian sebab tahun lalu banyak temannya yang tidak lulus. Kata pemerintah, UN dipakai untuk proses standardisasi dan perbaikan mutu pendidikan. Namun apa yang telah diperbuat pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan di sekolah Sari? Apakah pemerintah membantu menyediakan sarana pendidikan, berupa tape recorder, misalnya, sebab sekolahnya tidak memiliki lab bahasa, karena itu, saat ujian Bahasa Inggris banyak siswa tidak lulus? Atau, pemerintah telah berusaha membantu meningkatkan kualitas guru Bahasa Inggris dengan memberi pelatihan tambahan?

Cukup sudah

Data-data hasil UN tahun-tahun sebelumnya sebenarnya dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah untuk memetakan kualitas pendidikan secara nasional. Karena itu cukup sudah dengan UN. Kini saatnya pemerintah bekerja. Anggaran dana pendidikan yang rencananya akan ditingkatkan semestinya dipakai untuk program perbaikan kualitas ini.

Mengingat adanya disparitas kualitas pendidikan antardaerah, program peningkatan mutu pendidikan semestinya mendasarkan diri pada prinsip-prinsip keadilan. Dalam kerangka ini, prinsip keadilan yang ditawarkan John Rawls masih relevan (Rawls, 1993).

Prinsip pertama yang diajukan Rawls adalah tiap orang memiliki klaim yang sama atas hak-hak dasar dan kebebasan. Konstitusi kita mengekspresikan salah satu hak dasar ini dengan kalimat, "mencerdaskan kehidupan bangsa" dan "menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pengajaran".

Terbukanya akses pendidikan bagi semua warga negara merupakan conditio sine qua non dihargainya nilai kebebasan dan keadilan. Dengannya, meminjam istilah Rawls, kebebasan politik dan kebebasan tiap orang untuk bergerak dari tingkat sosial satu ke tingkat yang lain dapat dijamin secara fair.

Selama masih ada warga negara yang tidak dapat memperoleh akses pendidikan, meski di tingkat paling dasar, negara merupakan instansi yang paling bertanggung jawab atas ketidakadilan ini. Tanpa dijaminnya kebutuhan dasar ini, partisipasi warga dalam iklim demokrasi yang memungkinkan terjadinya pergerakan sosial ke atas kian jauh dari harapan. Yang miskin akan semakin miskin, yang tak berdaya akan semakin teperdaya.

Dalam masyarakat demokratis, politik merupakan ekspresi kepercayaan publik, berupa amanah untuk menyejahterakan warganya, termasuk peningkatan kualitas pendidikan dan penguatan civil society (terbukanya peluang yang sama bagi tiap warga untuk aktif secara politis). Tanpa usaha ini, politik berubah menjadi wahana penguasaan sumber-sumber alam dan sosial bagi kepentingan segelintir orang.

Karena itu, akses pendidikan bagi semua warga merupakan prioritas dasar sebab dengannya dijamin persamaan. Persamaan dalam mengenyam pendidikan memungkinkan tiap warga menghayati kebebasannya sehingga mereka mampu aktif berperan serta dalam kehidupan demokratif yang kian mengukuhkan martabat mereka sebagai manusia.

Bukan pukul rata

Klaim atas persamaan, lanjut Rawls, bukan berarti semua dipukul rata. Model kebijakan pukul rata seperti ini alih-alih menjadi dalih keadilan malah menutup mata atas realitas ketidakadilan lain, yaitu kenyataan tentang perbedaan akses atas sumber-sumber alam dan sosial yang diterima dari setiap orang sejak lahir.

Kenyataan adanya perbedaan akses atas sumber alam dan sosial membuat Rawls mengajukan prinsip keadilan kedua, yaitu perbedaan sosial dan ekonomi dapat diterima sejauh kebijakan itu memenuhi dua syarat. Pertama, terbuka peluang bagi setiap orang untuk maju. Kedua, perbedaan perlakuan diizinkan sejauh demi kemaslahatan pihak-pihak yang paling tidak diuntungkan dalam masyarakat (the least advantaged members of society) karena keterbatasan sumber-sumber alam dan sosial yang mereka terima secara alamiah.

Kebijakan pukul rata dalam dunia pendidikan, seperti bantuan operasional sekolah (BOS), standardisasi nilai kelulusan lewat perangkat ujian nasional, sudah semestinya ditinggalkan sebab kebijakan ini selain melukai nilai keadilan, juga menutup mata terhadap realitas adanya perbedaan akses natural-sosial setiap orang.

Prioritas pendidikan

Di tengah amukan bencana alam, rapuhnya bangunan sekolah, kian banyak orang miskin yang tak mampu menyekolahkan anak-anaknya, pemerintah ditantang membuat prioritas, bukan hanya membangun kembali sekolah-sekolah yang telah roboh (Aceh, Nias, Waghete, Bantul, Yogyakarta, Klaten, dan lainnya), namun juga menjadikan dunia pendidikan sebagai keprihatinan utama dalam setiap kebijakan politisnya.

Uang rakyat jangan dipakai untuk proyek sia-sia yang melukai keadilan. Perbaikan mutu pendidikan seharusnya mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang melindungi pihak paling lemah di masyarakat (anak-anak miskin, korban bencana, anak cacat, yatim piatu, dan lainnya). Bagi mereka, pemerintah semestinya memberikan hati dan tenaganya.

Kisah Sari tak boleh terulang lagi pada siswa lain. Kita tidak ingin disebut bangsa yang hanya bisa menghasilkan generasi penjual rujak. Kita tidak ingin para pemimpin mengkhianati cita-cita pendiri bangsa.

Doni Koesoema, A
Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home